Dua

535 98 25
                                    

Aya memakai pakaian yang ada dilemarinya, dan beranjak ke sekolah yang mengajarkannya siap kalau dinikahkan. Aya tidak pernah menyangka kalau Louise adalah seorang gadis yang selalu mendiskriminasi semua orang yang menurutnya salah, Aya dan Louise mempunyai kesamaan. Sama sama tidak ingin diatur oleh orang orang, termasuk dengan kedua orang tuanya. Aya dan Louise selalu memegang prinsip dirinya sendiri dan mutlak.

Aya menyunggingkan senyum mungkin ini kesempatannya untuk menyelesaikan tugas kampusnya. Walaupun sebagian lagi sedang meruntuki keadaan yang ada. Aya memilih untuk duduk dibelakang kelas, dideretan para gadis gadis sebayanya. Mungkin saja hari pertamabya tersesat di abad ini tidak buruk buruk amat.

Aya bisa melihat sendiri bagaimana anak anak kelas dua dicela habis habisan. Aya masih tidak percaya kalau Jakarta seperti ini dulunya, masih tidak habis pikir dengan perbedaan pesat yang akan berubah nantinya. Lupa di beritau kalau Aya termasuk orang angkatan pertama di sekolah ini.

Apalagi kalau bukan sekolah, Koning Willem III Te Batavia. Yang hanya masuk disini hanya orang orang yang mempunyai uang berlebihan. Aya bisa melihat segala macam orang disini. Inlander, tionghoa, londo yang memakai pakaian yang cukup mahal yang mereka sebut harganya sedari tadi.

"Kamu memakai pakaian berapa gulden?" Tanya seseorang membuat Aya menoleh.

"Apa harga pakaian ini urusanmu?" Tanya Aya membuat seseorang yang berambut pirang itu menatapnya terkejut.

"Wah, kamu pribumi ya? Fasih sekali." Sahutnya.

Aya menatap anak malas ini dengan tatapan jengah. "Diam, atau akan aku beritau nasib orang orang kita nantinya?" Ancam Aya membuat gadis didepannya terkekeh.

"Baik, kita akan bertambah glory bukan?" Tanyanya melirik kearah orang orang Netherland lain untuk mendukungnya. Benar saja semuanya mengangguk sambil cengar cengir memegang pakaian mahal dan gelang gelang mewah.

Sesekali Aya melihat ke orang orang asli Hindia Belanda yang hanya menunduk melihat pakaian yang mereka gunakan, baju tradisional. Lalu datang seorang pemuda yang tingginya hampir setara dengan tinggi anak anak Netherland yang lainnya, memakai baju lusuh sambil membawa buku bukunya. Beberapa orang cekikikan melihatnya.

"hoer's zoon." Entah kenapa perkataan itu yang tidak ditujukan untuk Aya membuat emosinya meletup letup. Jelas Aya tau arti kata itu, mungkin karena pendidikannya di Sastra Belanda atau mungkin karena dirinya Louise si orang Netherland.

"Kamu tuh yang anak pelacur! Jangan memakinya, lebih baik dirimu bercermin." Seru Aya sambil membelakangi anak lusuh tadi.

"Seorang keluarga Godilieve membantu seorang aib." Bisik bisik.

Aya menatap anak anak sombong didepannya termasuk gadis tadi yang menurutnya sangat menyebalkan. Dari seluruh kelas, hanya seorang gadis berambut lurus dikuncir menggunakan pita biru laut tenang tenang saja sambil membaca buku. Padahal seluruh kelas dari beragam macam ras menonton pertengkaran Aya si Louise melawan bangsanya sendiri.

Dengan marah, Aya langsung menarik pemuda itu keluar dari kelas. Membawanya ke dekat pohon rindang jauh dari ruang kelas, menatap pemuda itu yang masih menunduk dan membersihkan baju putihnya. Oh bagus, sudah di tolong malah enggan untuk meminta maaf.

Aya merotaskan bola matanya lalu melempar buku buku pemuda itu ke rumput membuat pemuda itu menatapnya marah. Bibirnya kecil, matanya berwarna sehitam kumbang, kulitnya putih, rambutnya putih, pemuda didepannya tidak jelek jelek amat. Tapi, pemuda itu sepertinya menyiratkan kemarahan yang mendalam kepada Aya, pemuda itu entah siapa namanya menatap tajam Aya.

"Aku tidak perlu belas kasihan dari bangsamu atau dirimu sendiri. Aku anak pribumi, dan aku bangga. Aku akan usir bangsamu." Kecamnya.

"Wah, itu sih sudah pasti." Balas Aya santai.

"Kamu tidak takut?"

"Bangsaku memang perlu diusir"

"Kamu Louise Caroline Van Godilieve, bukan?" Tanya pemuda itu membuat Aya menatapnya aneh lalu mengangguk.

Aya lalu mendesah. "Ah, curang sekali! Kamu mengenaliku, tapi aku tidak mengenalimu." Kata Aya.

"Apa perlu?"

"Kamu tidak mau berteman denganku? Aku ini cantik lho, manis, baik, aku sudah membelamu dengan aksiku tadi."

"Aksi menjelekan bangsamu sendiri, maksudnya? Kamu bangga?"

"Kamu blasteran, kan?"

"Tidak"

"Bohong"

"Aku berasal dari Oosthaven, aku tinggal di Weltvreden bersama ibuku yang pribumi. Ayahku, dia sudah mati." Katanya sambil berjalan pergi membuat Aya mengangguk angguk dan berlari lari kecil untuk sejajar dengan Andi.

"Kamu serius tidak mau berteman denganku? Hei, rumahku di Weltvreden juga. Mau pulang bersama? Ayah menyiapkan delman--

"Louise!"

Keduanya menoleh, menatap seorang pasangan turun dari kereta kuda dengan tergopoh gopoh kearah mereka. Aya sama sekali tidak menyangka kalau orang tuanya- nyonya dan tuan Godilieve datang kesekolahnya, mendapatinya bersama sama dengan seorang aib.

Bugh!

Aya langsung mundur beberapa langkah karena terkejut melihat Andi yang terjatuh karena pukulan tuan Godilieve. Tidak hanya terjatuh, Aya bisa melihat sudut bibir teman barunya itu berdarah, membuat Aya langsung mengulurkan tangan untuk membantu Andi berdiri.

"Je is een inlander"

Tanpa dikasih tau juga, Aya tau kalau Andi sadar diri kalau seorang inlander. Tanpa ayahnya membentak dan memukul pemuda itu, jelas Aya paham kalau pemuda itu sadar diri untuk menjauhinya karena takut terjadi seperti ini.














Hai!
Aku kembali ehehe 😊😊😊😊

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang