Tiga puluh enam

147 36 2
                                    

Halo ketemu lagi sama cerita ini

Maaf ya aku update suka ga tentu jam nya, ehehe.

---

"Kamu tidak percaya? Kamu pikir siapa yang akan membakarnya?" Tanya Lami membuat Jayden merotasikan bola matanya.

"Kamu."

"Aku?"

Louise berjalan maju kearanya membuat Jayden secara otodidak melangkah maju juga dengan wajahnya yang datar.

"Hei, jangan menuduhnya!" Seru Louise.

"Lalu saat kamu mengatakan itu aku akan menyalahkanmu?" Tanya Jayden membuat Louise mengepalkan tangannya.

Sebenarnya Jayden takut kalau gadis dihadapannya akan membunuhnya dengan tangan kosong seperti gadis itu saat hampir membunuh William dengan garpu dan peralatan makan lainnya.

"Tidak ada gunanya Jayden mengatakan ini disaat bagian dari rumah sedang terbakar. Menaruh kecurigaan tidak akan bisa memadamkan apinya secara otomatis. Kamu kekanakan!" Balas Louise lalu menarik tangan Lami untuk pergi.

Bukan itu yang ingin dikatakan Jayden sebenarnya. Dirinya hanya ingin ada Louise malam ini disisinya, Jayden ingin sekali menyiapkan diri untuk kehilangan, dan marah kepada orang tuanya yang mengirimkan surat tentang pernikahannya nanti bersama Louise.

Jayden bukan menolak Louise karena tidak menyukai Louise. Jayden mencintai Louise, dan itu membuatnya tidak bisa menikah atau melakukan hal yang seperti orang tunangan lakukan. Pada dasarnya dirinya hanya akan menyiksa Louise dalam paksaan orang tuanya.

Dirinya tau, dan jelas sangat paham dari awal dirinya memang sudah kalah telak. Dirinya kalah telak dari Andika Suryadi, atau mungkin Jayden akan memanggil pemuda itu diam diam dengan sebutan Andrew Van Eerens. Jayden tidak peduli dengan pemuda itu, Jayden peduli dengan Louise.

Ya mungkin sedikit Jayden peduli dengan Andi.

"Argh! Baiklah, aku berkata kasar denganmu. Aku minta maaf!"

Jayden tidak bisa membalikkan tubuhnya, walaupun dirinya tau kalau Louise yang berbicara dibelakangnya. Mungkin berhasil memanggil bala bantuan untuk meredakan api.

"Jay, aku minta maaf."

Jayden mematung.

"Jay, kamu dengar aku tidak?" Louise berdiri dihadapannya sekarang, mata hitam gadis itu menatapnya dengan tatapan kesal.

"Apa kamu kesal?" Tanya Jayden.

"Ya."

"Padaku?"

"Aku kesal karena aku tidak bisa marah denganmu. Sial sekali mempunyai rasa tidak enakan pada seseorang." Gerutu Louise membuat Jayden bisa bernafas lega sedikit.

"Sepertinya aku yang harus meminta maaf." Kata Jayden membuat Louise menggapai tangannya, mengusapnya meninggalkan secercah kehangatan disana, dan sebuah harapan.

Harapan untuk bisa meraih gadis itu lagi, hidup bahagia dengannya sampai tarikan nafas terakhirnya. Harapan kalau gadis itu bisa memilihnya dibanding memilih Andi, walaupun kemungkinannya hanya 5%.

"Apa kamu mencintaiku, Lou?" Tanya Jayden tiba tiba. Seharusnya tidak berbicara seperti ini, ini adalah keputusan yang jelek.

Louise tersenyum lebar kearahnya, lalu mendekat, gadis itu menarik tangannya kebawah membuat dirinya sedikit menunduk. Jayden tidak tau apa yang dilakukan gadis ini, sebelum gadis itu menempelkan bibir ke bibir miliknya tanpa permisi.

Mungkin kalau ada orang lain disini, Jayden yakin akan ditertawakan karena membelak.

"Apa itu jelas?" Tanya Louise.

"A-aku tidak tau..." Jawab Jayden pelan membuat Louise tergelak.

"Jadi, bagaimana rumahnya di Koningsplein?" Balas Louise dambil mentautkan tangannya ke lengan Jayden sambil tersenyum.

Pertanyaan bertumpuk dikepalanya. Apa Louise bercanda? Apa ini hanya mimpi? Apa ini hanya kepura puraan gadis itu hanya untuk memenuhi ekspetasinya? Jayden tidak tau. Louise lebih sulit ditebak dibandingkan semua orang disini.

Tapi, sebaiknya biarkan ini berjalan lebih dulu. Biarkan Jayden bisa berharap kembali bisa meyakinkan Louise kalau dirinya pantas. Kalau ini hanya sebatas mimpi atau halusinasinya, Jayden tidak ingin bangun. Dirinya ingin terus tetap dalam mimpi, daripada menghadapi sebuah rasa sepi yang sudah dirinya alami hampir bertahun tahun lamanya.

Jayden berjalan bersama Louise ke ruang makan. Meninggalkan hiruk piruk orang yang sedang meredakan bangunan terbakar tersebut. Biarkan Jayden menjadi selayaknya orang Netherland lagi, seperti dirinya waktu tinggal bersama orang tuanya bertingkah tidak peduli dengan keadaan yang ada, membiarkan orang lain menyelesaikannya.

Biarkan Jayden egois kali ini untuk bersama Louise detik ini.

***

Semuanya ada di ruang makan sekarang. Jayden duduk bersebrangan dengan Louise, disebelah Louise ada Andi dan disebelah dirinya sendiri ada Lami yang sedang melahap pudding.

Jayden masih tetap belum bisa memberitau Louise tentang surat yang dikirim orang tuanya dari Benteng Willem I, atau rumah yang ada di Koningspelin yang masih dirinya tempati diam diam kalau merasa kesepian di rumah sialan milik kedua pasangan Hasselt.

Dirinya masih belum beradaptasi disini kalau tidak ada Louise, William, atau Andi. Jayden tidak bisa bergaul dengan Lami yang kesehariannya hanya menutup pintu kamar saat tidak ada hal lain.

Jayden memilih untuk memakan makanan yang sudah dihidangkan. Sebuah tumbukan kentang yang di goreng berbentuk lingkaran, mudahnya zaman sekarang biasa dibilang perkedel. Hidangan malam pemakaman adalah pudding cokelat, sup ayam, perkedel, dan nasi.

"Andi," suara Louise membuat Jayden mengangkat kepalanya untuk melihat apa yang terjadi. "Maafkan aku tidak ada disana," lalu Louise memeluk pemuda itu dengan hangat.

Memeluk Andi dihadapannya seakan akan dirinya tidak pernah ada, seakan akan apa yang terjadi ditaman tadi hanya khayalan semata milik Jayden, seakan akan pertengkaran dan lontaran minta maaf gadis itu hanya bualan semata.

Jayden diam diam melirik kearah Lami yang menyibukan diri dengan makanan seakan akan gadis itu buta dengan kejadian yang ada.

Harapannya sirna sekarang, dirinya hanya bisa diam. Memikirkan jawaban dari pertanyaan teritoris sudah jelaskan? Dari mulut Louise Caroline Van Godilieve tadi.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang