Satu

706 108 14
                                        

Aya tertidur dengan nyenyak, bahkan dirinya tidak sadar kalau sekarang sudah pukul 10 pagi. Aya memutuskan untuk duduk dari tempat tidurnya, tangannya terus bergerak agar matanya cepat beradaptasi dengan cahaya yang ada.

Tenggorokannya tersekat, dirinya tidak bisa berteriak. Aya tidak tau dirinya dimana, yang jelas ini berubah total. Tas yang dirinya gunakan untuk kuliah tidak tau dimana, laptop yang dibelikan ayahnya juga tidak ada, bahkan tab tempat dirinya melukis dan membuat komik menghilang. Semua keadaan kamarnya berubah drastis. Lebih lega dan sedikit membuatnya meringis.

Dinding berwarna merah mudanya berganti dengan warna putih bersih. Lemarinya kembali ke model apak zaman dulu, bahkan jendela kamarnya benar benar tua sekali. Menggunakan kayu yang di cat cokelat mengkilap dengan tirai putih dengan renda renda, bangunannya mengingatkan rumah neneknya yang ada di Bandung.

Aya memberanikan diri mengaca ke kaca yang benar benar kuno, mungkin saja kacanya bisa mengabulkan permintaannya atau mungkin saja ini sebatas mimpi biasakan? Vivid dream bisa terjadi saat seseorang sedang stress atau keadaan yang kacau. Aya meraba wajahnya didepan cermin, ini bukan dirinya.

Wajahnya putih, dengan adanya freakles dikit pundak dan hidungnya. Rambutnya cokelat tua, secokelat meja rias yang ada dikamar barunya ini. Bahkan, Aya baru sadar baju tidur yang dirinya pakai adalah baju terusan berwarna putih dengan pita yang mengikat disisi sisi pinggangnya. Wajahnya jauh lebih muda, membuatnya dirinya berpikir, usia berapa dirinya. Yang lebih janggal lagi adalah, suasana Jakarta tidak pernah sehening dan sedingin ini membuat Aya yakin dirinya ada di Bandung dengan pakaian aneh.

Pasti neneknya membuat macam macam saat orang tuanya membawa dirinya diam diam kesini. Aya sangat tau jalan pikir orang tuanya kalau mereka ingin 'melakukan pacaran' tanpa Aya kalau dirumah. Suka tidak ingat umur memang. Tidak tidak. Aya lebih menyukai kalau ini mimpi. Aya tidak terima kalau dirinya harus datang ke rumah neneknya disaat dirinya mempunyai tugas yang menumpuk perihal zaman kolonial, neneknya adalah salah satu orang yang hidup di zaman kolonial. Hebat sebenarnya bisa hidup sampai detik ini tanpa penyakit sedikitpun.

Aya beralih ke ke jendela membukanya perlahan melihat perkebunan dan pelabuhan luas yang dirinya bisa lihat dari kamarnya ini. Aya tidak pernah melihat di kota Bandung ataupun Jakarta ataupun tempatnya kuliah atau kota manapun yang pernah Aya pijaki di Indonesia tidak pernah melihat yang benar benar se-asri ini. Aya melihat banyak sekali orang orang memakai pakaian kebaya ataupun baju tradisional untuk mengangkat karung beras atau gandum atau teh.

"Kebaya.." Gumam Aya melihat kondisi disekitarnya.

"Louise," Aya menoleh kebelakang melihat seorang wanita cantik menggunakan gaun berenda dengan sepatu pantofel berwarna putih, rambutnya hampir sewarna dengan rambut Aya kalau wanita itu tidak mewarnai rambutnya dengan warna putih disela sela rambutnya. "Selamat ulang tahun yang ke-16." Kata wanita itu sambil mengecup kening Aya tanpa permisi.

"Nama saya Aya, bukan Louise." Ujar Aya.

"Nama macam inlander seperti itu? Membuat derajat kita rendah saja." Cibir wanita didepannya.

"Apa? Aku ini orang Indonesia, aku bangga namaku Aya." Balas Aya.

"Indonesia? Aya? Apa maksudnya, Louise? Apa Dereck menar benar mencuci otakmu?" Tanya wanita itu lagi.

Sungguh Aya benar benar dengan wanita dihadapannya. "Saya ini Aya nyonya, tidak ada orang yang bisa mencuci otak saya sedikitpun atau menyebut saya inlander karena nama saya"

Plak!

"Buat kamu sadar kalau hari ini sudah siang hari." Ujar wanita itu sambil menampar Aya, awalnya dirinya tidak takut menerima tamparan itu. Tapi, dirinya merasa perih bahkan panas di area pipi kirinya yang ditampar.

"Sakit." Gumam Aya pelan.

"Iya, Louise setelah kamu melupakan ibumu sekarang kamu lupa dengan rasa sakit." Kata wanita itu lalu berbalik untuk meninggalkan Aya.

"Tunggu!" Kata Aya membuat wanita itu membalikan tubuhnya menghadap Aya lagi.

"Aku ingin bertanya," Aya menghela nafasnya panjang ini sama sekali tidak bermimpi, maka satu satunya cara adalah menanyakan keberadaan dan tahun kapan ini. "Di-dimana, tahun berapa ini?"

Wanita itu menatapnya aneh. "1860, Batavia. Berhenti sandiwaramu, sekarang pakai baju yang pantas. Sudah cukup aku mentoleransi si Dereck itu." Gerutu wanita itu lalu keluar dari ruangan Aya.

"1860" Aya masih tidak percaya. "2021 ke 1860, berapa jauh mundurnya.." Lirih Aya sambil menatap tidak percaya dengan keadaannya.

Tersesat ke seratus enam puluh satu tahun kebelakang membuat Aya semakin sakit kepala rasanya. Namanya aneh, lebih aneh dari nama yang diberikan ibu kandungnya. Disini namanya seperti anak laki laki, Louise. Sepertinya Aya harus mencari tau tenymtang Louise yang tubuhnya disemanyamkan dengan Aya hari ini tidak tau sampai kapan.

Aya memutuskan untuk membuka lemari, menatap gaun gaun yang sama sekali membuat dirinya sulit memilih. Biasanya Aya menggunakan gaun jika diacara acara resmi saja, tidak pernah seperti ini.

"Warna putih bagus sekali untuk memperingati hari kesengsaraan yang belum selesai ini." Kata Aya mendengus pasrah lalu mengganti bajunya dengan malas.


























Lanjut?
Yey or nay?

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang