Double deh
---
William menatap Andi yang sedang berjalan, malam ini mereka akan makan bersama. Entah kenapa sekarang perasaannya campur aduk. Diantara marah, kasihan, ingin memukul, bahkan ingin memeluk saudara tirinya tersebut.
Tapi, karena dorongan ibunya yang memintanya untuk menghancurkan hidup Andi agar dirinya menjadi satu satunya pewaris tunggal keluarga, kakinya menghalangi jalan Andi lalu tersenyum sinis melihat pemuda itu jatuh sambil meringis.
Seandainya Louise ada disini sudah dipastikan dirinya akan di cekokkan getah hemlock untuk diminum, dan kali ini William benar benar butuh ancaman itu menjadi sebuah tindakan dari Louise- atau siapa saja.
William juga berusaha menjernihkan pikirannya kalau ini hanya ilusi semata, halusinasi karena dirinya yang selalu mengganggu Andi. William berusaha seperti itu, tapi rasanya ini nyata. Dirinya marah ke orang yang salah.
"Aku benci denganmu." Kata William membuat Andi yang tadinya terjatuh kini berdiri sambil membersihkan debu debu dipakaiannya.
"Aku tau." Balas Andi.
"Tau? Kamu tau apa tentangku?" Tanya William sambil mendengus.
"Kamu membenci orang selain Netherland. Seharusnya kamu tau William, kamu menumpang, keluargamu menumpang di negeri ini! Camkan Will, kamu bergantung di negeriku." Jawab Andi panjang lebar.
"Nasihat konyolmu lagi."
"Ini bukan nasihat, ini sarkasme agar kamu sadar."
"Kamu bangga dengan dirimu sebagai pribumi?" Tanya Will.
"Ya."
"Bagaimana nyatanya kalau kamu bukan seorang pribumi?"
"Lihat siapa yang konyol sekarang."
"Apa?! Tidak, kamu saja yang bodoh tidak paham maksudku."
"Mana bisa aku paham dengan orang tukang pukul sepertimu, terima kasih sudah tidak memukulku sampai babak belur hari ini, ke hormatanku tuan muda Eerens." Andi seraya membungkukan tubuhnya dengan hormat, mungkin sebelumnya dirinya akan mengatakan seharusnya dengan bangga atau bersyukur keadaanku sedang baik tapi sekarang rasanya ada yang mengganjal.
Pemuda itu langsung melewatinya sambil mengeluarkan sebuah buku dari saku, membaca sambil berjalan, sama seperti yang dilakukan ayah. William tidak pernah melakukannya, kecuali mewarisi obsesi dan kegemaran ayahnya dengan tumbuhan yang menurut ibunya itu adalah sampah.
"Hancurkan hidupnya, anak buah mama juga akan menghancurkannya bahkan membunuhnya untuk membantumu menjadi orang yang satu satunya." Perkataan ibunya terus bergema di kepalanya setiap dirinya berdiam diri.
"Apa Louise harus tau?" Gumam William sambil menatap kearah jendela.
Walaupun dirinya tidak akan mendapat jawaban dari rumput atau pohon pohon rindang dibelakang rumah, setidaknya dirinya bisa tenang hari ini berusaha membatasi diri untuk dirinya tidak rusak.
"Hai, sedang menatap apa?" Suara gadis itu hampir selembut Louise. William lalu menoleh, melihat seorang gadis menggunakan kebaya dengan rambut hitam yang digerai.
Seharusnya ini hal lumrah. Ada beberapa orang yang dirinya kenal berambut gelap atau bernetra gelap, tapi setiap melihat Ayu ada sesuatu disana, ada sesuatu yang sulit di deskripsikan dalam diri William sendiri. Tatapan itu terasa jernih, tulus, seperti belum pernah merasakan ke pedihan, atau pengkhianatan, atau tekanan.
"Menatap bola matamu." Kata William jujur.
Gadis didepannya tersenyum malu, lalu duduk disalah satu undakan batu didekatnya, "duduk." Katanya sambil menepuk nepuk undakan batu disebelahnya.
William mengangkat bahunya, lalu duduk disebelah Ayu sambil melihat kearah jendela. Melihat langit yang mulai berwarna jingga, sedikit lagi akan berganti malam, bulan akan terbit menggantikan matahari yang tenggelam.
Biasanya di Buitenzorg setiap sore dirinya akan menikmati senja dengan secangkir teh dan lidah buaya yang ada dihalaman belakang rumah. Lidah buaya, dan kaktus kecil yang sering dia ajak bicara itu sudah mati selama dirinya berada di Batavia karena ibunya mana mau mengurusi hal hal remeh.
Dan, rasanya asing sekarang menikmati sore hari ditemani oleh manusia.
"Bagaimana hubunganmu dengan keluargamu?" Tanya William sambil menoleh kearah Ayu. Ayu membalas tatapannya dengan tatapan penuh tanya.
"Terlalu mendalam ya?"
Gadis itu mengangguk, lalu tersenyum. "Tidak apa. Hubunganku baik, aku harap saat menempuh hidup baru aku bisa mendapat hubungan yang baik juga denganmu." Kata Ayu.
Hampir saja William mengatakan kata yang mustahil seperti yang biasa dirinya katakan. William hampir mengatakan kata pasti kepada Ayu. Dirinya tidak ingin membuat Ayu mendapat ekspetasi tinggi kepadanya, padahal akhirnya dirinya akan meninggalkan gadis itu setelah ayahnya meninggal, menduduki kekuasaan sendiri dengan serakah dibawah bayang bayang ibunya.
"Jangan terlalu dipikirkan, aku hanya mengatakan apa yang ada dikepalaku." Kata Ayu.
"Apa itu bisa membuatmu lebih tenang? Lebih baik?" Tanya William.
"Kunci hidup baik itu dengan berkata jujur, Will. Walaupun itu terlihat mudah, tapi aslinya sulit dilakukan." Jawab Ayu.
"Bisakah aku mengatakan hal jujur, detik ini?" Tanya William membuat gadis itu terkekeh.
"Tentu saja." Jawab Ayu.
"Ayu- kamu-" bibirnya kelu seakan tidak bisa bicara apa apa disebelah gadis ini, padahal dirinya tau kalau Ayu sedang menunggunya merampungkan kalimat, mungkin mengharapkan terima kasih, tapi bukan itu yang ingin dikatakan William. "je bent het mooiste meisje dat ik ooit heb ontmoet." Kata William dengan cepat, wajahnya memerah.
"A-aku pergi, aku tunggu diruang makan." Kata William lalu meninggalkan Ayu yang menatapnya aneh.
William melangkah dengan cepat, bisa bisanya yang terlontar dari mulutnya adalah bahasa Belanda, perkataan itu memang biasa dirinya katakan kepada ibunya diam diam, dengan perkataan paling pelan. Tapi, sekarang perkataan itu keluar sangat keras untuk seorang gadis baru yang akan segera masuk kedalam hidupnya.
Perkataan hal lumrah atau remeh remeh menurut kebanyakan laki laki lain, bahkan ada yang tidak pernah menaruh kesan istimewa didalamnya. Tapi, William lain, dirinya selalu mengatakan hal yang benar benar ada maksud yang sesuai fakta.
je bent het mooiste meisje dat ik ooit heb ontmoet, yang artinya kamu adalah gadis tercantik yang pernah kutemui adalah serangkaian kalimat yang benar benar keluar dari hatinya, dirinya benar benar berkata jujur.
KAMU SEDANG MEMBACA
NETHERLAND, 1860 [✓]
Random[Park Jisung fanfict] ©ariadne Ayara atau biasa dipanggil dengan sebutan Aya adalah seorang mahasiswi Sastra Belanda yang harus pusing dengan segala macam hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Belanda yang sangat berkaitan erat dengan Sejarah...