Lima puluh tujuh

122 29 0
                                    

Halo, aku kembali ehehehe

Semangat ya yang lagi sibuk ujian atau nugas!!!

Sampai sini kapal kalian udah ada yang karam atau masih berlayar?

Jangan lupa tinggalkan komentar dan votenya ya,,, terima kasih ^^
---

Andi benar adanya datang ke halaman belakang rumah Godilieve, membawa setangkai bunga mawar putih untuk Louise. Dirinya adalah seorang Netherland, sesuai dengan keinginan keluarga Louise, Louise hanya boleh menikah dengan orang yang memiliki darah Netherland. Dan Andi sudah memenuhi syarat itu, tidak ada yang bisa menganggu gugatnya.

Jayden sendiri sudah menyerahkan Louise dengan cuma cuma untuknya, sebelumnya juga William sudah mengangkat tangan memilih untuk bertunangan dengan Ayu.

"Ingin apa kamu di taman belakang rumahku?!" Seru Louise sambil mengangkat gaunnya tinggi tinggi, nyaris membuat chroline nya terlihat bahkan celana putih dalaman yang dipakai gadis itu.

"Aku mendengar tentang pertunangan-- eh maksudku pernikahan, atau semacamnya lah." Andi menatap Louise, "katakan sebenarnya, apa kamu ingin?" Tanya Andi.

Louise menaikan sebelah alisnya, lalu menatap sekelilingnya dan menatapnya lagi.

"Ini adalah lelucon paling konyol Andi, tidak ada lucu lucunya sama sekali. Setelah kamu menghilang, membuat takut Pribumi ataupun Netherland sekarang kamu muncul dihadapanku? Yang benar saja! Bagaimana kalau orangtuaku melihatmu?" Tanyanya.

"Aku sudah memenuhi kriteria mereka, Louise. Aku mempunyai darah seorang Netherland." Jawab Andi dengan percaya diri.

"Tapi, aku mencintaimu bukan karena darah Netherlandmu, Andi. Aku menyukaimu sebagai Pribumi yang mencari sebuah keadilan, sikap percaya dirimu, segalanya Andi. Aku menyukaimu sebagai Andika Suryadi bukan Andrew Eleazar Van Eerens, aku lebih sudi menyandang nama Suryadi-mu dibanding Eerens-mu." Jelas Louise lagi.

"Kamu menginginkan aku tertolak mentah mentah oleh keluargamu, Louise? Aku sudah melayakan diri demi menjalani semuanya bersamamu, aku sudah memanfaatkan sebaik mungkin hak lahirku. Aku--

"Kamu memanfaatkan hak lahirmu untuk menjadi orang yang biadab, apa kamu menerima hak lahirmu--" Louise mencengkram rambutnya frustasi, lalu menatap Andi lagi. "Dengan kamu membawa setangkai bunga cantik ini, menyatakan hal yang tidak pada titik intinya membuat semuanya semakin rumit, aku tidak paham. Kamu menghilang beberapa minggu atau mungkin bulan, lalu menampakan diri dengan-- setangkai bunga, ucapan kata kata manis melayakan diri untuk keluargaku! Kemana pikiranmu? Dimana balasan surat suratmu? Kamu datang kesini seakan akan ingin membatalkan keputusanku."

"Jadi ini keputusanmu, Louise?" Tanya Andi.

Louise menatap kearah lain, enggan menatap pemuda itu.

"Jawab aku."

Gadis itu menatapnya lagi, kali ini dengan setetes air mata dari pupil matanya itu. "Pulang Andi, pulang sebelum orangtuaku melihatmu."

"Kamu memperumit semuanya Louise."

"AKU? AKU TIDAK MEMPERUMIT APAPUN! SADARKAH KAMU SIAPA YANG MEMPERUMIT? KAMU! KAMU, ANDI." Bentak Louise.

Andi tersadar dengan bentakan gadis itu, gadisnya. Dirinya bisa membaca wajah datar Louise yang menyimpan sejuta kekecewaan dan amarah disana. Penyebab semua kematian dan pertumpahan darah ini adalah dirinya sendiri.

Penyebab dirinya kehilangan satu persatu dunianya juga karena dirinya. Ibunya, Dereck, Jacob, Malikh, William, Lami, bahkan dirinya yakin kalau dirinya sudah membuat kecewa orangtua angkatnya membuat dirinya enggan menjejakan kaki di rumah singgah teesebut.

"Maafkan aku, Louise. Maafkan aku kalau begitu sudah membuatmu menunggu dan berakhir kecewa." Ujar Andi.

"Louise seandainya waktu bisa diputar aku mungkin tidak seegois itu, seandainya aku tidak haus dengan balas dendam aku tidak akan seperti ini."

"Seandainya aku tidak memaksamu menerima hak lahirmu Andi, kamu tidak akan seperti ini, seandainya aku tidak memaksa masuk dihidupmu mungkin kamu tidak akan semenderita ini, bahkan aku yakin kalau seandainya aku menghindarimu dan pergi ke zamanku tanpa mengenalku, aku pikir itu cara yang baik." Lanjut Louise.

"Apa kita akan memutus hubungan sampai disini, Lou?" Tanya Andi membuat Louise terdiam menatap matahari terbenam di ufuk barat sana.

"Bulan dimalam hari itu bagus, kan? Tapi, setelah dilihat lihat senja lebih bagus, Andi."

Menurut Andi itu bukan jawaban. Dirinya tidak menemukan kolerasi antara hubungannya dengan bulan dan langit senja. Perkataan Louise mengandung kiasan yang tidak dirinya mengerti sama sekali.

Louise manatapnya lagi, mata hitamnya seakan akan hampa bahkan senyumnya tidak seindah yang biasa dirinya lihat lagi. Kalau memang Louise benar benar ingin bersama Jayden, kenapa harus serumit ini? Kenapa Louise tidak memberi titik inti padanya detik ini?

Gadis itu berjalan tertatih, memeluk dirinya dengan erat membuat Andi tampak terkejut.

"Maafkan aku yang tidak bisa menepati janjiku untuk membawamu ke abad 21 atau menua bersama disini terkikis oleh waktu, Andi. Ini keputusanku, aku memilih tujuanku untuk membangun kehidupan baru bersama Jay." Ujarnya.

Andi yakin kalau gadis itu menangis dipelukannya.

"Louise, kalau itu keputusanmu kenapa menangis?" Tanya Andi.

"Pergi Andi sebelum orangtuaku tahu," lagi lagi gadis itu tidak menjawab pertanyaannya. "Yang terpenting disini, kamu harus tahu. Sejauh apa aku pergi, kamu menjadi satu satunya orang yang aku cintai."

"BAWA SI KEPARAT ITU!"

Keduanya menoleh, menatap ayah Louise yang membawa beberapa pelayannya dan senapan ditangannya. Pria itu memacungkan senapannya kearah Andi yang masih memaku disana.

Bayangan tentang kematiannya sudah terbesit dipikirannya.

"LARI ANDI!" Teriak Louise membuat lamunannya mengabur.

Andi memandang gadis itu sekilas dan  berlari. Tidak berselang lama, terdengar serangkaian suara peluru dibelakangnya.

Dor

Dor

Dor

"PAPA BERHENTI, LOUISE MOHON!" Pekik gadis itu yang tangisnya semakin pecah.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang