Chapter 40

4.8K 244 3
                                    

Devan keluar dari ruangan dokter dengan tubuh lunglai. Cukup lama dia berada di sana dengan lelaki yang menangani Aurel itu. Mereka membicarakan kondisi kesehatan Aurel. Dokter menerangkan pada Devan dengan sejelas dan sedetail mungkin. Dari A sampai Z. Dari mayor hingga minor. Dari makro hingga mikro.

Dan, fakta yang diketahui Devan setelah itu membuatnya sakit sendiri.

"Itu nggak mungkin, Dok," bantah Devan setelah dokter menjelaskan padanya hasil diagnosis penyakit Aurel.

"Maaf, Pak Devan, tapi memang begitu faktanya. Sabar ya, Pak!"

Devan menggeleng-gelengkan kepala, menolak menerima kebenaran yang baru saja dia dengar. Vonis dokter atas penyakit Aurel membuat hatinya tersayat-sayat. Lelaki itu kemudian masuk ke ruang rawat Aurel. Sang kekasih melempar senyum hampa padanya dengan wajah yang pucat. Devan mencoba membalas senyuman itu, tapi bibirnya begitu berat untuk digerakkan.

"Dev, kapan kita pulang?"

"Belum hari ini ya, Rel, dokter belum kasih izin soalnya."

"Jadi kapan dong? Aku ada jadwal pemotretan minggu depan, Dev..." Suara Aurel setengah merengek. Sebagai seorang model dia dituntut untuk profesional.

"Nggak usah pikirin itu dulu, Rel, yang penting kamu sehat dulu," ujar Devan seraya memandang Aurel dengan tatapan prihatin.

Aurel rupanya menyadari raut Devan yang sedih. Lelaki itu terlihat tidak bersemangat seperti biasa. "Ada apa, Dev?"

"Apanya yang ada apa, Rel?" Devan balik bertanya karena belum mengerti arah pembicaraan Aurel.

"Kamu kayak sedih gitu. Ada masalah?"

'Masalah aku itu kamu, Rel,' bisik Devan, tapi hanya terucap di dalam hati.

"Dev, apa ada masalah?" tanya Aurel lagi sambil menggoyang-goyangkan tangan Devan yang termangu.

Devan mengerjap dan mencoba mengganti wajahnya yang gelisah. Tapi tak berhasil.

"Kamu kalah tender?" tanya Aurel lagi menduga-duga apa yang terjadi pada Devan.

"Nggak, Rel, nggak ada apa-apa kok. Kamu tenang aja ya, nggak usah mikir yang macam-macam. Pikirin kesehatan kamu aja,"  sahut Devan mencoba menenangkan Aurel.

"Kamu bohong, Dev. Pasti ada yang kamu pikirin. Aku kenal kamu bukan sehari dua hari, Dev... Aku kenal kamu luar dalam. Kamu nggak kayak gini biasanya. Aku tahu kamu lagi sedih. Ada apa sih sebenarnya?" Aurel terus mencari tahu. Devan yang dikenalnya tidak melankolis seperti ini. Kalau tiba-tiba dia berubah sendu, pastilah ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikirannya.

"Iya, aku memang lagi sedih. Itu semua karena aku nggak tega ngelihat kamu sakit kayak gini," ujar Devan akhirnya seraya menatap Aurel dalam-dalam.

Aurel tersenyum, lalu mengunci jemari Devan dengan tangannya. "Kamu nggak usah sedih. Aku kan udah biasa kayak gini. Paling besok aku udah boleh pulang. Iya kan, Dev?"

"Iya, kalo kamu sudah pulih betul. Kalo belum kamu harus tetap di sini."

"Ah, nggak, nggak, pokoknya aku barus cepat-cepat pulang. Aku harus pemotretan, Dev..."

"Iya, kamu memang harus pemotretan, tapi kalo udah sehat. Udah, pokoknya kamu harus dengar semua kata-kata aku ya!" tandas Devan tidak ingin dibantah.

"Ya udah deh. Tapi kamu harus temani aku di sini ya, Dev...," rengek Aurel keras.

"Iya, tapi sekarang izinin aku kasih tahu keluarga kamu ya?" Setiap kali sakit Aurel memang tidak mengizinkan Devan untuk memberitahu keluarganya dengan dalih tidak ingin membuat mereka khawatir.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang