Chapter 51

4K 247 4
                                    

"Tari, kamu nggak apa-apa?" Fani yang baru saja masuk ke toilet mengkhawatirkan kondisi Tari yang kini membungkuk di atas wastafel. Dadanya berguncang kencang, bahunya juga naik turun. Suara-suara muntahan mencuri keluar dari mulutnya.

Saat ini, Tari sedang berjuang melawan mual yang terus mendera. Hari ini tepat satu minggu setelah dia mengetahui mengenai kehamilannya. Hal itu juga berarti sudah satu bulan dia berpisah dengan Devan. Ya, sudah selama itu. Dan hingga saat ini, tidak satu pun dari mereka memulai komunikasi. Baik Devan maupun Tari.

Hueekk...

Tari kembali memuntahkan isi perutnya ke wastafel hingga tidak ada yang tersisa kecuali cairan berwarna kekuningan. Sudah sejak tadi dia melakukan hal yang sama. Mungkin lebih dari sepuluh menit yang lalu.

Fani mendekat, lalu mengusap-usap pundak dan punggung Tari. Tari merasa sedikit lebih baik dengan tindakan itu mesti tidak sepenuhnya membuat dirinya nyaman.

"Aku antar ke klinik ya?" Fani menawarkan diri. Dia sungguh tidak tega melihat Tari seperti ini. Kebetulan sekali di lantai dua gedung ini ada klinik yang meskipun tidak terlalu besar, tapi keberadaannya begitu berarti.

Tari menggeleng. Dia belum sanggup untuk bicara. Mual dan muntah barusan membuatnya lemas dan kehabisan energi.

Fani masih mengusap pundak dan punggung Tari, mencoba untuk terus menenangkannya.

"Ini udah biasa, Fan. Hampir setiap hari aku morning sickness." Tari akhirnya bicara setelah berhasil mengatur napasnya yang terengah. Mual, muntah, dan pusing-pusing sekarang akrab menemani keseharian Tari. Ternyata sungguh berat. Ini baru di awal dan belum apa-apa. Bagaimana nanti kalau perutnya sudah membesar? Pasti semua akan terasa jauh lebih sulit. Tapi, Tari tidak akan membesar-besarkannya. Dia yakin mampu melalui semuanya.

"Kamu yakin masih sanggup?" Fani jadi ragu melihat kondisi Tari. Mukanya yang pucat dan pembawaannya yang lesu begitu mengkhawatirkan.

Tari menganggukkan kepala. Dia merasa kuat dan tidak boleh bermanja-manja meski selemah apa pun keadaannya sekarang. Itu bukanlah dirinya. Arga memang memberinya dispensasi agar istirahat dulu di rumah selama masa-masa awal kehamilannya. Arga juga mengatakan akan tetap menggajinya. Namun, Tari merasa tidak enak hati menerima gaji buta begitu saja tanpa melakukan apa-apa.

"Oh ya, gimana, peserta meeting udah datang?" Tari lekas mengalihkan fokus obrolan agar Fani tidak terus-terusan membahas kondisi kesehatannya.

"Sudah sih sebagian." Fani menjawab. Tadi dia memang sudah melihat beberapa rekanan ER Petroleum menuju ruang meeting. "Kamu sanggup ikut meeting hari ini?" tanya Fani lagi. Kalau saja Tari tidak mampu, dia bersedia menggantikannya.

"Aku masih sanggup kok, Fan, kamu tenang aja." Tari kembali meyakinkan Fani kalau semua akan baik-baik saja. "Aku hanya morning sickness, bukan kanker," gurau Tari tanpa sadar, tawanya mengiringi. Namun sesaat setelahnya, Tari terdiam tiba-tiba. Kanker mengingatkannya pada Aurel. Dan, Aurel mengingatkannya pada Devan. Refleks, Tari memegang perutnya. Bukan hanya kali ini. Setiap kali ingat Devan, maka tangannya akan langsung mengarah ke perut. Dan sebaliknya, setiap kali menyadari kehamilannya Tari akan selalu teringat pada Devan.

Keduanya kemudian keluar dari toilet. Tari kembali ke ruangannya. Dia harus bersiap-siap. Hari ini dia akan mendampingi Arga presentasi saat meeting nanti.

Mengeluarkan dari dalam tas, Tari memoles pemulas bibir berwarna merah muda tipis-tipis ke bibirnya. Meskipun kondisi tubuhnya tidak terlalu fit akibat kehamilannya ini, setidaknya Tari harus terlihat lebih segar dan enak untuk dipandang. Apalagi mendengar info dari Arga, yang akan datang nanti adalah para petinggi perusahaan dari rekanan ER Petroleum.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang