Chapter 63

2.8K 154 4
                                    

Devan sudah berada di mobil dan baru saja meninggalkan rumah Rahardja. Kepalanya penuh oleh berbagai beban dan pikiran sekarang. Entah siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi meskipun Rahardja terus mencoba memengaruhinya, Devan masih memegang teguh kata-kata Ratih. Entah mengapa Devan lebih memercayai mertua perempuannya ketimbang mertua laki-lakinya.

Masih terngiang dengan jelas oleh Devan sambungan percakapannya dengan Rahardja.

"Pa, bukan maksudku lancang. Tapi kalau boleh aku tahu kenapa Aurel bilang Tari anak pelakor? Bukankah mama Ratih istri pertama Papa?" Devan bertanya dengan berani. Baginya semua ini harus diungkap agar menjadi jelas dan terang-benderang. Tanpa ada lagi fitnah dan prasangka.

Lama Rahardja terdiam dan tidak ada tanda-tanda akan menjawab. Sepertinya dia sedang berpikir keras. Mungkin untuk mencari jawaban yang pas.

"Pa, maaf, aku bukan bermaksud ikut campur masalah pribadi Papa. Tapi sebagai suami Tari aku perlu tahu, Pa."

Rahardja mengangkat muka lantas melirik ke kiri dan kanan seolah sedang memastikan kalau di sana tidak ada orang selain mereka berdua. Lelaki itu kemudian berbisik pelan seakan takut ada yang mendengar.

"Devan, sebaiknya kita nggak usah mengungkit masa lalu. Yang penting adalah kehidupan yang sekarang. Istri Papa adalah Camelia bukan Ratih."

Sepeda motor yang menyalip dari kiri diiringi dengan klakson yang dibunyikan dengan keras membuyarkan lamunan Devan. Seuntai umpatan meluncur lancar dari mulutnya. Dia hampir saja menyenggol sepeda motor itu kalau saja kesadarannya tidak segera kembali.

Devan kemudian menurunkan sedikit kaca mobil dan menyalakan rokok. Berharap sebatang tembakau berselaput itu bisa mengalihkan sesaat saja pikirannya. Semua ini semestinya tidak perlu repot-repot dia pikirkan. Tapi masalahnya ini mengenai sang istri dan keluarganya yang sudah bertahun-tahun terzalimi. Devan tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Begitu banyak misteri yang harus dia ungkap.

Devan tidak langsung menjemput Tari ke rumah Melanie. Pria tiga puluh tahun itu berubah pikiran dan langsung mengubah arah setelah melewati traffic light. Sintesa International Hospital adalah tujuannya kini. Tapi baru beberapa meter, Devan kembali berubah pikiran. Lebih baik dia suruh Bagas saja untuk menyelesaikannya.

Detik berikutnya, Devan sudah terhubung dengan orang kepercayaannya itu.

"Kamu di mana, Gas?"

"Di car wash, Pak, lagi cuci Hummer."

"Kamu cepat cucinya, terus langsung ke Sintesa Hospital."

"Tapi, Pak, bukan saya yang nyuci, tapi orang car wash. Ini juga masih antri, Pak." Bagas kebingungan sendiri.

"Bagas, kamu gimana sih? Sebenarnya kamu sudah berapa lama kerja sama aku?" bentak Devan keras karena menurutnya Bagas masih saja seperti orang bodoh.

"Kalau nggak salah sudah tiga tahun, Pak." Bagas menjawab sambil berpikir dan menghitung dengan jarinya.

"Nah, itu kamu tahu! Sekarang cepat minta duluan, nanti kamu kasih satu juta," perintah Devan tegas tanpa ingin dibantah.

"Apa, Pak, satu juta?" Tentu saja Bagas kaget mendengar instruksi Devan yang absurd. Terkadang, Devan memang tidak kira-kira. Seolah dia mengatakannya tanpa berpikir terlebih dulu.

"Kamu kok kaget gitu, Gas?"

"Memangnya Bapak yakin mau kasih satu juta buat cuci mobil doang?" Bagas bertanya ragu.

"Ya, yakinlah! Jangan kayak orang tipis! Pakai duit kamu dulu nanti aku ganti di rumah." Devan mulai emosi karena dari tadi Bagas masih saja berbelit-belit.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang