Empat puluh enam

157 34 1
                                        

Hai ! Aku kembali, maaf ya ganggu kalian yang lagi daring atau ptm dgn notif update 😔😔😔

----

"AAAAAA!"

"AAAAAA!"

"AAAAANJING! BANGSAT! KEPARAT! BRENGSEK!"

"AAAAA... hiks.."

"Hei," Jayden menggenggam tangan Lami yang sedang berteriak sambil terisak karena menangis di taman belakang keluarga Hasselt. Gaun malam gadis itu sudah tidak rampung lagi, dan ada beberapa cacahan kain disekitarnya. "Disini dingin dan-

"PERGI!" Lami membalikan tubuh menatap Jayden dengan tatapan yang ketus walaupun matanya sembab. "Urus masalah hatimu kepada orang lain. Aku sibuk!"

Jayden menarik gadis itu, memeluknya. Walaupun ada sebagian dirinya berteriak untuk membalikan tubuh dan tidak melihat kondisi Lami karena gaun malam gadis itu benar benar tidak utuh sampai pangkal kaki atas. Seberapa pukulan dari rontaan Lami, akhirnya gadis itu membalas pelukannya menuangkan tangisnya di dadanya.

"Aku-

Mata pemuda itu ingin sekali menatap kebawah, menatap Lami dari kakinya yang terekspos. Dengan cepat Jayden dengan reflek melihat kearah hutan gelap berpagar disana.

Pelukannya berhenti, Lami masih menangis kecil dihadapannya.

Tangannya dengan cepat melepaskan jaket hangat yang ditinya pakai dan memberikan ke Lami, tanpa membantu gadis itu memakainya, Lami tampak lebih ganas dibanding Louise yang bisa membunuh seseorang dengan garpu, mungkin Lami bisa membunuhnya dengan benang benang kusut dari pakaiannya yang rusak kalau Jayden melakukan hal senonoh kepada gadis itu.

Jayden merasakan tangan gadis itu menyentuhnya, mengambil pemberiannya.

"Terima kasih." Kata Lami.

"Sama sama."

Lami biasanya pembawaannya tegas, dia tidak segan segan menegur siapa saja kalau tidak teliti mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan dirinya pernah ditegur oleh Lami karena kamarnya berantakan, dan kebetulan Lami bertugas hari itu.

Lami duduk di rerumputan. Kepalanya menoleh kebelakang, kearah Jayden yang masih duduk menatap bulan sambil melipat tangan didepan dada tadinya. Membuat tatapan Jayden kembali tertuju kearah Lami yang tampak seperti pecahan gelas kaca itu

"Maaf tadi mengusirmu." Katanya sambil tersenyum simpul, senyum yang palsu sama seperti Louise yang sering tersenyum kepadanya.

Tapi senyum ini seperti menutupi luka.

Apa Andi sebrengsek itu membuat Lami berteriak di taman belakang keluarga angkatnya jam 2 dini hari?

"Aku sudah terbiasa di usir, tenang saja." Kata Jayden dengan tersenyum membuat Lami tanpa permisi bersandari kepadanya.

"Apa aku akan mati karena bersandar padamu?" Tanya Lami.

Jayden menolehkan kepalanya kearah Lami, "Tidak." Jawabnya dengan singkat.

"Duniaku ternyata sudah milik orang lain dan beranjak pergi, Jay."

"Coba ceritakan tentang pakaianmu, kamu tidak mungkin merobek gaunmu sampai kehilangan pot-

"Kehormatanku di bawa pergi oleh dua orang Netherland dan satu Inlander di rumah Hasselt, berlangsung lama. Tapi tentang kaummu itu, aku dipaksa melayani mereka dua sekaligus. Kalau kamu tidak pernah menemuiku aktif lagi karena aku berusaha memeperbaiki diri Jay, walaupun tau, itu tidak akan pernah kembali." Jelas Lami sambil menyembunyikan wajahnya.

Jayden seperti habis di tindih oleh batu kali sebesar setengah pilar rumah orang tuanya di Benteng Willem sana. Pernyataan Lami seakan akan membenturkannya kepada realita kalau kaumnya sekeji itu sampai seorang pribumi diambil kehormatannya, diambil dari keluarganya untuk dijadikan budak.

Terlalu malas ke rumah bordir.

"Lam-

"Aku ingin bercerita ke Andi, tapi- aku lupa ada Louise, dunianya yang baru. Aku hanya calon tunangannya, dan aku tidak punya hak apapun atas Andi." Potong Lami, suaranya pecah.

Jayden tidak tau melakukan apa.

"Rahasiamu aman denganku." Hanya itu yang bisa Jayden katakan kepada Lami, mungkin sia sia karena gadis itu sudah tidak lagi percaya kepada laki laki manapun. "Sampai aku kembali ke Netherland pun, aku tidak akan pernah menyebut ini untuk mempermalukanmu. Aku yang akan mempermalukan mereka."

"Terima kasih."

Jayden menatap mata Lami, melihat mata yang selalu ceria saat bersama Louise, dan Ayu. Saat ini berkabut, tatapannya hampa seakan sebagian bahkan separuh jiwanya menghilang dibawa oleh orang brengsek yang sama sekali Jayden tidak tau namanya.

Semakin lama dirinya membenci kalau tidak ada hal berguna yang bisa dirinya lakukan disini.

Selama disini Jayden hampir lupa kalau dirinya sudah lama tidak menghubungi kedua orang tuanya, terakhir kali saat surat pernyataan dirinya tidak setuju atas perjodohan itu juga hampir satu setengah bulan yang lalu. Jayden hampir lupa keluarganya adalah seorang pemimpin, seorang duke.

"Aku yakin kamu tidak percaya lagi dengan kaumku atau mungkin kepada ku atau laki laki, tapi- ikut aku ke Koningspelin, akan aku bantu menyelesaikan masalah ini."

"Apa maksudmu?" Tanya Lami.

"Hasselt akan merasa malu karenamu, sama seperti kebanyakan orang orang saat tau anak atau sanak saudara mereka di rebut. Kamu ini perempuan Lami, hal seperti ini termasuk tabu. Orang orang selalu berpikir kamu yang salah nantinya, dan aku akan membalikan keadaan semuanya. Orang tuaku punya peran penting di Benteng Willem, ak-

"Bawa aku ke Koningsplein sementara, biarkan aku menata diri, aku menerima tawaranmu." Potong Lami tanpa berpikir panjang.

Jayden berjongkok membelakangi Lami, "naik, kita harus mengendap endap untuk keluar." Katanya membuat Lami langsung naik ke punggung pemuda itu.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang