HALLO! APA KABAR?
SEMANGAT BELAJAR SEKOLAHNYA YA YANG PJJ OR PTM
---William menatap Serayu dengan teduh, tau dirinya tidak akan lama lagi berada disini, mungkin di dunia kalau kedua orang tuanya mementingkan ego untuk bertahan disini bukan membawanya pergi ke Belanda.
William tau dirinya tidak akan pernah bisa membawa Ayu meninggalkan Hindia Belanda, gadis itu mencintai Hindia Belanda dibanding dirinya, Ayu lebih menyukai tradisi dan tempat tinggalnya dibanding harus berlabuh mengarungi lautan berbulan bulan ke Belanda bersama dirinya yang akan mati.
Ayu sedari tadi terdiam, berusaha tidak menatapnya. William tau kalau dirinya menutupi hal sebesar ini kepada Ayu.
"Nanti kita nikah ingin memakai adat apa, Ayu?" Tanya William.
William bukan seperti dulu yang selalu mementingkan ego dan gengsinya. William berubah setelah bertemu dengan Ayu, menjadi pemuda yang manusiawi bukan seorang keras yang berusaha ingin dipandang oleh banyak orang.
"Kita masih 17 tahun." Jawab Ayu.
"Maafkan aku."
"Bagaimana kamu bisa menyembunyikan ini? Bagaimana dengan Andi? Gadis yang kamu sukai itu?"
"Siapa?" Ayu terdiam kembali, lalu mengelap lengan William dengan handuk basah. "Siapa, Ayu?" Ulang William sambil menahan tangan Ayu.
"Louise." Jawabnya pelan.
"Apa?" William mendengus geli, "jangan konyol." Sambungnya.
"Karena aku harus bersadar diri karena aku seorang pribumi? Ya, Will."
"Bukan."
"Lalu?"
"Kamu."
"Kamu apa?"
"Mijn favoriete meisje." Jelas William sambil mengucapkan kata kata itu dengan kaku, bahasa yang lebih banyak dirinya gunakan kalau berasa di tempat tempat resmi.
(Kamu adalah gadis favorite saya)
"Berbicaralah terus seperti keledai, William." Kata Ayu sambil mengambil baskom berisi air dan menaruh handuk basa kedalamnya, gadis itu berdiri.
"Ingin pergi kemana?" Tanya William.
"Ke depan, membuatkanmu bubur." Jawab Ayu.
"Kamu masih belum memaafkanku." Kata William.
"Aku- aku memaafkanmu."
"Belum."
"Tetap hidup kalau kamu ingin ku maafkan, Will. Jangan berbicara tidak jelas tentang pemakaman atau memikirkan Andi memaafkanmu atau tidak." Jelas Ayu lalu meninggalkan William sendiri di kamarnya.
Sendirian lagi.
William menatap sekelilingnya, rumahnya yang berada disini terutama kamarnya tampak kosong. Dirinya lebih menyibukan diri dengan gambaran atau lukisan lukisan yang sangat bagus nani saat menikah.
Membayangkan apa jadinya dirinya nanti saat menjadi orang tua, ahli botani yang dikenang banyak orang. Membayangkan melihat Andi menggantikan ayahnya sebagai pemimpin, melihat Jayden dan Louise menempuh hidup barunya. Gadis barbar itu pasti bisa menjadi istri yang baik untuk sahabatnya.
Tapi, pikirannya kembali membayangkan dirinya meninggal. Berapa banyak orang yang akan datang ke pemakamannya? Satu? Dua? Tiga? Mungkin pribumi yang pernah dirinya rundung akan tertawa terbahak karena karma sudah sampai kepadanya.
Apa Ayu akan datang ke pemakamannya? Atau malah menyempatkan diri untuk berdekatan dengan orang lain, mungkin dengan anak yang tinggal di Chinesse Wijk, atau kembali ke tempat asalnya?
Omong omong soal Andi. William tau soal ibu dari pemuda itu meninggal karena ditembak, dirinya tadi pagi mengirimkan surat untuk ayahnya untuk menghentikan tingkah laku ibunya. William tidak bisa datang malam ini dengan keadaan yang berantakan.
"Saudara payah." Katanya sambil menatap dirinya.
William memilih untuk mengambil pena, dan botol tinta, tidak lupa dengan kertas untuk menggambar. Dirinya membayangkan melihat Ayu memakai kebaya pernikahan, dan dirinya menggunakan pakaian pernikahan adat Jawa.
Perutnya kembali terasa sakit, ruangan tampak berputar sekarang. Yang dirinya ingat adalah botol tinta yang jatuh dengan penanya ke lantai, menimbulkan suara yang sama dengan suara gelas kaca jatuh.
"Manusia payah..."
"WILL?!" dan teriakan Ayu sebelum dirinya benar benar tidak sadarkan diri.
***
"Apa?" Tanya Andi skeptis saat menatap dirinya yang sedang berusaha duduk.
William merasakan mulutnya pahit bahkan berbau daun, seperti kambing atau mungkin jerapah. Andi hanya menatap dirinya dengan tatapan yang masih skeptis.
Disusul dengan Jayden yang datang membawakan sebuah daun daunan, kasa, bahkan sebuah alas untuk menumbuh dedaunan lagi. Pemuda itu adalah seorang siswa kedokteran di HBS sebelum orang tuanya memilih Jayden untuk bersekolah di rumah.
"Aku bukan seekor kambing, Jay." Kata William membuat Jayden hanya menatap malas dirinya.
Temannya sedang berada di emosi yang buruk, Andi sepertinya sedang menerka berapa lama lagi dirinya hidup, dan Ayu sepertinya sedang marah karena dirinya hampir meninggal.
Untung saja dirinya masih bisa melihat gadis itu sekarang ini.
"Taraaa, aku kembali dari kematian!" Seru William.
"Brengsek, kamu sekarat."
"verdomme, je gaat dood."
Andi, Ayu dan Jayden mengatakan hal yang sama dengan serempak. Seakan akan lucu, William tergelak dengan keras tidak peduli rasa pahit dimulutnya lagi.
Dengan sarkas Ayu melemparkan handuk kering kepada William. Tepat ke wajahnya, lalu pergi meninggalkan ruangan. Menyisakan Andi, dirinya, dan Jayden yang tambah canggung sekarang.
"Jadi, tunanganmu marah sekarang."
"Ya."
"Kamu tau, dia berlari dari sini sampai ke rumah keluarga Hasselt tengah malam dengan membawa sebatang lilin." Ujar Jayden.
"Tidak lupa dengan pakaian basah kuyupnya." Sambung Andi.
"Aku menyusahkan banyak orang. Dan teeima kasih atas kepedulianmu, An-
"Andrew, hanya kamu yang boleh memanggilku seperti itu. Kamu saudaraku." Tekan Andi membuat William tersenyum.
"Jadi. William akhirnya tersadar yey. Dan berbaikan dengan saudaranya double yey." Ujar Jayden.
"Aku turut menyesal dan maaf tidak bisa datang ke pemakaman ibumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
NETHERLAND, 1860 [✓]
Random[Park Jisung fanfict] ©ariadne Ayara atau biasa dipanggil dengan sebutan Aya adalah seorang mahasiswi Sastra Belanda yang harus pusing dengan segala macam hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Belanda yang sangat berkaitan erat dengan Sejarah...