Delapan

230 54 4
                                    

Aya menggunakan gaun yang tidak panjang agar mempermudahnya untuk berjalan. Gaunnya kali ini berwarna merah muda cerah dengan kaos kaki panjang putih, dan sepatu hitam yang sudah digosok sampai mengilap. Seperti biasa rambutnya menggunakan pita, dirinya siap untuk mendapat pelatihan dari keluarga Hasselt. Aya membawa beberapa buku yang dipakai untuk dirinya mencatat.

Aya keluar dari ruangannya bertatap tatapan dengan Andi yang ternyata ruangannya didepan ruangan pemuda itu. Pakaian Andi menggunakan kemeja putih dan celana bahan berwarna cokelat muda, sepatunya menggunakan pantofel hitam yang bagus tidak seperti sepatu yang biasa digunakan pemuda itu ke sekolah.

Tatapan mereka bertemu, Andi melihat dirinya dengan sedikit sinis lalu melewatinya membuat Aya langsung berjalan cepat untuk menyamai langlahnya dengan pemuda itu. Pelayan pelayan rumah Hasselt menatap dirinya dengan pandangan aneh, yang mau mau saja berjalan setara dengan seorang Inlander. Menurut Aya dirinya sedang melakukan keadilan sosial dan kesetaraan antar manusia.

Andi memberhentikan langkah membuat dirinya memberhentikan langkah juga. Pemuda itu menatapnya tajam, membuat Aya menelengkan kepalanya kesamping sambil tersenyum manis.

"Kamu ingin melukisku, ya? Bagus sekali karena aku-

"Berhenti mengikutiku."

"Tidak mau."

"Kamu benar benar ingin membuatku mati, ya?"

"Kalau misalnya aku mencintaimu, gimana?" Tanya Aya yang tiba tiba saja mulutnya mengatakan perkataan tersebut.

"Apa?" Balas Andi menatap heran dirinya, bahkan Aya juga membalas menatap heran.

"Aduh, maaf ya aku tadi melantur! Aku duluan." Kata Aya langsung berjalan terburu buru, mengipasi pipinya yang mulai memerah karena pertanyaannya tadi.

Lami sialan! Seru Aya meruntuki dan menyumpahi Lami yang membuat dirinya kepikiran untuk menjawab pertanyaan gadis itu.

Duk'

Aya menabrak punggung seorang pria yang sangat tegak, sambil membawa buku bukunya. Siapa lagi kalau bukan tuan Hasselt yang mengundangnya datang kesini untuk mempelajari tata negara demi menjadi pegawai sipil yang baik dan kompeten. Pria ramah itu mengambil satu persatu barang Aya yang terjatuh tadi.

Tuan Hasselt memberikan kepadanya dengan baik hati. Aya melihat sesuatu dari tangan pria itu, sebuah arloji zaman yang lain dari sini membuat Aya menatap pria itu yang masih tersenyum ramah padanya dan mengajaknya berjalan bersama dengan bahasa tangan yang mudah sekali Aya kenali.

Aya bisa melihat kekayaan tuan Hasselt yang sangat banyak ini. Aya mungkin sempat berpikir kalau tuan Hasselt pasti melakukan eksploitasi manusia dan sumber daya alam besar besaran. Tapi, nyatanya tidak. Aya bisa melihat para perkebun makan buah buahan diladang dan membawa sekeranjang penuh untuk dibawa pulang.

"Aneh, ya?" Tanya tuan Hasselt sambil menoleh kepadanya.

Aya mengangguk. "Iya, bagaimana bisa?" Tanya Aya.

"Ladang milik mereka, aku hanya mengambilnya separuh dan memberikan mereka upah. Sebagian hasil disini bisa mereka bawa pulang, setidaknya itu yang bisa aku berikan." Kata tuan Hasselt membuat Aya mengangguk.

Aya menatap kearah taman besar dibawah sana, rumput rumput hijau selalu membuatnya nyaman dan langit biru. "Louise, sebagaimanapun kastamu kamu tetap ada dinegara orang. Kamu harus menghargai tata bahasanya, ingat kita hanya menum-

"Kita menjajah." Potong Aya menatap tuan Hasselt.

"Anda tau tentang itu, bukan? Kita berbeda dari orang orang Netherland yang lain, aku tau reputasimu dimata mereka tuan Hasselt. Anda dikucilkan, anda merasa getir oleh karena itu anda menutup rumah anda, tidak ada sembarang orang bisa masuk ke rumah anda tanpa alasan khusus. Benar?" Tanya Aya.

Baiklah, otak Aya sekarang sudah terkontaminasi oleh pikiran dari diri Louise. Dirinya sudah bisa mulai menyesuaikan diri, seperti itu sangat bagus. Walaupun kadang dirinya berubah jadi angkuh dan pemilih. Tapi, yang tadi sepertinya saat kembali Aya akan self reward dirinya dengan membeli boba mentraktir Yujin.

Tuan Hasselt mengacak rambutnya dengan lembut. "Louise seandainya kamu anak Hindia Belanda, mungkin mereka akan bersyukur mempunyai generasi yang memiliki pikiran terbuka sepertimu." Kata tuan Hasselt.

Aya tampak tidak terlalu memikirkan perkataan tuan Hasselt. Dirinya terlalu terpaku dengan halaman rumah yang luas, bahkan melihat kebun kebun yang membuat Aya sedikit tenang, tidak merengek kembali ke orangtua kandungnya untuk sepenuhnya menjadi Aya Carrisa bukan Louise C. Van Godilieve.

"Nah, Louise.. aku melihat kamu menyukai Max Havelaar, buku yang membuat para kolonial seperti kita luluh lantak." Kata Tuan Hasselt membuat Aya mengangguk.

"Hari ini kita akan membahas tentang itu, aku akan membuat para kaum kita dan kaum mereka berpikiran terbuka, sekalian menceritakan tentang pelayaran kamu kita dulu." Lanjut Tuan Hasselt.

"Untuk apa?" Tanya Aya.

"Terkadang, kita harus menceritakan keberanaran dari sejarah untuk masa depan. Benar, kan?" Jawab tuan Hasselt sambil mengedipkan matanya, dan melewatinya.

Ucapan pria itu tidak bermaksud apa apa, Aya yakin. Tapi entah kenapa itu sangat mengusik. Dari tatapan pria itu hingga kedipan matanya membuat Aya termenung sekarang.



















Hallooo.. udah lama gak up, ehehehe..
Aku bakal hiatus, gak tau sih sebentar atau lama ehehehe..

To be contitues...

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang