Dua puluh

171 42 1
                                    

Haiii!
Aku bakal usahain sekarang update setiap hari, soalnya kedepannya juga aku bakal sibuk ujian ehehe...

Jangan lupa jejaknya yaa
----

Andi menatap keluar jendela, semuanya tampak sepi. Biasanya di rumah keluarga Hasselt seperti ini, tapi keadaannya tampaknya berubah saat Louise, rumah yang biasanya sepi dan penuh dengan hiruk piruk ke sibukan menjadi sedikit cair. Apalagi waktu itu, tampaknya Andi ingin tertawa puas melihat Louise hampir menusuk leher William- penindasnya.

Pemuda mengambil kotak P3K dan mengganti perban, untuk membalut luka lukanya yang nyaris terkena infeksi waktu itu. Kejadian di sekolah membuat Andi nyaris benar benar menemui ajalnya sama seperti kejadian ayah Louise menendang hingga menginjak injaknya, Andi merasakan waktu itu isi perutnya hampir keluar melalui mulutnya.

Hujan deras, Andi memikirkan nasib ibunya di rumah yang bagaikan gubuk derita. Tapi, Andi tidak ingin membuat ibunya khawatir dengan luka yang membiru ditangan dan disepanjang punggungnya.

"Andi, ada yang bisa dibantu?" Tanya Lami masuk kedalam kamarnya, dan duduk disebelahnya.

"Tolong yang di belakang sini." Jawab Andi menurunkan kemejanya dan memunggungi Lami.

Gadis itu membelitkan perban dengan melingkar ke punggung Andi. "Kamu masih marah dengan Louise?" Tanya Lami.

"Tidak tau." Jawab Andi.

"Aku terlalu ikut campur, ya?"

"Tidak, terima kasih ingin membantuku."

"Louise mencintaimu." Kata Lami.

"Tapi aku mencintaimu." Balas Andi.

"Memang bisa?" Tanya Lami menaruh perban ke meja terdekat, sedangkan Andi mulai memakai kembali kemejanya.

Andi menatap Lami lalu mengangkat bahunya. Dirinya juga tidak tau apakah bisa atau tidak. Andi memilih untuk tersenyum.

"Aku akan membantu Beatrix menata makan malam." Kata Lami lalu keluar dari ruangannya.

Andi hanya menatap gadis bergaun warna ungu itu menutup pintunya dengan rapat. Menyisakan Andi dengan kesendiriannya lagi, di kamar kayu dan suara hujan diluar sana. Andi memutuskan untuk melihat ke jendela.

Terkadang Andi iri dengan Renjun, dan Chenle yang dilahirkan sebagai orang yang memiliki keturunan dari luar negeri. Andi juga iri dengan Jacob, Markus, dan Dereck yang sekarang sukses tidak lupa dengan Airin yang sekarang berhasil dan menetap di Polandia. Bukan berarti Lami tidak berhasil, Lami dan dirinya belum sesukses mereka.

Seandainya dirinya mempunyai keluarga lengkap mungkin sekarang ayahnya membelikannya sepotong kue murah, atau semangkuk selendang mayang untuk merayakan keberhasilannya lulus dengan nilai sempurna disekolahnya. Iya, seandainya. Andi tidak mungkin meminta ibunya uang untuk membelikan makanan atau kue.

"Selamat dapat nilai bagus Andika." Katanya pelan hanya untuk menghibur diri.

"Selamat karena bisa bertahan hidup sampai sekarang, selamat menikmati kekejian dunia setiap tahunnya." Katanya lagi menatap petir yang mulai menyambar nyambar di langit.

Dulu sebelum mengenal keluarga Hasselt, dirinya akan bermain hujan hujanan sampai sakit bersama Chenle, dan Malikh - Malikh sudah meninggal dunia karena disentri satu tahun yang lalu. Kalau diingat ingat, seandainya kenangan itu bertahan lama mungkin dirumah ini Malikh bisa membantunya untuk beradaptasi dan tidak salah langkah.

Akhir akhir ini juga ada perasaan yang mengganjal. Rasanya dirinya semakin kesepian, padahal rasa sepi adalah salah satu bagian dari kehidupan Andi. Andi selalu merasa menjadi roda ketiga, terlupakan dan selalu menjadi orang luar.

Salah tidak kalau Andi merasa kehilangan Louise? Karena Andi merasa kehilangan gadis itu sekarang. Rasanya teman yang mengganggunya benar benar menghilang seperti Malikh yang meninggal dunia karena penyakit pencernaan dari amoeba yang Andi benci sampai sekarang. Tapi, rasanya Louise lain, Andi merasa karena dirinya Louise menjauh.

Walaupun Andi yakin itu 100% benar, bahkan Andi menyeret Lami agar membantu Louise untuk menjauhinya. Seharusnya Andi lega karena tidak berurusan dengan kaum seperti Louise, seharusnya Andi senang dirinya tidak terlibat dengan mereka dan mengurangi luka fisik yang lebih parah lagi.

"Andi." Panggil seseorang membuat Andi menoleh. "Wah, sedang apa melihat jendela?" Tanya Dereck yang mulai duduk di kasur Andi.

"Mengenang teman." Jawab Andi.

"Maaf aku tidak bisa menyelamatkan temanmu waktu itu." Kata Dereck.

"Tidak apa apa, pasien orang Netherland mu lebih penting dan mendesakmu waktu itu. Jadi tidak masalah." Balas Andi.

"Aku berusaha adil ke semua orang, tapi saat itu aku sadar kalau dunia yang tidak adil ini menyulitkan semua orang untuk bertindak adil dan netral." Kata Dereck.

"Aku bawakan kue untukmu." Dereck mengeluarkan sebuah kue untuk Andi. "Aku habis pulang dari rumah pasien Belanda yang kurang mampu,  mereka membekaliku sepotong kue. Aku teringat atas prestasimu di sekolah, jadi ini untukmu." Jelas Dereck.

Andi berbalik menatap Dereck yang memberikan kue itu kepadanya. "Kamu habis dari Buitenzorg, bukan?" Tanya Andi membuat Dereck mengangguk, wajahnya bahkan tidak terlalu senang saat Andi menyebut nama kota itu.

"Bertemu dengan Jacob, tidak?" Tanya Andi.

"Aku tidak mampir ke tempat kerjanya. Tiga hari lagi dirinya minta jemput, dan aku akan ke Buitenzorg. Mau menitip buah tangan?" Tawar Dereck membuat Andi menggelengkan kepalanya.

Dereck tersenyum lalu mengacak rambutnya. "Adik-ku sudah besar." Katanya dengan nada bangga.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang