Chapter 25

4.2K 249 0
                                    

Tari kembali menunjukkan senyum tegar. Sudah jelas baginya kini kalau Devan berlabuh di hati yang mana. Dan, perempuan itu tentu saja bukan Tari.

"Sabar ya, Mbak Tari. Saya yakin ini nggak akan lama." Bagas menghibur dari depan. Meski Bagas tahu, dua orang yang tidak saling mencintai sekali pun pasti akan terluka jika salah satu dari mereka ada yang berkhianat.

"Iya, Gas, nggak masalah kok." Tari kembali tersenyum. Tapi, kali ini Bagas tidak bisa membaca ekspresi Tari. Entah benar-benar merasa biasa saja atau menyembunyikan luka jauh di dalam hatinya.

"Mbak Tari, kenapa Mbak nggak cerai saja dari Pak Devan?" celetuk Bagas beberapa saat kemudian. Berdasarkan cerita Devan yang mengatakan bahwa mereka tidak saling cinta, jadi Bagas pikir bercerai bukanlah keputusan yang memerlukan pemikiran panjang.

Tari sesaat tercenung. Kedengarannya mudah. Mereka tinggal bercerai, lalu mengikuti persidangan di pengadilan yang Tari yakin Devan tidak akan datang, atau minimal diwakilkan oleh pengacaranya, tapi pada faktanya, perceraian bagi Tari adalah hal kedua di dalam hidup yang tidak akan dilakukannya setelah pengkhianatan.

"Saya nggak akan bercerai, Gas, kecuali Devan yang menceraikan saya."

"Kenapa begitu, Mbak Tari?"

"Karena itu sudah menjadi prinsip hidup saya."

Sekali lagi, Bagas melirik Tari. Ya, sepertinya dia memang bukan perempuan biasa. Hanya saja mungkin Devan belum menyadarinya.

Tari turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih pada Bagas. Dia langsung masuk ke dalam gedung kantor tempatnya bekerja setelah menyapa ramah sekuriti yang berdiri dan membukakannya pintu masuk.

Masih sepagi ini, tapi antrean konsumen yang ingin membayar cicilan bulanan sudah membludak. Padahal bisa saja mereka membayar melalui ATM atau jasa keuangan lainnya. Perusahaan tempatnya bekerja memang mempunyai strategi tersendiri. Bagi konsumen yang membayar langsung cicilan mereka ke kantor, akan diberikan potongan 5% dari total tagihan bulanan. Terdengar menarik. Tapi tentu saja semua itu bukan tanpa tujuan, di sanalah tim marketing bergerak untuk memprospek konsumen baru atau membujuk konsumen lama untuk memperpanjang atau menambah utang. Tapi, tentu saja itu hanya bagi mereka yang memiliki banyak waktu luang.

"Pagi, Tari!" sapa Rayhan saat Tari tiba di ruangannya.

Basa-basi yang memuakkan, tapi mengingat jasa Rayhan yang sudah berbaik hati mengantarkannya kemarin malam, Tari terpaksa bersikap ramah, atau berpura-pura ramah lebih tepatnya.

"Pagi!" balas Tari.

Rayhan mendekat. Ada kantong plastik hitam di tangannya yang setelah itu dia berikan pada Tari. "Aku beliin bubur ayam buat kamu di tempat langganan kita," ujar Rayhan meletakkan kantong itu di atas meja Tari. "Nggak pake kacang," lanjutnya kemudian, seolah ingin menegaskan bahwa dia masih ingat dan mematri di kepalanya apa pun hal-hal yang berhubungan dengan Tari hingga sedetail mungkin.

"Makasih, tapi aku sudah sarapan tadi di rumah." Tari menolak, lalu segera menyalakan komputer. Waktunya terlalu berharga untuk melayani basa-basi tak penting itu. Atau, modus?

"Ayolah, Tari, aku nggak kasih racun kok. Kamu nggak akan mati."

"Aku memang sudah mati sebelum kamu kasih racun," ujar Tari dengan nada biasa, tapi membuat Rayhan sangat tersentil.

Tari menyadari rona wajah Rayhan yang berubah, tapi dia berpura-pura tidak tahu.

"Aku taruh di sini aja buburnya ya, siapa tahu nanti kamu lapar lagi," ujar Rayhan sebelum kembali ke kubikelnya.

Tari hanya diam. Tapi belum sempat Rayhan mendudukkan diri di kursi kerjanya, sebungkus bubur ayam itu sudah berpindah ke dalam tong sampah di bawah meja Tari.

***

Devan, lelaki bertubuh tinggi itu berjalan dengan langkah tegap melintasi lobi Freedom Building, nama gedung tempatnya berkantor. Seperti biasa, dia terlalu arogan untuk menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya. Devan tahu mereka hanya segelintir karyawan biasa yang tampaknya mengagumi dirinya. Devan sudah sangat populer di antara semua pekerja di gedung berlantai empat puluh itu. Meski bagi Devan dia hanya memedulikan para petinggi saja, setidaknya yang berkantor sama dengannya di lantai tujuh belas, yang notabene semua adalah pegawai Devan's Company.

Hanya Devan sendiri yang mengisi lift khusus para petinggi yang membawanya ke atas. Hari ini Devan datang memang cukup siang. Namun, tidak akan pernah ada kata terlambat untuknya. Setelah mabuk semalam, pagi ini dia membutuhkan waktu untuk meringankan kepala, juga pikirannya. Tapi yang terjadi, pikirannya justru terasa kembali berat saat mengingat Tari yang semalam pulang diantar Rayhan.

Devan tidak cemburu. Devan hanya tidak suka dia dekat-dekat dengan lelaki mana pun apalagi mantan pacar, meskipun itu adalah adik Devan sendiri.

Kala pintu lift terbuka, Devan segera keluar dan bergerak menuju ruangannya. Sepertinya sudah cukup siang sehingga dia hanya menemukan beberapa karyawan di kubikel masing-masing. Devan tidak tahu kenapa mereka masih berada di sana. Mungkin mereka sudah selesai makan siang, atau bisa jadi menundanya demi pekerjaan yang belum selesai. Entahlah. Devan tidak memedulikannya. Lagi pula, apa urusannya?

Amel yang melihat Devan melintas lekas menyambar buku agenda sebelum Devan memanggil. Dia sudah hafal kebiasaan Devan. Salah satunya adalah menanyakan jadwalnya hari itu begitu tiba di kantor. Berinisiatif untuk datang sebelum dipanggil menurut Amel akan menimbulkan penilaian positif di mata Devan.

"Nanti malam Pak Devan dan Mbak Tari diundang untuk dinner oleh Bapak Athonie. Mereka baru saja meluncurkan produk terbarunya, Pak." Amel membacakan jadwal Devan hari ini.

"Kenapa sama saya kamu panggil Bapak, sama istri saya kamu panggil Mbak?"

Amel tersenyum canggung. Seharusnya memang begitu. "Maaf, Pak, maksud saya Ibu Tari." Perempuan itu segera meralat.

Devan mengangguk, lalu menyuruh Amel keluar.

***

"Tari, kamu ditunggu di bawah." Sabrina yang baru saja datang dari luar memberitahu.

Tari mendongak, menampakkan wajahnya yang tadi tersembunyi di antara kertas-kertas. "Siapa yang menungguku?"

Sabrina mengangkat bahu. Dia juga tidak tahu.

Dengan perasaan bertanya-tanya, Tari keluar dari ruangannya. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu masuk lantai satu saat melihat mobil Devan serta Bagas yang berdiri di luar.

Bagas melempar senyum dan menghampiri Tari. "Mbak Tari, ada Pak Devan di dalam mobil."

"Ada apa, Gas? Kenapa Devan ke sini?" Tari bertanya heran.

"Nggak tahu, Mbak. Ayo, temui saja dulu, Mbak." Bagas juga tidak tahu apa tujuan Devan mengajaknya ke kantor Tari.

Berjalan di depan Bagas, Tari mendekati mobil Devan lalu mengetuk kaca mobil. Suaminya itu tidak membuka pintu, melainkan menurunkan kaca.

"Pulang sekarang!" perintah Devan tanpa basa-basi.

"Pulang?" ulang Tari bingung.

"Iya, pulang."

"Tapi jam kerjaku belum selesai, Dev."

"Memangnya jam berapa selesainya?"

"Jam enam. Tapi hari ini aku lembur."

"Aku nggak mau tahu, kamu pulang sekarang, aku sudah jauh-jauh ke sini hanya untuk menjemput kamu," kata Devan bersikeras.

"Tapi jam kerjaku belum selesai, Dev..."

"Apa perlu aku yang bicara sama atasan kamu? Kamu tenang saja, nanti aku akan ganti uang lembur kamu."

"Devan, ini bukan soal uang lembur, tapi-"

"Bagas, kamu urus semua, temui atasannya."

"Baik, Pak Devan," jawab Bagas tanpa membantah.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang