Tiga

438 91 30
                                    

Aya kini mencari cari Andi, meninggalkan teman temannya- bukan, teman teman Louise si anak Netherland mewah ini. Sekarang waktunya makan siang, banyak sekali murid murid menduduki bagian bagian rerumputan, berbisik bisik saling menjatuhkan satu sama lain atau membicarakan menu untuk makan besok.

Dirinya melihat sekumpulan anak inlander duduk manis disana, sambil menyantap makan makanan yang sederhana. Mau semewah apapun Koning William III Te Batavia dimata orang Netherland dan inlander disini tetap saja ada diskriminasi Ras, disini tetap saja ada seseorang yang mengutarakan pertanyaan bisa - tidak makan esok hari.

Menurut Aya inlander disini tidak sepenuhnya seorang pemuka atau petinggi daerah, ada yang dari rekomendasi dan dari belas kasih seorang Netherland baik hati untuk menyekolahkan pembantu atau anak angkat mereka, buktinya adalah Andi. Pemuda itu menyantap nasi yang hanya segumpal besar dengan ikan kecil, disebelah pemuda itu ada gadis menggunakan kebaya putih dan kain batik, didepannya ada seorang pemuda berdarah tionghoa yang membicarakan tentang bisnis.

"Permisi," Aya menghampiri mereka, ada wajah takut yang tersirat dari gadis dan pemuda berdarah tionghoa itu. Hanya Andi yang menatapnya malas. "Aku membawa keik, mau?"

"Ma-

"Chen le, nanti ayahnya akan meninjumu. Kamu mau?" Tanya Andi membuat Chenle mendengus pasrah dan hanya melirik bungkusan bekal makanan.

Aya memilih duduk ditanpa permisi. "Baik, kalau kalian malu malu. Bagaimana kalau kita duduk manis sambil makan dan membicarakan masa depan? Bagaimana?" Tawar Aya sambil membuka bekalnya.

"Masa depan, ya? Paling tidak aku menjadi pembisnis kerajinan tangan dan emas seperti orang tuaku." Jawab Chenle.

"Masa depan tidak selalu harus menjadi penerus usaha keluarga. Kita sekolah disini untuk dididik sebagai warga sipil, kan?"

"Tapi, tetap kastamu dan kasta Lamina yang akan tinggi."

"Hei!" Tegur gadis yang Aya tebak adalah Lamina. Wajah gadis itu terasa sangat asing di abad ini, tidak seperti wajahnya yang berubah drastis seperti tataan Netherland di zaman Hindia Belanda.

Andi hanya mengangkat bahunya tidak acuh, lalu mengeluarkan sebuah kalung yang ditengahnya ada sebuah batu mirah berwarna merah yang menurut Aya sangat mencolok. Menurut Aya, Andi ini termasuk golongan Inlander hebat. Bayangkan pemuda itu berani menggunakan barang semewah itu ditengah tengah pakaian lusuhnya.

Batu mirah sangat jarang. Paling tidak yang sering Aya lihat adalah batu giok yang sering dijual oleh pedagang pedagang asing entah imitasi ataupun asli.

"Aku masih heran. Kamu serius ketemu itu di jalan? Kamu bukan orang terpandang?" Tanya Lamina.

"Bagaimana kalau orang Netherland itu akan merampok kalung batu mirahmu?" Tanya Chenle.

Andi hanya mendengus sambil menutup bekal makanannya, menyembunyikan kembali kalung ke bawah bajunya. "Disini ada orang Netherland, kan?" Tanya Andi membuat Lamina dan Chenle menoleh kearah Aya.

"Kita belum berkenalan, aku Chenle Zhong. Papa dan Mamaku berlayar kesini untuk berdagang awalnya, tapi semakin lama kelamaan ingin menetap." Kata Chenle.

"Lamina Jacqline Van Hesselt, bukan Netherland. Aku hanya anak asuh mereka, panggil aku Lami." Ujar Lami sambil tersenyum manis.

"Nah, bagaimana giliran aku yang berkenalan? Dan memberi kalian sesuatu tentang pencerahan untuk masa depan?" Tawar Aya.

"Ya, tentu Louise."

"Bangsa Netherland akan pergi kurang lebih beberapa tahun lagi, karena selanj-

Andi mendengarkan Aya dengan setengah hati sedangkan Chenle mendengarkan cerita Aya seperti sedang menonton Avangers yang sering Aya tonton kalau sehabis pulang kuliah, memuja habis habisan Captain Amerika adalah pekerjaan Aya dulu. Tapi, sekarang mungkin Aya akan mencari kesenangan baru karena disini tidak ada teknologi seperti televisi.

Lami terbatuk, lalu berdeham deham untuk menetralkan suaranya kembali membuat Andi menatap prihatin kepada Lami begitu juga dengan Chenle. Andi memberikan air minumnya yang sedikit kepada Lami, membuat gadis itu langsung meminum air tersebut.

"Maaf, akhir akhir ini sepertinya aku sakit." Kata Lami.

"Sepertinya kamu harus istirahat, apalagi katanya orang tuamu akan mengadakan pertemuan di Buitenzorg." Ujar Andi.

Aya mengingat ingat apa itu Buitenzorg di Indonesia abad ke-21. Tiba tiba saja ingatan Aya sebagian menghilang, tidak tau dimana. Aya tidak ingin mengandalkan tubuh, Ras, dan tata bahasa ketus Louise Caroline Van Godilieve ini. Kesannya Aya tidak cocok dengan sifat sifat dan garis garis wajah Louise.

"Maksud kalian Bogor?" Tanya Aya mengundang tatapan penuh tanya dari ketiga orang disekitarnya.

"Bogor?"

"A-ah, lupakan aku hanya mencari kata kata bagus untuk menamai semut dirumahku." Jawab Aya membuat semuanya mengabaikannya kecuali Lami yang menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tidak bisa Aya deskripsikan. Gadis itu menatapnya penuh makna yang tersirat seperti menyusun siasat.

"Aku dan Chenle akan ke kelas, memastikan kalau kelas sudah mulai." Kata Andi lalu pergi bersama Chenle menyisakan Aya dan Lami.

"Masa depan itu sangat gampang berubah ubah, bukan?" Tanya Lami membuat Aya mengerutkan keningnya sambil mengangguk.

"Tutup mulutmu Lou, kalau tidak ingin kau menjadi tumbalnya sendiri." Tambah Lami.
















Maaf ya aku slow update banget :")
Lagi jarang buka wattpad bahkan sama sekali gak buka,, cerita ini masih kalian simpen?

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang