Haiii aku kembali, besok udah mau malam tahun baru kalian udah buat resolusi untum tahun depan?
----
Chinesse Wijk adalah salah satu tempat tinggal orang orang tionghoa. Dan disinilah Andi dan Dereck berpijak, menatap hirup piruk orang membeli barang barang keramik dan patung oatung bagus dari kerajinan orang orang Tionghoa.
Andi memaksakan dirinya untuk ikut dengan Dereck daripada harus sendirian di rumah besar bak kastil milik nyonya Hasselt. Omong omong rumah nyonya Hasselt atau biasa kita panggil Beatrix dan Cornelius mulai sekarang.
Rumah kedua pasangan itu digunalan untuk tempat pembelajaran bagi orang orang kurang mampu, atau modern nya kedua pasangan itu menawarkan kursus gratis, menawarkan fasilitas yang bagus untuk nantinya sukses. Banyak tokoh tokoh sejarah yang sangat terkemuka dari pembelajarannya, mereka biasa menyebut rumah Beatrix adalah rumah singgah pendidikan.
Andi tinggal disana sejak usianya 10 tahun. Beatrix dan Cornelius melihatnya berlarian menggunakan kaos kutang dan celana pendek sambil bermain dengan anak anak.
"Mereka tinggal dimana, sih?" Tanya Dereck sambil menatap sekeliling.
"Tidak tau, kata Chenle tanya saja namanya atau nama Renjun semuanya akan kenal." Jawab Andi sambil menatap air mancur yang deras didekatnya.
Biasan pelangi dari air mancur itu membuat Andi sedikit lega. Andi sempat takut tadi kalau dirinya akan di rajam batu atau digulingkan atau di pukul seperti hari hari yang lalu. Walaupun bersama Dereck juga, Dereck seorang anak luar negeri lain dengannya.
Dereck menyenggolnya membuat lamunannya terbuyarkan. Andi menatap Dereck yang menunjuk sebuah toko keramik mewah dan emas didekat sana. Bisa Andi lihat ada temannya sedang bermain dengan anak anak yang lebih kecil dibanding pemuda itu. Chenle tanpa rasa dosanya dari kejauhan pemuda itu tersenyum kearah Andi sambil memberi aba aba untuk menghampirinya.
"Lihat, temanmu tidak tau diri." Kata Andi membuat Dereck mendegus geli.
"Diakan temanmu, masa kamu lupa." Balas Dereck lalu menyeret Andi untuk menghampiri Chenle.
Andi muak dengan senyuman lebar temannya itu. Seperti tidak tau kalau temannya sudah bersusah payah hampir mengelilingi seluruh Chinesse Wijk untuk bertemu dengan pemuda super sibuk 'katanya' bernama Chenle.
Menurut Andi sendiri hidupnya tidak terlalu mengenaskan, dipukuli karena ras nya itu sudah hal lumrah. Tapi, mendapat teman orang orang tionghoa, Netherland, sampai Inggris menurut Andi itu tidak mengenaskan masih ada yang masih peduli dengannya walaupun resikonya sangat besar.
"Renjun dimana?" Tanya Dereck sambil mulai membuka alat medisnya.
Andi menemani pemuda itu untuk memeriksa kesehatan orang orang dipesisir Batavia, sekalian untuk memberi anjuran dan edukasi tentang penyakit kolera. Kolera sedang banyak saat ini, Andi mendapat informasi dari Dereck. Katanya pemuda itu saat di Semarang hampir tidak pernah libur di rumah sakit karena wabah itu.
"Catat baik baik, kalau ada salah satu orang tuamu atau orang disini terkena kolera atau meninggal, saranku kemasi barangmu pergi ke rumah siapapun, ke rumah Beatrix juga tidak masalah. Aku takut dikawasanmu akan masuk wabah kolera." Kata Dereck membuat Chenle mengangguk.
Seorang pemuda menggunakan kaos berwarna putih, dan celana pendek tidak lupa dengan sandal jepit menghampiri Andi, Dereck, dan Chenle. Pemuda pendek itu menggenggam arloji tua ditangannya.
"Aduh, jangan sunting lha! Aku masih kecil." Kata Renjun.
Andi mengerjapkan matanya. "Bukannya usiamu diatasku? Usiamu kan sudah 20 tahun, tugasmu hanya tinggal menikah." Balas Andi membuat Renjun membuat aba aba ingin melepas sandalnya untuk melempar kearah Andi.
"Kurang ajar."
Andi duduk disebelah Dereck, didepannya ada Chenle dan Renjun yang memutuskan untuk makan makanan Tionghoa. Katanya namanya Bakmie. Menurut Andi ini enak enak saja, apalagi Andi hampir tidak pernah makan makanan layak kalau pulang ke rumah ibunya.
Bukan berarti Andi tidak menghargai usaha kerja keras sang ibu yang berusaha memberikannya sesuap nasi.
"Aku mencintainya"
Perkataan yang tidak seharusnya Andi dengar kini bergema dikepalanya. Perdebatan Lami dengan Louise selalu melekat diotaknya akhir akhir ini, walaupun hanya samar samar karena pengaruh obat.
Daripada harus memikirkan kedua gadis itu lebih baik Andi memikirkan wanita yang mengurusnya dengan susah payah. Apa kabar ibunya di rumah, atau ditempat kerja serabutannya.
"Hei, nanti bakmie nya membengkak kalau tidak mau lebih baik untuk aku saja." Kata Chenle membuat Andi langsung buru buru memakan bakmie nya.
Dereck disebelahnya bahkan tampak diam sedari tadi, mungkin menilai kandungan gizi dalam bakmie atau sehat tidaknya makanan ini. Chenle dan Renjun melanjutkan berbincang menggunakan bahasa Mandarin yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh Andi.
Andi memutuskan untuk berdiri, menghampiri penjual dengan sisa uang yang ada disakunya. Kalau dirinya bisa makan enak, ibunya juga harus makan enak. Motto hidup Andi yang sudah dirinya tetapkan sejak kecil.
"Beli semangkuk lagi, pak. Tolong dikemas ya." Kata Andi.
"Buat siapa, di?" Tanya Renjun.
"Buat ibu, pasti ibu belum makan di rumah." Jawab Andi.
"Ibumu ada di toko ayahku, mau aku bantu antarkan?" Tawar Chenle.
"Boleh, tapi jangan bilang dariku." Kata Andi.
Renjun menengguk tehnya sampai habis, lalu menghapus sisa minyak dan air dari bibirnya menggunakan punggung tangannya. Mulut pemuda itu sedikit memerah karena menggunakan sambal yang tidak diperkirakan takarannya, mungkin Dereck akan ancang ancang mengeluarkan pidato kesehatan tentang penyakit akibat kebanyakan makan pedas.
"Andi, kamu serius anak pribumi asli? Wajahnya seperti anak Netherland, atau perasaanku saja?" Tanya Renjun.
KAMU SEDANG MEMBACA
NETHERLAND, 1860 [✓]
Random[Park Jisung fanfict] ©ariadne Ayara atau biasa dipanggil dengan sebutan Aya adalah seorang mahasiswi Sastra Belanda yang harus pusing dengan segala macam hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Belanda yang sangat berkaitan erat dengan Sejarah...