Dengan matanya sendiri Devan menyaksikan Tari dan Arga duduk berdampingan. Begitu dekat dan tanpa jarak di mata Devan. Sudah begitu mereka terlihat akrab satu sama lain. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Tari nampak bahagia saat bersama Arga. Devan bahkan tidak pernah melihat Tari tertawa selepas itu saat bersamanya. Jangankan tertawa, senyum pun jarang. Seolah dia begitu tertekan saat berada di rumah.
Tidak tahan lagi, Devan berjalan mendekati Tari yang sampai saat ini masih belum menyadari kehadiran Devan di tempat yang sama dengannya.
"Tari, pulang!"
Tari yang sedang mengobrol dengan Arga terang saja kaget saat lengannya ditarik secara tiba-tiba.
Perempuan itu menoleh dan mendapati suaminya yang kini mencekal lengannya. "Devan...," desisnya kaget.
"Pulang sekarang, Tari!" Suara Devan memang tidak keras, tapi Tari menangkap ada nada memaksa di sana.
"Kenapa, Dev? Aku masih ada acara," jawab Tari menolak.
"Aku suami kamu, Tari, kamu harus dengar semua yang aku katakan."
"Maaf, aku nggak bisa, Dev. Setelah ini aku masih harus ke kantor."
"Aku nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus ikut sama aku sekarang!" Nada suara Devan mulai meninggi sehingga menarik perhatian orang-orang yang ada di sana untuk memandang pada mereka.
Tahu dirinya menjadi pusat perhatian, Tari mengalah. Dia tidak ingin Devan membuat keributan di sana.
"Arga, aku pergi sebentar ya, nanti aku balik ke kantor."
"Iya," jawab Arga memaklumi.
Tari meninggalkan tempat itu mengikuti Devan yang terus mencekal lengan dan setengah menyeretnya. Tari tidak habis pikir bagaimana bisa Devan bersikap seotoriter dan seegois ini. Andai saja saat ini dia tidak sedang berada di keramaian, mungkin Tari sudah memberontak dan melepaskan diri.
Di mobil, Tari mengusap-usap lengannya yang memerah. Cengkeraman tangan Devan tadi begitu kuat dan membuatnya kesakitan.
Devan melirik sekilas. Lelaki itu bisa melihat tangan Tari yang memerah akibat ulahnya. Tapi, dia memilih untuk tidak peduli. Mengetahui alasan Tari berada di sana jauh lebih penting untuk saat ini.
"Tunggu apa lagi, Gas?" sergah Devan pada Bagas yang mematung setelah menyalakan mesin mobil, tapi tidak bergerak sejak tadi.
"Kita ke mana sekarang, Pak?" Bagas bertanya bingung. Takut salah arah.
"Balik ke kantor."
"Baik, Pak."
Baru saja mobil bergerak meninggalkan sekolah Luna, Devan langsung menyerang Tari.
"Jadi gitu, ya? Pergi diam-diam saat aku masih tidur, udah gitu sama laki-laki. Ngakunya pergi kerja, nggak tahunya malah kelayapan. Udah gitu ketawa cekikikan nggak jelas, maksudnya apa?"
Tari menghela napas. Dia sudah menduga kalau Devan pasti akan mencecarnya. "Jadi pertanyaan kamu mau aku jawab?" tanyanya dengan nada yang kontras dengan suara Devan.
"Gunakan otak kamu buat mikir. Kalo ditanya itu biasanya gimana?"
"Okay, aku akan jawab pertanyaan kamu. Pertama, tadi pagi aku ke rumah Arga buat ngebento untuk acara market day-nya Luna. Aku nggak bilang kamu karena kamu lagi tidur. Aku nggak mau mengganggu mimpi indah kamu sama Aurel. Kedua, aku nggak kelayapan kayak yang kamu bilang. Tujuanku sudah jelas. Aku ke sekolah Luna, karena kasihan sama anak sahabat kamu itu. Ketiga, terserah aku mau ketawa cekikikan sampai jungkir balik sekali pun. Dan satu lagi, laki-laki yang kamu bilang itu adalah sahabat kamu sendiri sekaligus atasan aku sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️
Romance[SEBAGIAN CHAPTER TELAH DIHAPUS] Tari dan Devan sama-sama dikhianati pasangan mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Tanpa rasa cinta. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang hampa, namun memilih untuk tetap bertahan atas das...