Chapter 59

3.7K 194 11
                                    

Saat membuka mata, yang pertama kali dilihat Tari adalah Devan yang sedang duduk di dekatnya sambil menggenggam erat tangannya. Hal lain yang tertangkap oleh netranya adalah ruangan tempatnya berada yang didominasi oleh warna putih. Tanpa perlu dijelaskan, Tari sudah tahu tempatnya berada sekarang. Terlebih ketika menghirup bau obat-obatan, antiseptik, karbol, atau apa pun namanya. Pasti saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Tapi, kenapa? Apa yang sudah terjadi?

"Kamu sudah bangun?" Devan menyadari hal itu ketika merasakan gerakan tangan Tari dalam genggamannya.

"Dev, aku kenapa?" lirih suara Tari. Dia ingin segera tahu apa yang sudah terjadi. Atau, jangan-jangan tadi dia pingsan?

"Tari, tadi kamu pingsan." Devan menjawab sambil mengusap halus kepala Tari.

Oh, ternyata benar dugaannya. Tari lantas mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum kehilangan kesadaran diri. Wajah lembut Ratih yang pertama kali terbayang olehnya. Selanjutnya, raut tegas Rahardja serta muka cantik Camelia ikut lalu-lalang memenuhi ruang matanya.

"Tari, jangan mikir yang macam-macam dulu." Baru saja Tari akan merangkai kejadian demi kejadian, Devan sudah memberinya peringatan.

Ya sudah, dia tidak akan berpikir yang macam-macam. Tapi mungkin lebih baik Devan saja yang menjelaskan padanya.

"Dev, tolong jelasin kenapa aku bisa pingsan?"

"Tari... sudahlah, aku bilang jangan mikir yang macam-macam dulu. Kamu masih ingat kan apa kata dokter? Kamu nggak boleh stres karena akan berpengaruh pada kehamilan kamu."

"Dev, aku mau ketemu sama Mama. Mama mana?" Tari berniat bangkit dan hendak duduk, tapi Devan menahannya.

"Kamu tunggu aja di sini, aku panggil mama dulu." Devan lalu keluar meninggalkan Tari sendiri.

Dalam diam, Tari mulai berpikir. Kenapa dia bisa selemah ini? Sedikit-sedikit pingsan, sedikit-sedikit tidak sadarkan diri. Itu bukanlah dirinya. Apa mungkin karena saat ini kondisinya yang sedang berbadan dua maka fisiknya pun menjadi lemah?

Pelan-pelan serpihan ingatan Tari mulai terkumpul menjadi satu kesatuan yang utuh. Dia menggeleng sendiri begitu menyadari kenyataan bahwa Rahardja adalah ayah kandungnya dan Aurel merupakan saudaranya.

Oh my gosh! Rasanya terlalu sulit untuk menerima kenyataan ini. Jangankan untuk menerima, untuk memercayainya saja Tari masih belum mampu. Lalu, kenapa begini? Kenapa begitu? Semua ini seperti potongan puzzle yang harus dikumpulkannya agar menjadi bentuk yang utuh.

Devan yang masuk bersama Ratih menyentak kesadaran Tari. "Mama...," desisnya pelan. Ternyata tidak hanya mereka berdua. Ada Sandra juga yang berjalan di belakangnya.

Ratih mendekati Tari lantas duduk di kursi yang tadi ditempati Devan. Terlihat jelas pancaran rasa khawatir di mukanya yang biasanya selalu tenang.

"Aku nggak apa-apa, Ma, nggak usah cemas." Tari langsung bicara sebelum Ratih bertanya.

Ratih mengangguk pelan. Bibirnya yang kering berusaha menerbitkan senyum. "Ada yang ingin kamu tanyakan?" Ratih tahu pasti Tari akan meminta penjelasan atas semua yang terjadi.

Tari menatap Ratih serta Sandra secara bergantian, lalu pindah pada Devan yang duduk di sofa.

"Aku keluar dulu ya." Devan pikir dia harus memberi waktu pada tiga perempuan itu untuk menyelesaikan masalah internal mereka dan berbicara dari hati ke hati.

"Jangan, Dev! Kamu di sini aja," larang Tari sebelum Devan sempat berdiri. Tari rasa Devan juga harus tahu fakta sesungguhnya hingga sedetail mungkin. "Dev, sini!" Tari meminta Devan agar mendekat padanya.

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang