Chapter 10

5.1K 324 10
                                    

"Yang benar saja, Dev? Aku nggak percaya kalau dia istri kamu!" kata Aurel tidak terima. Saat ini mereka sedang berbicara di salah satu sudut lounge.

"Terserah kamu percaya atau nggak. Kenyataannya dia adalah istriku!"

"Istri sewaan, kan? Iya? Cuma buat manas-manasin aku, kan? Nggak akan mempan, Dev! Apalagi cewek kayak gitu yang kamu tunjukin ke aku," oceh Aurel dengan ekspresi jijik.

"Kayak gitu gimana, hah? Buktinya dia jauh lebih baik dari kamu."

"Cuih! Perempuan kayak gitu kamu bilang baik? Dilihat dari puncak Monas juga nggak ada bagus-bagusnya!" Aurel menoleh sekilas pada sosok Tari yang berdiri sendirian tak jauh dari tempat mereka.

Devan ikut melirik istrinya itu. Tari terlihat seperti orang bingung dalam diamnya. Tari pasti terheran-heran dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Devan pun tidak ingin ambil peduli. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan perempuan berbibir seksi yang kini bersamanya.

"Aku nggak ngerti deh, Dev, apa bagusnya dia? Wajah biasa, penampilan nggak banget, aku juga yakin dia pasti nggak ngerti table manner. Iya, kan? Seorang Devano Andrien Darrell menikah dengan perempuan biasa yang asalnya juga pasti nggak jelas. Apa kata dunia? Kamu mikir nggak sih sampai ke sana? Aku aja ngeri ngebayanginnya, Dev, kalau sampai media tahu lalu berita tentang kamu dijadiin headline di mana-mana," omel Aurel panjang lebar sembari bergidik membayangkan.

"Media sudah tahu kalau aku sudah menikah, dan aku nggak akan peduli apa pun penilaian orang-orang. Persetan dengan mereka!" tegas Devan.

"Oh ya? Itu karena mereka nggak tahu siapa istri kamu, coba aja kalau mereka tahu," ejek Aurel lagi-lagi setelah melihat ke arah Tari.

"Terserah!" tandas Devan, lantas memutar tubuh dan berniat kembali pada Tari. Baru beberapa langkah kakinya tertahan saat mendengar Aurel kembali memanggilnya.

"Devan, tunggu!"

Devan menoleh, dan dia melihat Aurel yang sudah jatuh ke lantai dengan wajah meringis.

"Dev, tolong antar aku pulang, kepalaku pusing," rintih Aurel sembari memegang pelipisnya dengan tangan kanan.

"Bodoh amat!" sergah Devan.

"Dev... aku serius, aku pusing..." Aurel mengaduh lagi dan memperlihatkan wajah kesakitan.

Devan pun tergugah dan luluh. Lelaki itu membantu sang mantan kekasih berdiri, lantas memapahnya keluar. Dalam sesaat dia lupa jika tadi datang bersama Tari.

Akhirnya Tari menemukan Devan. Matanya menangkap sosok sang suami melintas di depannya dengan memapah perempuan cantik yang menyita habis perhatian Devan. Lelaki itu tidak memedulikan Tari. Mungkin karena dia terlalu fokus pada perempuan di sebelahnya.

Devan benar-benar pergi meninggalkan Tari, dan Tari kebingungan sendiri. Tidak ada lagi mobil Devan saat Tari melihat ke parkiran hotel.

'Gimana caranya aku pulang? Ini sudah larut malam. Apa mungkin pakai taksi online?' pikir Tari.

Tari celingukan mengamati keadaan di sekitarnya. Tidak ada cara lain kecuali memesan taksi.

"Tari!"

Tari yang sibuk mengutak-atik ponselnya mencari aplikasi taksi online, mengangkat wajah saat mendengar suara seseorang.

"Hei, Arga, kamu di sini juga?" sapa Tari sambil mencoba untuk tersenyum, walau terasa sulit. Seharusnya dia merasa biasa-biasa saja karena pernikahan mereka hanyalah status. Nyatanya, perasaan Tari yang terlalu halus dan sensitif membuatnya merasa sakit sendiri.

"Iya, aku juga di sini, kan yang punya acara teman aku juga. Aku melihat kamu sejak tadi." Arga, lelaki berlesung pipi itu adalah sahabat Devan, Tari mengenalnya ketika lelaki itu datang di pernikahannya dan Devan.

"Berarti kamu juga melihat Devan pergi bersama perempuan itu?"

Arga mengangguk. Dia juga merasa kasihan pada Tari. "Tari, pulang sama aku saja ya, sekarang sudah terlalu larut. Aku nggak bisa jamin keselamatan kamu kalau pulang dengan yang lain."

Tari menerima ajakan Arga karena teringat berita tentang pembunuhan yang dilakukan oleh seorang supir taksi online pada penumpangnya. Kalau bukan karena itu mungkin Tari akan menolaknya.

"Cewek tadi namanya Aurel." Arga mulai bercerita tanpa diminta saat mereka baru saja meninggalkan area hotel.

Tari sontak menajamkan pendengaran saat melihat gelagat Arga akan bercerita panjang.

"Dia seorang model, dan dia juga mantan kekasih Devan."

Tari menelan saliva yang terasa pahit saat mengetahui fakta itu secara langsung dari mulut Arga, sahabat suaminya. Bisa dipastikan bahwa info yang diperolehnya akurat.

"Terus, kenapa mereka bisa berpisah?"

"Aurel selingkuh dengan fotografernya," jawab Arga. Sejenak dialihkannya pandangan dari jalan raya di hadapannya guna melihat ekspresi Tari.

Tari termangu. Dia mengerti sekarang. Berarti nasibnya tidak jauh berbeda dengan Devan. Mungkin itulah alasan Devan langsung mengajaknya untuk menikah. Tapi, kalau memang Devan dikhianati, seharusnya dia membenci Aurel, tapi kenyataannya dia malah pergi bersama perempuan itu.

***

Devan memijit pelipisnya. Tidak percaya kalau pada akhirnya akan bertemu lagi dengan Aurel. Bahkan, kini mereka bersama dengan jarak sedekat ini. Padahal Devan mati-matian membenci perempuan itu karena pengkhianatan yang dia lakukan.

"Dev, aku minta maaf, aku khilaf, Dev... Aku sama Nick nggak benar-benar pacaran. Aku cuma manfaatin dia supaya karier model aku tetap naik."

"Bullshit!" umpat Devan menahan sakit hati. Lukanya hingga saat ini masih belum mengering ketika mengingat perselingkuhan Aurel dan Nick. Tapi dasar cinta, hatinya kembali luluh.

"Dev, tolong maafin aku. Aku sama dia sudah putus."

"So?"

"Aku... Aku ingin kita balik lagi kayak dulu," ujar Aurel pelan sambil mengamati wajah Devan yang sedang menyetir.

"Itu karena pemotretan kamu sudah selesai. Terus, nanti kamu akan ninggalin aku lagi kalau sudah mulai pemotretan yang baru."

"Nggak, Dev, nggak akan pernah lagi. Udah aku bilang semua cuma settingan, Dev..."

"Termasuk hubungan kita," ucap Devan, entah pernyataan atau malah pertanyaan.

"Nggak, Devan, aku serius sama kamu. Yang aku cinta cuma kamu. Please, Dev, kasih aku kesempatan..." Aurel menangkup kedua tangannya di dada sebagai isyarat permohonan.

"Sorry, Rel, aku sudah menikah." Devan menolak terang-terangan.

"Itu cuma status kan, Dev? Karena kamu sakit hati sama aku, makanya kamu lampiaskan dengan menikahi cewek nggak jelas itu!" tuding Aurel blak-blakan.

"Kamu salah. Aku cinta sama dia, dan dia bukan pelampiasan."

"Kalo kamu cinta sama dia, nggak mungkin kamu ada di sini sama aku." Aurel masih belum ingin mengalah.

"Itu karena kamu pura-pura sakit kepala! Shitt!" Devan memukul setir keras-keras sehingga membunyikan klakson dengan panjang. Kesal sendiri karena sudah terjebak drama murahan yang dimainkan Aurel.

"Aku nggak pura-pura, Devan. Tadi aku memang sakit kepala." Aurel terus mencoba menyakinkan Devan.

Devan mendengkus. "Aku harap kamu nggak kena kanker otak!"

"Devan, you are so rude!"

Devan tersenyum sinis. "Kalau perlu stadium akhir sekalian!" makinya jengkel. Sedangkan, Aurel hanya memberengut.

Dan, sepanjang sisa perjalanan mereka tak bersuara.

"Nggak mampir dulu, Dev?" tanya Aurel saat sudah sampai di apartemennya.

Devan melirik arloji, lantas memandang ke arah apartemen Aurel.

"Ayolah, Dev..." Aurel tersenyum manis. Bibir kissable-nya yang dulu sering Devan lumat seakan memanggil-manggil.

Wajah Tari seketika melintas di depan Devan, tapi dengan cepat dia tepis agar tak mengganggu pikirannya. Atau, setidaknya tidak membuat dia merasa bersalah.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang