Devan berjalan mengikuti perawat yang mendorong brankar. Pun dengan Tari. Di atas brankar itu Aurel berbaring dengan wajah meringis sambil memegang perutnya. Mata perempuan itu berlarian gelisah mencari Devan. Sedangkan, tangannya bergerak-gerak resah berharap Devan akan menggenggamnya. Nyatanya, pria itu malah berjalan bersisian dengan sang istri.
Tari menunggu di luar, sedangkan Devan ikut ke dalam mendampingi dokter yang memeriksa Aurel. Tari sengaja tidak ikut masuk karena tahu pasti Aurel tidak nyaman dengan kehadirannya. Lebih dari sepuluh menit dia menunggu, tapi belum ada tanda-tanda seseorang akan keluar dari ruangan itu.
'Apa mungkin aku pulang aja sekarang?'
Mungkin lebih baik begitu. Untuk apa lagi dirinya berada di sana? Kehadirannya tidak akan berarti apa-apa. Malahan hanya akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi Aurel.
Tari yang tadi bersandar di tiang koridor rumah sakit, kini menarik diri dan mengayun langkah pelan meninggalkan tempat itu. Dia akan memesan taksi dan menunggu di dekat pos jaga sekuriti supaya lebih gampang.
"Tari! Tunggu dulu!"
Tari yang sudah berada di ujung koridor menahan langkah saat mendengar suara Devan yang melantunkan namanya. Perempuan itu menoleh ke belakang dan mendapati suaminya berjalan mendekat dengan langkah panjang.
"Kamu mau ke mana?" tanya Devan setelah mengikis jarak.
"Aku pulang dulu, Dev."
"Biar aku antar, ya?"
"Nggak usah, kamu temani Aurel aja, kasihan dia sendiri."
"Terus, kamu pulangnya gimana? Pake apa?"
Tari tertawa dalam hati. Sejak kapan Devan menjadi sepeduli itu? Kenapa tidak dari dulu saat dia meninggalkan Tari di pesta dan acara gala dinner Anthonie?
"Aku pake taksi," jawab Tari kemudian setelah sadar Devan sedang menanti jawaban darinya.
"Atau gini aja, aku telfon Ipul suruh jemput kamu, atau Bagas aja, gimana?"
"Nggak usah, aku nggak mau ngerepotin mereka. Lagian ini udah malam, pasti mereka mau istirahat," kata Tari menolak.
Devan melirik arloji di pergelangan kiri. Baru jam setengah sembilan malam. Dan, dia rasa para supirnya masih stand by karena memang sudah tugas mereka untuk siap kapan pun dibutuhkan. Toh, mereka digaji untuk itu.
"Nggak apa-apa, Tari, mereka belum tidur kok, ini baru jam setengah sembilan."
"Nggak, Dev, nggak usah, aku pake taksi aja. Kamu masuk gih! Temani Aurel, siapa tahu dia butuh sesuatu." Tari buru-buru pergi sebelum Devan melarangnya lagi.
Devan termangu sendiri memperhatikan punggung Tari yang menjauh. Ada perasaan yang tidak bisa dia jabarkan dengan kata-kata saat melihat Tari pergi sendiri. Sedangkan, dirinya bertahan di sini untuk seseorang yang semestinya tidak mendapat porsi perhatian sebegitu besar darinya. Sialnya, orang itu teramat sangat dia cintai.
Sementara Devan bertarung dengan batinnya, Tari sedang berada di dekat pos jaga sekuriti rumah sakit. Dia bermaksud memesan taksi. Tapi sebelum hal itu terlaksana, ponselnya keburu berbunyi. Segaris senyum terukir di bibirnya saat melihat nama Arga tertera di layar.
"Halo, Arga!" sapanya setelah menerima panggilan.
"Tari, Devan mana? Kalian nggak jadi ya ke rumah Tante Melanie? Tadi Tante Melanie nelfon aku, dia pikir Devan sedang bersama aku. Dia juga udah nelfon Devan dari tadi tapi nggak dijawab."
"Rencananya tadi jadi, tapi batal, Arga," jawab Tari.
"Kenapa batal?" tanya Arga heran. Sedari tadi Melanie mengomel karena Devan tak kunjung menampakkan diri. Terlebih lagi saat dihubungi Devan tidak menjawab. Siapa yang tidak akan jengkel kalau seperti itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...