"Mama!" Luna berseru riang saat melihat Tari kembali muncul.
"Lho, nggak jadi pulang?" tanya Arga heran. Seingatnya tadi Tari sudah berpamitan padanya.
Tari menggeleng pelan. "Nggak jadi," jawabnya sambil tersenyum lebar, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kenapa?" Arga bertanya lagi.
"Aku pulangnya sama kamu aja deh, nggak apa-apa kan?"
"Devan mana?" Arga melongok ke arah pintu mencari sosok dimaksud.
"Dia udah pulang sama Aurel."
"Terus kamu ditinggalin gitu aja?"
Tari mengangkat bahu. Dia tidak ingin membahasnya.
"Eh, Lun, pudingnya enak nggak?" Tari buru-buru bertanya saat melihat puding di atas meja. Bahkan, punyanya tadi juga belum sempat dia cicipi.
"Enak banget, Ma, cobain deh."
Tari langsung mengambil puding lapis cookies di meja dan mencicipinya.
"Hmm... iya, beneran enak ternyata," komentarnya setelah itu.
Arga terus memandangi Tari yang terlihat biasa dan kini sedang menanggapi celotehan Luna dengan riang. Dia tidak terlihat sedih sama sekali. Apa memang dia sekuat itu?
Dua puluh menit kemudian, mereka sudah berada di mobil. Tari ikut bersenandung mengikuti lirik Skyscraper-nya Demi Lovato yang mengalun dari audio mobil.
All my windows still are broken
But I'm standing on my feet
You can take everything I have
You can break everything I amArga diam saja mendengarkan. Arga tidak tahu apa memang masalahnya dengan Devan bukan hal yang besar bagi Tari. Tapi tiba-tiba saja, Arga berubah pikiran melihat apa yang dilakukan Devan selama ini. Dia tidak rela Devan terus-terusan menyakiti Tari seperti ini. Mungkin akan lebih baik kalau mereka berpisah dan memilih jalan hidup masing-masing. Devan bebas mau berbuat apa saja dengan Aurel. Pun Tari. Dia bisa melanjutkan hidup dan memulai semuanya dari nol.
"Tari...!" panggil Arga.
Tari menoleh ke sebelahnya. "Ya, Arga?"
Arga tidak langsung bicara. Matanya jatuh pada Luna yang berada di pangkuan Tari. Arga meyakinkan kalau putrinya itu benar-benar sudah tidur. Arga tidak ingin Luna mendengarkan obrolannya dengan Tari. Setelah yakin Luna sudah pulas, Arga kembali memandang Tari.
"Tari, kenapa kamu nggak pisah aja sama Devan?"
"Hah?"
"Iya, maksudku cerai. Aku nggak sanggup ngelihat kamu sedih dan tersiksa kayak gini. Kalau bukan karena dia sahabat aku, mungkin aku udah hajar dia habis-habisan."
Tari tertawa sumbang. "Aku nggak sedih kok, Arga. Aku juga nggak tersiksa," bantah Tari mematahkan asumsi Arga.
"Kamu pasti bohong," tuding Arga lagi.
"Aku nggak bohong. Memangnya pernah ya aku bohong sama kamu?"
"Buktinya tadi kamu nyanyi."
"Memangnya kenapa kalau nyanyi? Nggak boleh?"
"Bukan gitu, tapi aku pikir banyak orang yang nyembunyiin kesedihan mereka dengan pura-pura ketawa, pura-pura senang, pura-pura bahagia."
"Dan aku bukan bagian dari orang-orang itu," sangkal Tari cepat. "Arga, tahu nggak, aku udah biasa dengan kelakuan Devan yang kayak gitu. Kita lihat saja nanti sampai kapan dia bisa bertahan."
"Apa nggak kebalik? Aku justru ragu entah sampai kapan kamu bisa bertahan." Arga menimpali. Memangnya siapa sih yang bisa tahan dalam kehidupan pernikahan penuh huru-hara seperti itu?
"Nggak, apanya yang kebalik? Aku mau tahu sehebat apa Devan menyakiti aku. Kamu tahu nggak, Arga, awalnya aku mikir mendingan aku mundur, mengalah biar Devan bisa sama Aurel. Tapi pas tadi Aurel menghina aku, bilang aku jalang, miskin dan cuma pengen hartanya Devan, aku jadi berubah pikiran."
"Maksud kamu?"
"Aku akan bertahan. Aku nggak akan mengalah. Aku mau Aurel ngerasain sakitnya. Enak di dia dong kalau aku cerai dari Devan, terus dia bisa menikah, punya anak, dan hidupnya bakalan happily ever after. Nggak, nggak, nggak. Endingnya nggak kayak gitu. Dia mungkin bisa bikin alur cerita, tapi aku yang akan nentuin endingnya."
"Tari, jangan bilang kalau kamu dendam sama dia," ujar Arga mengira-ngira. Arga tiba-tiba saja berpikiran buruk kalau saja Tari merencanakan sesuatu. Karena biasanya luka yang terlalu dalam mampu membuat seseorang melakukan apa saja.
"Dendam? Ya, nggak lah! Untuk apa dendam? Cuma bakal bikin jantung nggak aman."
Arga tertawa mendengar jawaban ringan Tari. Bisa-bisanya Devan menyia-nyiakan perempuan seistimewa ini. Devan bodoh, bego, dungu, tolol! Entah apa lagi julukan yang pantas diberikan padanya.
***
Devan baru saja pulang dari mengantar Aurel ke rumah orang tuanya. Dan saat tiba di rumahnya sendiri, Devan tidak menemukan Tari. Padahal tadi Devan sudah menyuruhnya untuk pulang duluan. Apa mungkin Tari masih berada di hotel?
Sebelum telanjur pergi, Devan menelepon Tari. Tersambung seperti biasa, tapi tak kunjung mendapat jawaban hingga berkali-kali Devan menelepon. Ternyata sesakit ini rasanya dicuekin.
Devan mondar-mandir di kamarnya sendiri dengan handphone yang tetap berada di genggamannya. Apa mungkin Tari sekarang ada di rumah orang tuanya? Tapi, kenapa? Mau merajuk lagi?
Puluhan menit berdebat dengan batinnya antara akan menjemput atau membiarkan saja, akhirnya Devan memilih untuk menjemput Tari. Oke, sekali ini dia akan tepis harga dirinya. Yang penting Tari ada dalam genggamannya dulu.
"Mau ke mana, Pak Devan?" tanya Bagas melihat Devan yang akan pergi.
"Ke luar sebentar," sahut Devan sekenanya.
"Mau saya antar, Pak?" tanya Bagas lagi. Siapa tahu Devan butuh bantuannya. Itu pun kalau Devan tidak sedang ingin sendiri.
Devan meragu. Akan menyetir sendiri atau disupiri. Ah, mungkin lebih baik kalau dia membawa Bagas saja. Siapa tahu nanti dia punya kesempatan untuk menyesap bibir manis Tari di jok belakang. Who knows?
"Ya udah, Gas, kamu ikut aku," perintah Devan sambil melempar kunci mobil pada supirnya itu. Dan dengan sigap Bagas menyambutnya. Tangannya memang sudah terlatih untuk urusan sambut menyambut dan tangkap menangkap, karena saking seringnya Devan melakukan hal itu padanya.
"Jadi kita ke mana sekarang, Pak?" Bagas bertanya setelah menyalakan mesin mobil, karena Devan belum menyampaikan tujuannya.
Devan berpikir sekali lagi. Akan langsung ke rumah mertuanya atau ke hotel dulu. Melirik jam tangan, Devan berasumsi rasanya sudah tidak mungkin Tari masih berada di hotel. Lagian cuma kondangan. Pasti tidak akan selama itu. Apalagi sekarang sudah jam sepuluh malam.
"Pak, tapi jangan ke apartemen Mbak Aurel ya, Pak," kata Bagas dari depan saat Devan hanya diam.
"Sejak kapan kamu bisa ngelarang aku, Gas?" tukas Devan kurang senang. Lama-lama Bagas bisa mengaturnya.
"Nggak, Pak, saya cuma bercanda," jawab Bagas meralat kalimatnya. Devan memang payah, pikirnya. Selain pemarah, dia juga tidak punya sense of humor.
"Sekarang jalan, kita ke rumah orang tua Tari."
"Iya, Pak," jawab Bagas patuh sebelum Devan meledak lagi.
====
Hai, readers! Cuma mau kasih tahu bahwa cerita ini alurnya lambat. Kalau ada yang bertanya-tanya, "Judul dengan isi ceritanya kok nggak nyambung?". Nanti bakalan terjawab diakhir cerita, ya.
Don't forget to vote and comment! Thank you. ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...