Chapter 15

4.5K 281 1
                                        

Aurel menuangkan red wine ke dalam gelas setelah sesi makan malam mereka berakhir. Dia tersenyum tipis menyadari Devan yang mengamati gerak-geriknya.

"Sedikit aja, Rel," kata Devan memberitahu saat Aurel akan menuang cairan beralkohol itu sampai penuh.

"Apa nggak terlalu sedikit, Dev?" Aurel melihat isi gelas yang tidak sampai setengah. Padahal biasanya Devan sanggup menenggak bergelas-gelas minuman itu.

"Nggak kok, segitu aja." Devan sedang tidak ingin minum banyak malam ini. Devan tahu kapan tubuhnya benar-benar hanya ingin minum, pun saat dia benar-benar ingin mabuk.

Dengan gerakan yang teramat anggun, Aurel memberikan gelas yang sudah berisi pada Devan. Lelaki itu lalu menyesapnya pelan-pelan. Tetiba Devan teringat Tari kala matanya tak sengaja bertemu dengan cincin nikah mereka. Hanya itu. Devan tidak ingin memikirkan Tari dan menambah penuh isi kepalanya. Perempuan di sampingnya lebih menyita perhatiannya.

Devan menoleh ke kanan, dan dia menemukan Aurel sedang tersenyum mesra padanya. Devan balas melengkungkan bibir. Tangannya pun terulur ke arah Aurel. Diselipkannya anak rambut yang jatuh di dahi perempuan itu ke belakang telinga.

Aurel kembali menerbitkan senyum baru. Tangannya sudah berada di atas paha Devan dan mengusapnya halus. Devan terkesiap, seperti dialiri aliran listrik yang tetiba menimbulkan efek kejut dalam dirinya. Tapi, cepat dikendalikannya diri dengan bersikap biasa. Aurel tidak boleh tahu bahwa saat ini Devan begitu mendamba, atau perempuan itu akan menjadi besar kepala.

Detik selanjutnya, Aurel sudah merebahkan kepala di paha Devan. Sementara matanya menatap Devan dengan pandangan mengundang ingin disentuh.

Devan membalas dengan mengusap pipi Aurel yang putih, mulus dan halus. Perempuan yang berada di pangkuannya begitu cantik. Mata bulat dan besar, hidung bangir, serta bibir seksi yang basah dan setengah terbuka seakan memanggil untuk segera dilumat.

Devan hampir saja menundukkan kepala untuk mengecup bibir itu, namun tertahan saat wajah Tari kembali melintas di hadapannya.

'Aku nggak mengkhianatinya. Pernikahan kami hanya status karena keputusan yang diambil akibat emosi sesaat.' Devan kembali mengingatkan dirinya sendiri untuk menyelamatkan dari rasa bersalah.

Tangan Aurel kini sudah terkalung di leher Devan. Ditariknya lelaki itu agar rebah di dadanya. Tapi sebelum Devan benar-benar jatuh, niat itu urung terlaksana karena deringan handphone yang berbunyi nyaring.

"Tunggu sebentar!"

Aurel mendesah kecewa dengan tatapan penuh protes saat Devan meminta untuk bangun dari pangkuannya.

Sementara Devan menelepon, Aurel beranjak ke kamar mandi. Perempuan itu menyiapkan bathtub. Air hangat yang akan menyegarkan tubuh mereka ditaburinya dengan kelopak mawar merah yang indah dan wangi. Tak lupa dinyalakannya lilin aromaterapi yang menguarkan bau lavender.

Aurel tersenyum puas membayangkan acara bercinta mereka nanti. Devan yang gagah, Devan yang kuat dan perkasa kini kembali ke dalam pelukannya. Dan, perempuan biasa berwajah standar itu sebentar lagi akan menangis darah saat Devan menceraikannya.

Di ruang tamu apartemen Aurel, Devan menerima telepon. Saat ini dia sedang berbicara dengan ayahnya, Javier.

"Kamu di mana? Tolong ke rumah sekarang!" perintah ayahnya itu ketika baru saja Devan menyapanya dengan kata 'halo'.

"Aku sedang di luar, Pi, aku nggak bisa ke sana sekarang," tolak Devan. "Kalau Papi mau ditemani untuk ngopi, Papi ajak saja Rayhan atau nggak Arga mereka pasti bisa." Tidak lucu jika acara bercintanya yang dia yakin akan terjadi sebentar lagi tetiba batal hanya karena Javier minta ditemani ngopi malam ini.

"Tinggalkan dulu urusan yang lain, ini bukan soal ngopi, ini lebih penting. Apa kamu sudah tahu ada accident besar-besaran di RIG-103?"

"Apa, Pi?" Devan langsung kaget mendengar berita buruk yang disampaikan Javier. Bagaimana tidak? Yang baru saja disebutkan Javier adalah salah satu lokasi eksplorasi minyak bumi yang pengoperasiannya berada di bawah wewenang Devan's Company.

"Makanya Devan, kamu harus ke sini sekarang. Kamu ke mana saja memangnya? Ada urusan sepenting apa sampai-sampai kamu reject telepon dari Amel?"

"Amel meneleponku? Aku nggak tahu, Pi."

"Coba kamu tanya istri kamu, mungkin dia tahu."

Devan merasa tersentil oleh ucapan Javier. Nyatanya dia sekarang bukan bersama Tari, melainkan Aurel.

"Iya, Pi, aku akan ke sana sekarang," putus Devan mengakhiri pembicaraan.

Lelaki itu kini melihat daftar panggilan di ponselnya. Ada dua belas kali panggilan masuk dari Amel, hanya saja tanpa durasi, yang artinya tidak ada percakapan. Itu berarti panggilan tersebut ditolak. Devan menghela napas kesal. Bagaimana mungkin dia bisa menolak panggilan sepenting itu? Tapi, sudah jelas bukan dirinya yang melakukan hal itu. Siapa lagi kalau bukan...

"Dev, sudah selesai menelepon? Kita mandi, yuk!" Suara manja Aurel menyambut begitu Devan menoleh ke belakang.

"Aurel, kenapa kamu reject telepon dari Amel? Kamu tahu nggak, ada info penting yang mau dia sampaikan tapi nggak bisa karena kamu reject teleponnya," omel Devan jengkel.

Aurel langsung ingat tadi siang memang berkali-kali dia menolak panggilan dari sekretaris Devan. "Sorry, Dev, tadi itu kamu lagi tidur, aku nggak mau ganggu kamu, makanya aku reject aja, lagian aku pikir nggak penting-penting amat," jawab Aurel ringan dan tanpa beban yang membuat Devan jengkel setengah mati.

"Kamu tahu nggak, Rel, kalau Amel yang menelepon itu berarti ada yang penting!" sergah Devan dengan nada tinggi. Lelaki itu lalu mengambil jasnya yang tersampir di sofa dan menarik langkah panjang bermaksud pergi meninggalkan apartemen Aurel.

"Devan, tunggu!" panggil Aurel ketika Devan sudah sampai di pintu depan.

Devan tidak menoleh. Dia memasang sepatunya sambil menekan rasa kesal.

Aurel menahan lengan Devan. "Dev, kenapa kamu marah sama aku? Aku nggak sengaja, Dev... Aku benar-benar nggak tahu kalo ada yang penting. Maaf ya, Dev..." Aurel sangka Devan akan luluh seperti yang sudah-sudah saat dirinya menunjukkan ekspresi memelas. Nyatanya, dia salah. Devan menyentak tangannya dengan keras, kemudian berlalu pergi.

"Devan! Devan! Jangan pergi! Tunggu dulu!" Aurel meneriakkan nama lelaki itu. Tapi percuma, karena Devan tidak menghiraukannya.

***

Sudah semalam ini, tapi Devan masih belum pulang. Berbagai pikiran buruk pun mulai menghantui Tari. Apa yang terjadi pada Devan? Kenapa dia masih belum pulang? Padahal sudah selarut ini. Dan lagi, kenapa dia tidak memberi kabar? Tari sepertinya lupa kalau Devan mana pernah memedulikannya. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan Devan. Dia pasti tidak akan mau buang-buang waktu hanya demi mengetik sebaris pesan singkat: 'Aku nggak bisa pulang malam ini'.

Devan pasti menginap di tempat perempuan itu. Tari yakin sepenuhnya. Entah apartemen atau pun rumah, yang jelas Devan pasti bersama Aurel.

'Aku yang bodoh. Mestinya waktu itu aku bisa menahan emosi. Harusnya aku bisa lebih sabar. Kenapa aku bisa segila itu menerima ajakan Devan untuk menikah? Dan, kenapa tiba-tiba Devan mengajakku menikah?'

Tari tahu, ini semua sudah konsekuensinya. Tapi, setidaknya Devan bisa sedikit menghargai pernikahan mereka, meski sehampa apa pun perasaannya pada Tari.

Dan, malam ini untuk kesekian kalinya Tari tidur sendiri sambil memeluk guling di atas kasurnya yang dingin. Dia terbawa pikiran dan prasangkanya sendiri. Di bagian bumi yang lain, Devan pasti sedang bersama Aurel yang memberinya pelukan hangat.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang