Dua puluh enam

160 41 0
                                    

Hai Happy sunday!

---

Aya merindukan Jakarta sekarang, bukan Batavia tempatnya berdiri sekarang. Dirinya merindukan teman temannya, walaupun disatu sisi dirinya bisa bergaul dengan mudah dengan siapa saja dan kasta yang lumayan terpandang disini.

Tapi, bagaimanapun juga ini bukan dirinya disini dirinya hanya memerankan Louise, Louise yang tidak pernah dirinya kenali sebelumnya, disini Aya belajar nyatanya menjadi seseorang yang bukan diri kita sendiri sangat sulit. Aya harus belajar banyak tentang bahasa bahasa yang belum di modernisasikan, bahkan berkata Bahasa Indonesia saja harus lebih berhati hati disini.

Dirinya menulis untuk referensi kuliahnya, mungkin dirinya bisa kembali dengan catatan tidak terjebak di zaman ini, dan dirinya tidak ingin mengulang mata kuliah karena ditelan oleh kasurnya sendiri.

Aya melihat Andi yang sedang memetik bunga lagi dekat taman yang dipagarkan, Aya tidak tau kenapa taman atau kebun itu sering sekali dipagar. Liburan di rumah keluarga Hasselt kadang membosankan apalagi kalau hanya duduk melihat kebun dibatasi itu.

"Louise."

Aya menoleh melihat Cornelius yang tinggi gagah itu duduk disisinya, dengan cepat Aya langsung menyimpan buku catatannya disaku rok gaunnya.

"Selamat siang Cornelius." Sapa Aya sambil tersenyum.

"Menatap kebun itu?" Tanya Cornelius membuat Aya mengangguk.

"Kamu akan tau jawabannya, suatu saat nanti." Jelas Cornelius.

"Baik."

"Louise." Panggil Cornelius membuat Aya menoleh lagi, akhir akhir ini pasangan Hasselt ini bertingkah laku aneh, kecuali Lami. Gadis itu tidak terlalu sinis- jadi Aya anggap gadis itu melakukan perubahan yang bagus.

"Iya?" Tanya Aya.

"Kenapa ada hari esok, dan kemarin? Apa kita bisa pergi ke hari lalu?" Tanya Cornelius dengan tatapan yang kosong.

"Apa? Kenapa anda berbicara seperti itu? Jangan konyol Cornelius." Balas Aya.

"Mungkin hanya pikiran sampahku saja." Kata Cornelius sambil menghela nafasnya membuat Aya melangkah menjauh.

Tapi, mungkin Cornelius butuh jawaban yang pasti, bukan? Aya memilih untuk memberhentikan langkahnya dan bebalik kearah pria paruh baya yang sedang menyesap cerutunya. Mungkin orang orang di zaman ini memiliki imajinasi yang luar biasa sampai bisa terpikir seperti itu, tapi sebagian dirinya perkataan Cornelius sangat tidak asing seperti pernah dirinya dengar dan baca disalah satu film atau buku.

Entah perkataan siapa, yang jelas dirinya lupa.

"Ada, seseorang bisa pergi ke hari kemarin Cornelius." Kata Aya lalu melangkah pergi.

Tetap saja seratus langkahpun kakinya menjauh, benda benda asing- yang seharusnya tidak ada disini ada di ruangannya, sama seperti benda benda canggih yang ada di kamar Lami. Tapi, Lami sudah berterus terang dam sangat jelas kalau gadis itu seorang pejalan waktu yang terjebak dizaman ini.

Satu satunya orang yang ingin dirinya hampiri sekarang adalah Lami penyelidik yang baik tentang orang orang asing yang masuk ke atsmosfer zaman ini, mungkin dulunya atau di masa depan gadis itu bekerja sampingan sebagai detektif? Karena gadis itu cerdas sekali.

Dan Lami adalah satu satunya orang yang ingin Aya datangi kali ini. Tidak peduli dengan ujung ujung gaun panjangnya yang mulai terkena tanah lembab, meninggalkan jejak jejak dilantai putih.

Kriet..

Aya langsung membuka pintu kamar gadis itu, dan menutupnya dengan pelan walaupun hal itu mengundang tatapan terkejut Lami yang sedang berusaha mengotak atik benda yang bisa menciptakan sebuah citra hologram yang hampir 3 dimensi.

"Hampir aja aku melempar benda ini!" Seru Lami, lalu meletakan obeng kecil dan jam tangan itu ke bawah kasurnya.

"Kamu kan selalu tinggal disini, maksudku kamu penghuni tetap semenjak kamu terdampar disini." Aya menatap sekelilingnya. "Apa kamu yakin tidak ada orang yang terdampar sama sepertimu?"

"Kamu."

"Maksudku selain aku."

"Ada satu orang lagi, tapi ini sangat rahasia, dan aku tidak punya hak untuk mengatakannya karena orang itu cepat dan lambat akan memberitaumu." Jelas Lami membuat Aya mengangguk.

"Apa itu Cornelius?" Tanya Aya.

"Apa? Bukan bodoh, bukan dia." Jawab Lami.

"Maksudku apa kamu tidak merasa curiga dengan sikap kedua orangtuamu itu?"

"Kenapa?"

"Pertama kali aku datang kesini aku melihat jam tangan canggih, dan tadi dia menanyakan sebuah pertanyaan yang sangat tidak asing dikepalaku." Jawab Aya.

"Itu karena apa yang kita lakukan pernah dilakukan oleh orang orang terdahulu kita, Louise." Jelas Lami.

"Maksudku-

"Dia bicara apa?" Potong Lami.

"Aku ingat sekarang."

"Apa?"

"Lami apa kamu ingat kapan Albert Einstein lahir?" Tanya Aya membuat Lami mengerutkan keningnya.

"Kok malah menyerempet ke Einstein?" Tanya Lami.

"Jawab saja!"

"Baik baik!" Lami menghela nafasnya pelan. "Tahun 1879."

"Dan sekarang tahun?"

"1860?"

"Dan Cornelius bertanya hal yang hampir sama dengan apa yang dipikirkan Einstein yang pernah aku tonton atau baca."

"Dia bertanya apa?"

"Tentang perjalanan waktu ke masa lalu."

"Aku akan membantumu mencari tau motifnya, mungkin aku akan meminta bantuan orang lain dan percayalah jangan teriak saat orang itu datang." Kata Lami.

"Baik."

"Temui aku lusa, setelah pulang sekolah."

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang