Chapter 39

3.7K 253 3
                                    

Ternyata Devan tidak pulang malam itu. Dan, dia tidak memberi kabar apa pun. Tari memang sudah menduga sebelumnya. Mungkin saja saat ini dia sedang menemani Aurel di apartemennya. Menjaga perempuan itu dari malam hingga pagi.

Tari memiringkan badan, melirik ke sisi kanannya. Di sebelah itu biasanya Devan tidur. Tapi sekarang tidak ada siapa pun. Hanya ada permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama seperti hari-hari sebelumnya.

Masih berbaring, Tari menjangkau ponsel yang dia letakkan di atas nakas. Mungkin dia perlu distraksi dan lari sejenak dari kehidupan nyata. Tari tidak memiliki banyak teman di media sosial. Dia hanya akan mengkonfirmasi orang-orang yang dia kenal, atau setidaknya mungkin dia kenal. Tapi, Tari bukanlah golongan antisosial.

Menggulirkan jari, Tari melihat unggahan para temannya yang lewat di feed sosial medianya. Semua memamerkan kebahagiaan. Rerata menunjukkan kemesraan bersama pasangan. Entah itu pasangan sah ataupun milik orang lain. Seperti Devan dan Aurel mungkin. Iseng-iseng, Tari mengetikkan nama lengkap Aurel di tab pencarian. Dan akun milik perempuan itu pun muncul. Dengan satu kali tap, Tari bisa melihat seluruh konten dalam akunnya itu. Wajah cantik Aurel dengan berbagai gaya dan pose memenuhi di mana-mana. Dan, Tari tidak akan heran saat juga menemukan wajah Devan di sana. Tidak mesra, tapi nyaris ada di seluruh postingan. Dan, caption di setiap postingan selalu sama; 'Sahabat'. Sepertinya, mereka bersembunyi di balik label itu untuk melindungi diri dari kecurigaan orang-orang.

Merasa cukup mendapatkan informasi mengenai Aurel, Tari menutup kembali aplikasi sosial medianya dan meletakkan ponsel. Baru saja akan beranjak dari tempat tidur, suara notifikasi ponselnya itu menghentikannya.

Mata Tari melebar melihat sebaris pesan yang tertera di layar ponsel.

Devan : Tari, kamu sudah bangun? Maaf, aku nggak bisa pulang tadi malam. Aurel diopname di rumah sakit.

'Bodoh amat,' bisik Tari di dalam hati. Lagi pula, tumben. Untuk apa Devan mengabarinya? Dan satu lagi, apa tadi? Maaf? Sejak kapan Devan bisa berbasa-basi seperti itu?

Tari tidak membalas pesan Devan. Dia segera mandi, lalu sarapan. Pagi ini adalah hari pertamanya diantar Ipul, supir barunya.

"Bu Tari, Pak Devan ke mana?" Pertanyaan itu didengar Tari di ruang makan saat Inah meletakkan segelas susu untuknya di atas meja.

"Dia di rumah sakit, Bi." Tari menjawab setelah meloloskan tegukan pertama larutan cokelat itu ke dalam perutnya.

"Siapa yang sakit, Bu?" Inah mengejar dengan pertanyaan kedua.

"Sahabatnya."

"Sahabat?"

"Iya, sahabat," ulang Tari, lalu buru-buru menghabiskan sarapan. Bicara lebih lama dengan Inah tidak membuatnya yakin tidak akan kelepasan bicara.

Ipul sudah menunggu di depan rumah. Melihat Tari muncul dengan sigap dia bergerak membukakan pintu mobil untuk Tari.

"Kita langsung ke kantor, Bu?" tanyanya setelah Tari baru saja duduk.

"Iya," jawab Tari singkat.

Tari tidak perlu menunjukkan lagi di mana kantornya berada. Ipul sudah mengetahuinya dari Bagas.

Kebetulan sekali saat Tari sampai, Arga pun tiba. Mereka berjalan bersisian setelah saling melempar senyum.

"Devan gimana? Udah pulang?" Arga membuka obrolan mereka pagi itu.

Tari menggeleng pelan. "Belum. Dia menginap di rumah sakit. Dia bilang Aurel diopname." Tari memberitahu sesuai dengan pesan yang dikirim Devan tadi.

Arga menghela napas lalu memandang muka Tari setelahnya. Perempuan itu dia lihat sangat berbeda dari wanita mana pun yang dia kenal. Cantik, tapi bukan cantik berlebihan yang membuat bosan, malahan seperti ada sesuatu di wajahnya yang membuat orang-orang teradiksi sehingga ingin memandanginya terus-menerus. Sebut saja namanya manis.

"Kenapa ngelihatin aku kayak gitu?" tegur Tari pada Arga yang tidak berkedip menatapnya.

"Eh, nggak apa-apa." Arga sedikit tergagap, tapi segera menguasai diri. "Kamu udah sarapan?" tanyanya kemudian.

"Udah, tadi di rumah. Kamu?"

"Kebetulan belum, tadi Luna telat bangun, jadinya buru-buru."

"Tumben, kenapa bisa telat?"

"Tadi malam dia agak rewel, tidurnya juga telat."

"Rewel kenapa, Arga?" Tari mengernyit. Merasa tertarik hal sebesar atau seperti apa yang membuat anak itu merajuk.

"Biasalah... dia dipanas-panasi temannya di sekolah."

"Soal apa?"

Arga tertawa ringan, namun terdengar berat. "Soal mamanya."

"Oh... Kalau boleh aku tebak, Luna sedih karena orang tua teman-temannya masih lengkap. Begitu?"

"Iya, Tari."

"Aku juga pernah berada di posisi yang sama," ungkap Tari menimpali.

"Oh ya?" Arga terlihat antusias. Sepertinya dia merasa tertarik mengetahui sisi lain kehidupan Tari.

"Iya. Sejak kecil kedua orang tuaku sudah berpisah. Dan setelahnya aku menganggap di dunia ini hanya memiliki mama. Padahal papaku masih hidup. Hanya saja dia lebih memilih kehidupan yang lain."

Arga terdiam mendengar cerita Tari. Ternyata perempuan itu memiliki sisi lain cerita hidup yang sedih. "Maaf, Tari, bukannya aku kepo. Tapi kenapa orang tua kamu bisa berpisah? Itu kalo kamu nggak keberatan menceritakannya."

Tari tersenyum getir. "Nggak, aku nggak keberatan. Klise sih alasannya. Papa aku kepincut perempuan lain. Dan mama aku dengan begitu bodohnya bertahan bertahun-tahun dengan lelaki itu," ujar Tari mengenang kembali masa kecilnya yang pahit.

Lagi-lagi, Arga terdiam. Apa Tari tidak sadar kalau saat ini dia juga mengalami kisah hidup yang sama?

Tari menyambung kembali ceritanya. "Dari kecil aku udah menjalani kehidupan yang keras, Arga. Jujur, aku sempat menjadi tulang punggung keluarga. Tapi syukurlah usaha Mama sekarang sudah lancar. Mamaku punya resto, walaupun nggak terlalu besar, tapi lumayanlah."

Arga mengangguk-angguk dalam diam setelah mendengar penuturan panjang Tari.

"Kenapa, Arga? Sedih ya hidup aku?" Tari bertanya sambil tersenyum kala melihat Arga yang hanya diam.

"Kamu dan mama kamu hebat. Aku yakin kekuatan kamu itu menurun dari mama kamu."

Tari tersenyum simpul. "Aku nggak sekuat itu, by the way. Cuma mama ngajarin aku buat nggak ngelihatin kelemahan kita pada siapa pun. Dari luar kayaknya kuat banget, tapi di dalam aslinya rapuh. Hahaha..."

Arga menatap lekat-lekat wajah Tari. Apa perempuan itu tanpa sadar sedang mengungkapkan isi hatinya? Kalau iya, kasihan sekali dia. Mencoba terlihat tegar tapi sebenarnya hancur.

"Tari, aku salut sama mama kamu, dan pastinya kamu juga. Boleh nggak sih aku kenal sama perempuan hebat itu?"

"Kamu mau kenal sama mama? Ya, boleh dong! Tapi aku nggak jamin lho kalo kamu nggak bakalan jatuh cinta sama mama aku, dia cantik banget soalnya," canda Tari lalu kembali tertawa.

Arga ikut tertawa. "Nggak bakalan. Mending aku jatuh cinta sama anaknya aja deh."

Tari menjetikkan jarinya. "Nah itu dia, kalo kamu mau nanti siang aku ajak ke resto mama, adek aku juga ada di sana, nanti bakalan aku kenalin ke kamu."

"Kamu punya adek?"

"Iya, adek aku cantik lho, Arga..."

"Oh ya? Cantik mana sama kakaknya?"

"Memangnya aku cantik? Devan aja nggak suka aku kok."

"Itu Devan, bukan aku," jawab Arga dengan tatapan memuja.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang