Tiga puluh satu

157 40 0
                                    

Double nya nih :>

---

Andi berdiri dihadapan William, pemuda itu lebih pucat dari biasanya mungkin kalau tentang wajah sudah dijelaskan sebelumnya. Pemuda jangkung itu hanya berdiam diri dihadapannya.

Sebelumnya dirinya sudah mempersiapkan diri untuk tidak emosi atau mengeluarkan kata kata kasar kepada William. Tetapi, melihat wajah angkuh pemuda itu rasanya ingin sekali meninju wajah William sampai tersungkur ke tanah.

"Kamu seharusnya tidak boleh membentak ayah." Kata William.

"Bertingkah layaknya saudara." Balas Andi.

"Kamu ini saudaraku." Ujar William.

Andi mengerutkan keningnya, lalu melipat tangannya didepan dada. "Bilang kepada ayahmu, jangan mengutusmu lagi untuk menasehatiku." Kata Andi.

"Kamu tau memberitau sebenarnya mengancam nyawamu. Ibu akan membunuhmu, bagaimana caraku untuk melindungimu?" Tanya William.

Andi menatap William dengan tatapan penuh tanya. "Kamu ini habis makan apa? Atau di sogok oleh siapa?"

Andi tidak tau kenapa William bisa berbicara selembut ini kepadanya, Andi juga tidak tau kenapa pemuda itu rela berjalan kaki ke Chinese wijk hanya untuk memghampirinya kesini.

Lawan bicaranya kini menunduk, mungkin menyesal karena perbuatannya. Entahlah, rasanya Andi ingin berdecih tapi dirinya adalah pemuda yang memiliki sopan santun.

"Maafkan aku, seandainya aku tau kamu-

"Tindakanmu tidak manusiawi, mau aku saudara atau orang lain apa pantas merasa kedudukanmu lebih tinggi, William? Bukan aku saja, apa pantas memperlakukan hal seperti itu ke orang lain?" Tanya Andi.

Sungguh tangannya sudah gatal ingin membuat sudut bibir pemuda didepannya itu berdarah, Andi ingin sekali menginjak injak William untuk merasakan diambang kematian tiap harinya, menggigil ditengah jalan sambil memohon.

Seandainya pemuda itu merasakannya salah satu penderitaannya saja, seandainya pemuda didepannya merasakan jadi seseorang asing ditengah temgah lingkungan yang sangat dirinya benci.

"Papa mengakuimu agar kamu menjadi penerusnya menjadi pegawai sipil, papa menyekolahkanmu melalui Cornelius dan Beatrix. Maafkan aku seandainya aku tau batu-

"Maaf? Apa kamu pernah merasakan satu dari penderitaanku, Will? Kamu menganggapku saudaramu sekarang setelah ratusan kali kamu menginjak injaku dilantai atau di sekolah. Apa tindakanmu perlu dimaafkan?" Ujar Andi kali ini sedikit memaki.

"Itu tindakan manusiawi."

"Itu biadap namanya bodoh."

"Baik baik! Bagaimana cara untuk kamu memaafkanku?" Tanya William tatapannya frustasi sekarang kearah Andi.

"Aku tidak akan mengulanginya Andi, aku akan melindungimu. Mama mengutus anak buahnya untuk membunuhmu bahkan menghancurkan hidupmu, Andi apa yang harus aku lakukan untukmu? Aku tidak ingin kehilanganmu, kamu saudaraku." Tambah William membuat Andi membeku.

Andi mengepalkan tangannya sambil menatap William. "Aku membencimu karena aku tidak bisa meninjumu."

"Andrew- kamu tidak akan suka dipanggil seperti itu, kan? Andi, kamu layak hidup jangan buat mama menghalangi kamu, jadi ambil hak untuk hidup layak. Jadi pegawai sipil menggantikan papa."

"Kenapa tidak kamu saja?"

"Aku tidak bisa, aku ingin hidup bebas. Aku ingin memilih pilihanku sendiri." Kata William membuat Andi terdiam.

"Selama ini memang hidup kamu tidak bebas?"

"Sedendam itu Andi kamu benci aku?"

"Iya."

Lalu dirinya melihat Louise yang sedang menatapnya dengan terkejut, dirinya tidak tau seberapa banyak gadis itu mendengar kata kata sinisnya kepada William.

"Oh, hai.. aku hanya mau bertemu dengan teman Dereck yang tinggal disini, maaf mengganggu perbincangan kalian." Kata Louise lalu pamit.

Dengan inisiatif Andi berlari menyusul Louise, meninggalkan William yang masih membatu disana. Jujur saja, Andi masih menjernihkan pikirannya untuk mencerna perbincangan ajaib dirinya dengan William.

Dirinya masih belum bisa percaya kalau nyonya Eerens akan membunuhnya untuk menyisakan William sebagai pewaris tunggal, padahal dirinya juga tidak tertarik menjadi penerus keluarga mereka. Terlalu jijik rasanya.

Chinese Wijk menurutnya sangat indah sore ini. Tempat tempat ibadah, bahkan patung dewa dewi dan keramik keramik bagus yang dijual sangat sulit untuk diabaikan. Seandainya dirinya punya banyak uang mungkin dirinya akan memberikan satu untuk Lami atau Louise.

"Louise!" Panggil Andi membuat Louise menoleh dengan tatapan tidak percaya.

"Aku bersumpah Andi, aku tidak mendengar apapun." Kata Louise membuat dirinya mengerutkan keningnya.

"Mendengar juga tidak apa apa." Balas Andi.

Louise menelan salivanya, "ya, aku mendengar.. maafkan atas kelancanganku." Jelas Louise.

"Darimana sampai dimana?" Tanya Andi.

"William saudaramu, ibu tirimu mengutus anak buahnya untuk menghancurkan hidupmu. Andi, apa sesulit itu jadi dirimu?"

Andi tersenyum kepada gadis didepannya. Biasanya Louise sangat galak, bahkan menentang atau tidak ragu ragu menodong seseorang dengan benda tajam untuk mengancam. Tapi, kali ini gadis itu tampak muram.

Andi sendiri tidak tau harus bagaimana kepada Louise, gadis itu sudah terlalu baik padanya sejak awal bertemu. Sebelumnya dirinya hanya mendengar dari mulut ke mulut kalau semua anggota Godilieve adalah orang yang tidak punya hati.

"Kenapa kamu berwajah seperti itu?" Tanya Andi.

Louise dengan spontan menghentakan kakinya. "Aku takut kehilanganmu, bodoh!" Seru Louise lalu berjalan lebih dulu.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang