Lima puluh enam

132 29 5
                                    

SELAMAT HARI SABTUUUU !!!
Aku update lagi ><

Jangan lupa jejaknya ya ❤❤❤
----

Andi mendobrak masuk ruangan Jayden, pemuda itu sedang berkemas kemas untuk pergi. Tidak melanjutkan pendidikannya lagi karena harus bertunangan secara resmi dengan Louise nanti. Mereka memutuskan untuk memanggil guru ke rumah mereka untuk mengajarkan mereka ini-itu.

Jayden mendongak, menatap Andi yang memakai pakaian rapih dengan raut wajah yang penuh marah.

Ada dua hal yang harus dihindari dalam kehidupannya sekarang. Pertama, jangan buat Louise marah lalau tidak mau dibunuh dengan sebuah garpu. Kedua, jangan membangkitkan jiwa sosiopat Andi saat marah seperti ini.

Iya, Andi marah kehadapannya.

"JELASKAN ATAS UNDANGAN PERTUNANGANMU!" Seru Andi sambil melempar surat beramplop itu.

Jayden bimbang ingin menjelaskan semuanya kepada temannya ini. Setelah bertunangan, keduanya memutuskan untuk pindah ke Netherland, meninggalkan Hindia Belanda sebentar lagi. Dan mengundang Andi dengan tidak sopan seperti ini bukanlah kemauan Jayden, tetapi kemauan Louise yang sudah mengakhiri hubungannya dengan Andi setelah kematian Rosè yang sangat brutal tempo lalu.

Kalau melawan Andi juga Jayden akan kalah telak. Pemuda ini dari keluarga yang terpandang, pewaris, dan agak sinting jika mengeksekusi orang.

Jayden mengambil nafas panjang, lalu menatap temannya itu, "aku akan bertunangan dengannya. Belum jelas?" Tanya Jayden.

Andi mengepalkan tangannya, mengambil aba aba untuk menjinju wajahnya.

"Tinju aku tuan, kalau memang itu sudah sepantasnya." Ujar Jayden sambil memberikan pipinya kepada Andi.

"Apa?"

"Ini bukan ideku, aku bersumpah atas apapun. Kalau kamu ingin mengujiku, itu terserahmu. Aku sudah mengatakan yang sebenarnya, ini ide Louise." Jawab Jayden membuat Andi menurunkan kepalannya.

"Kamu yang membuat semuanya berantakan Andi. Pribumi ataupun seorang Netherland membenci sikapmu yang terlalu barbar, pernahkah kamu memikirkan mereka yang siap merajam batu setiap kamu berjalan? Mengunci pintu rumah rapat saat kamu melangkah?" Tanya Jayden lagi.

"Duduk," Jayden mentitahkan temannya itu untuk duduk, lalu memberikan secangkir teh kepadanya. "Rosè mati itu sudah sepantasnya, tapi membunuhnya dengan cara--

"Jadi menurutmu tindakanku salah atau benar?" Potong Andi dengan tegas.

"Apa kamu tidak merasakan suatu hal yang bersalah sedikitpun, Andi? Cemas? Dihantui rasa bersalah?"

"Rasa bersalah untuk siapa? Ayahku ingin menyingkirkan perempuan itu, William dibuat tersiksa dari hidup sampai berubah menjadi kaku, lalu Lami, dan-- aku datang kesini bukan untuk membahas perlakuanku benar atau tidak atas kematian Rosè." Jelas Andi sambil menggertakan giginya.

"Louise masih mencintaimu, aku rasa. Tapi, sikapmu membuatnya bimbang. Aku bukan menjatuhkanmu, tapi gadis mana yang ingin hidup bersama dengan laki laki pembunuh, Andi?" Tanya Jayden.

"Seandainya masih ada waktu ..." pemuda itu menatap kearah Jayden sambil mendamba sesuatu, berharap kalau Jayden masih ada jalan keluarnya. "Apa aku begitu menakutkan?"

"Tentu."

"Bagaimana cara Louise untuk tidak takut padaku?" Tanya Andi menurunkan suaranya menjadi penuh penyesalan.

Jayden tidak tau ini semacam sandiwara Andi yang tiba tiba akan menembaknya dengan senapan karena tidak menyukai dirinya bertunangan dengan mantan kekasihnya atau bagaimana. Tapi, kalaupun begitu, Jayden tidak takut. Dirinya memang tidak sebanding dengan Andi.

Pemuda itu berusaha senetral mungkin.

"Datang ke kebun halaman rumahnya jam tujuh malam, gantikan aku, itu adalah satu satunya cara menemuinya. Karena itu adalah hari terakhir kami akan bertemu, kamu tau, keperluan menikah, kami tidak diizinkan bertemu beberapa waktu."

"Jadi kamu menikah atau bertunangan?" Tanya Andi.

"Entah, ini rumit Andi. Orangtua kami hanya menjelaskan ini sebagai pertunangan, tapi dari segi manapun ini seperti layaknya orang menikah." Jawab Jayden membuat Andi mengangguk paham.

Bersyukur kalau tidak berakhir wajahnya babak belur.

"Kamu tidak takut denganku, Jay?" Tanya Andi.

"Ya, tentu saja." Jawab Jayden dengan percaya diri.

"Maafkan aku kalau begitu."

"Tidak masalah."

"Aku pamit." Andi mulai berdiri, dan melangkah menjauh, membuat Jayden memikirkan kata kata sebelum temannya itu pergi dari ruangannya.

"Andi," temannya menoleh kepadanya. "Bagaimana dengan Lami? Dia satu satunya keluarga dalam Hasselt kalau kamu--

"Kalau gitu, aku mohon buat kamu menjaganya Jayden. Kamu jadikan dia istri atau selir atau apapun itu, itu terserah padamu. Lami masih patah, Jay. Dia sama sekali tidak mau berkomunikasi denganku, kalau suatu saat kamu bertemu dengannya atau bertemu Cornelius dan Beatrix, tolong katakan kalau aku minta maaf." Jelas Andi sambil tersenyum, lalu melangkah pergi.

Jayden memikirkan perkataan Andi, perkataan yang sama seperti William sebelum teman dekatnya itu pergi karena lumpuh lambung. Untuk menjaga Ayu, sekarang dirinya harus menjaga Lami-- yang sikapnya hampir sama dengan Louise.

Bahkan, Lami masih ada ditempatnya. Enggan untuk pergi ke rumah kedua orangtuanya untuk membawa kabar tentang Andi. Jayden yang harus repot repot memberikan kabar tentang temannya itu, membuat Beatrix hampir terserang jantung, dan Cornelius yang menatapnya dengan waspada.

Jayden menatap kearah pintu belakangnya, melihat pakaian kebaya khas dengan mata kecil yang berusaha menelisik apa yang terjadi di ruangannya.

"Keluar Lami, dia sudah pulang." Kata Jayden.

Lami keluar dari sela pintu tersebut, memberikan semangkuk biskuit kepadanya sambil menatapnya dengan tajam.

"Jangan pernah bermimpi untuk menikahiku sebagai selir atau istrimu, Jay, karena--

"Aku harap ayahmu yang asli bisa cepat mengambilmu pulang Lami, sebelum ini semua hancur." Potong Jayden membuat Lami terdiam.

Lami sudah memceritakan semuanya juga kepada Jayden, membuat pemuda itu paham kalau suatu saat Lami juga akan pergi dari sini.

"Seandainya aku tidak dijemput olehnya juga, aku tidak ingin menikahimu. Aku tidak ingin berhubungan dengan siapapun." Ujar Lami dengan berani.

"Ya, aku paham."

"Apa Andi benar benar menemui Louise?" Tanya Lami dengan ragu.

"Ya, aku yakin." Jawab Jayden.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang