Tari memperhatikan Devan yang mondar-mandir tidak jelas di kamar. Sudah belasan atau mungkin puluhan menit lamanya. Sepertinya begitu sulit bagi Devan untuk memilih. Lelaki itu kemudian membuka lemari pendingin yang berada di sebelah meja kerjanya.
Tari segera menghampirinya sebelum tangan Devan meraih sebotol red wine di antara botol-botol lainnya.
"Jangan, Dev!" larang Tari cepat sembari menahan Devan dengan mencekal lengannya.
Devan menoleh dengan sorot mata bertanya-tanya pada sang istri.
"Nggak semua masalah harus diselesaikan dengan cara mabuk-mabukan, Dev. Tunda dulu minum-minumnya karena kamu butuh kesadaran penuh untuk berpikir jernih. Tolong, kali ini kamu dengarkan kata-kata aku, Dev."
Devan meletakkan kembali minuman beralkohol itu, lantas menutup kulkas. Terdengar helaan napasnya yang sangat berat.
"Aku nggak akan memaksa kamu buat mempertahankan pernikahan kita," ujar Tari setelah mereka duduk di sofa. Di seberangnya, Devan duduk dengan tatapan galau dan terus memandang ke arahnya.
"Tari, jujur semua ini berat buat aku. Di satu sisi aku ingin mempertahankan pernikahan kita, tapi-"
"Tapi di sisi lain kamu mencintai Aurel," potong Tari cepat.
Devan menelan salivanya yang terasa pahit. Tari sudah mewakili hatinya mengungkap perasaan yang membuatnya merasa berat untuk memilih.
"Tapi hidup adalah tentang pilihan, Dev. Dan sekaranglah saatnya untuk memilih."
Devan merasa semakin tersudut oleh Tari yang terus mendesaknya. Andai saja bisa, Devan tidak ingin dihadapkan pada pilihan sesulit ini.
"Atau aku yang akan membantu kamu buat memilih?"
Devan menggeleng cepat. Kata-kata yang tadi tercekat di tenggorokan akhirnya meluncur juga. "Tari, aku pasti memilih untuk mempertahankan pernikahan kita. Tapi kasih aku waktu buat ninggalin Aurel."
Tari tersenyum miring. Dia tidak yakin Devan bisa meninggalkan perempuan itu. Tapi, apa salahnya dia memberi waktu? Karena melupakan atau menghilangkan perasaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tidak ada yang instan di dunia ini. Bahkan, mi instan juga perlu dimasak dulu.
"Tari, Aurel itu sakit. Dia... dia..." Devan terlihat kesulitan untuk menyelesaikan kalimatnya. Sedangkan, Tari terus menatapnya. Perempuan itu menunggu apa yang akan disampaikan suaminya.
"Dia kenapa, Dev?" Tari tidak tahan untuk tetap bungkam. Di hadapannya, Devan mengusap muka.
Menepis tangan dari mukanya, Devan kembali memandang Tari dengan mata sendu. "Aurel sakit. Dokter memvonis dia mengidap kanker lambung stadium akhir, dan umurnya nggak akan lama lagi."
Tari tercenung setelah penuturan Devan yang diucapkannya dengan susah payah.
Kanker stadium akhir?
Tari sudah teramat sering mendengar cerita pahit tentang para penderita kanker. Tak jarang dari mereka ada yang bisa bertahan, tapi sebagian besar berakhir di kamar mayat. Dan Aurel akan segera menyusul ke sana, begitu? Dan, di sisa-sisa umurnya dia butuh seseorang yang terus menyemangati dan membuatnya bahagia. Dan, orang itu adalah Devan. Iya. Tari mengerti sekarang. Dia paham betul maksudnya.
"Tari... aku mohon kamu bisa mengerti posisiku saat ini. Aku memang mencintai Aurel, tapi aku juga masih ingin mempertahankan pernikahan kita. Tolong kasih aku waktu."
Egois. Tapi, tidak sedikit orang seperti itu di dunia ini. Terkadang hidup memang selucu itu.
Tari berdeham untuk menjernihkan suaranya. Pun pikirannya yang turut kusut. Devan seperti menularkan kegalauan hatinya pada Tari. Seharusnya saat ini Tari bisa dengan enteng menolak. Dia tidak perlu memikirkan apa-apa. Persetan Aurel mau sakit apa pun. Mau kanker stadium akhir, stadium lanjut, atau mau mati besok pagi pun, itu bukan urusannya. Nyatanya, perasaan Tari terlalu halus. Dia ikut merasa kasihan atas derita yang ditanggung Aurel. Tari mencoba memposisikan diri sebagai Aurel.
![](https://img.wattpad.com/cover/278055849-288-k479040.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...