Tujuh

258 61 1
                                    

Aya mengumpat 1001 kata dalam bahasa Belanda dan Indonesia dalam hati karena bisa bisanya dirinya keceplosan membentak laki laki menyebalkan didepannya menggunakan kata kata yang hampir tidak ada di zaman ini. Pemuda didepannya hanya mengerjapkan matanya, kadang membuat Aya gemas untuk mencubit pipi pemuda itu.

"Pada intinya. Kalau aku mengajakmu bicara jangan membuatnya jadi obrolan- bagaimana ya menjelaskannya? Intinya jangan mengabaikan pembicaraanku!" Jelas Aya membuat Andi merotasikan bola matanya dengan jenuh.

"Kamu ini kenapa sih selalu ikut campur? Aku tidak butuh kamu, aku bisa sendiri." Kata Andi ingin pergi, membuat Aya terpaksa untuk menutup jalan dengan mengangkat kaki secara horizontak ke ujung pintu yang ingin dilalui oleh Andi.

"Ck," Aya berdecak. "Kamu ini tidak paham penjelasanku barusan, ya? Begini ya, Andi. Kalau kamu tidak ingin diikut campur setidaknya lawan mereka." Kata Aya.

"Ya Tuhan hebat banget gue ngomongnya udah kayak pembawa seminar" Seru Aya dalam hati.

Aya berharap mendapat tatapan takjub dari perkataannya. Tapi, yang dirinya dapat hanya tatapan mencela dari Andi membuat Aya kesal ingin sekali Aya memukul kepala pemuda ini agar waras. Aya hanya menghela nafasnya dengan malas lalu menatap tepat dimata lawan bicaranya lagi.

"Kamu ingin aku mati, ya?" Tanya Andi.

"Bagaimana?"

"Iya, kalau kamu ingin aku membalas dengan fisik. Aku akan di gantung, kamu mau? Jangan jangan itu niat tersembunyimu." Tuduh Andi membuat Aya membenturkan kepalanya dibuku yang dirinya pegang.

"Kamu gila?" Tanya Andi lagi.

"Pikiranmu pesimis sekali! Menuduh tidak jelas, kalau aku ingin membunuhmu aku tidak akan membuat laki laki sombong itu meminta maaf padamu!" Jawab Aya dengan kesal sedangkan Andi berdecak malas.

"Minggir, aku ingin pergi." Kata Andi membuat Aya menyunggingkan senyum, berharap dirinya bisa ikut walaupun tidak diizinkan oleh Andi.

"Kemana? Apa akan melakukan hal seru? Aku ikut, dong."

"Tidak, kamu tidak boleh ikut."

"Aku memaksa. Kalau kamu masih sayang nyawa sebaiknya buat aku ikut denganmu."

Aya menatap puas pemuda didepannya, apalagi dengan wajah polos Andi yang membuat Aya ingin sekali memeluk Andi seperti boneka boneka yang ada dikamarnya. Tapi, Aya berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengubah raut wajahnya agar senetral mungkin dan sekesal mungkin. Aya ini adalah alumni anak Theater jadi dirinya berdoa agar ilmu theaternya masih bisa digunakan.

Andi melewati kakinya dengan mudah lalu meninggalkannya. Membuat dirinya meruntuki diri sendiri, dan baru sadar kalau 75% tubuh laki laki itu adalah kaki jadi wajar saja bisa melompatinya dengan mudah. Aya dengan cepat mengangkat gaun panjangnya dan menyusul Andi yang sudah berjalan lebih dulu.

Tap.

Aya menoleh kebelakang melihat Lami yang menahan tangannya untuk pegi. Gadis itu kini menggunakan kebaya, dan rambut uang dikepang dua tersampir dikedua bahunya. Wajahnya kini tegas, seakan Aya sudah melakukan hal yang sangat fatal, untuk kali ini Aya benar benar mengiyakan kata hatinya. Dirinya tidak menyukai Lamina Jacqline Van Hasselt mulai detik ini.

Aya menghempaskan tangannya sampai genggaman Lami terlepas dari pergelangan tangannya. Wajah Lami semakin mengeras seakan akan Lami yang mengatur hidupnya selama ini, lagipula kalau Aya mengikuti sikap Louise, Aya bisa saja membunuh gadis ini karena berani beraninya menghalangi jalannya dengan tidak sopan, dan mencela Lami habis habisan karena merasa dirinya setara.  Mungkin lain kali Aya bisa menuruti sikap sikap Louise yang semakin lama mempengaruhinya.

Dirinya menatap Lami dengan malas lalu melipat tangan didepan dada, menatap malas Lami. "Karena kamu aku kehilangan jejak Andi."

"Sadar posisimu, jangan buat Andi terjerumus masalah karena kamu mengikutinya dan karena sikap pedulimu itu!" Kata Lami tegas.

"Bukannya kamu yang harus sadar posisi? Kamu inlander sama sekali tidak berhak mengaturku yang murni seorang Netherland. Seandainya kamu tau, rasanya aku merasa hina menggunakan bahasamu juga!" Seru Aya yang sama sekali tidak terpikir untuk mengutarakan kalimat yang terakhir.

"Sebaiknya kamu yang sadar posisi." Lanjut Aya dengan sinis.

"Sebaiknya kamu tau aku siapa, Lou."

Aya takut takut jangan jangan Lami adalah orang yang membawanya ke zaman terkutuk ini - tapi mana mungkin, orang bodoh ini tidak mungkin bisa menariknya dari zaman ke zaman lain. Itu mustahil, dan Aya meruntuki dirinya yang penuh imajinasi ini.

"Bukannya seharusnya orang sepertimu harus sudah menikah? Menghidupi keluarga kandungm-

"Ya. Kamu puas? Aku akan menikah, ingin tau dengan siapa?" Tanya Lami dengan tatapan sinis.

"Siapa?"

"Andi. Lebih baik kamu tutup mulut, mudur sana dia akan hidup denganku menjadi keluarga Hasselt."

Aya melihat sebuah kebohongan dari kata Lami membuat dirinya tergelak  sambil memegangi perutnya. "Aduh maaf maaf- ekhem..." Aya menetralkan suaranya. "Wah, kamu menyukainya tapi Andi tidak menyukaimu, ya? Mengaku ngaku sekali kamu ini." Ujar Aya kembali tertawa.

"Aku ingin bertanya padamu, sebelum hasrat aku menarik rambutmu semakin membesar." Lami menghela nafasnya. "Kamu memang mencintai Andi?"

Untuk kali ini Aya tidak bisa berkata apa apa. Aya bingung ingin menjawab apa, dirinya tidak mungkin mencintai Andi dalam hitungan tiga hari, mungkin empat hari dengan hari ini.

"Jawabannya akan aku tunggu, Lou. Aku harap jawabannya bisa membuat hubungan kita baik." Kata Lami lalu melewati kearah Andi pergi tadi. Menyisakan Aya yang diam seribu bahasa.

























Hai! Selamat hari sumpah pemuda, walaupun telat ngucapinnya.. 

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang