Dua puluh satu

166 44 0
                                    

Hai! Aku kembaliii

Maaf ya aku lagi ga buka wattpad  sibuk sama persiapan ujian sekolah.

Jangan lupa jejaknya ❤❤❤
---

Andi membawa bungkusan makanan untuk ibunya. Kali ini Batavia hujan rintik rintik, padahal bukan saatnya musim hujan. Dirinya melewati ladang ladang yang dipenuhi pekikan dari para pekerja tanam paksa, mungkin seandainya keluarga Hasselt tidak memintanya menjadi anak didik mereka, dirinya tidak jauh beda bernasib dengan mereka.

Bruk!

"Ma-maaf tuan." Anak kecil yang menabraknya kini berlutut kearahnya sambil menyatukan tangan memohon. "Pukul saya saja, saya-

"Apa perlu saya melakukan tindakan kekerasan kepada kamu?" Tanya Andi dengan suara lembut, mengulurkan tangan untuk membantu anak laki laki itu berdiri.

Andi melihat anak laki laki itu tidak memakai atasan, hanya memakai celana putih yang nyaris sewarna dengan tanah merah. Kaki anak kecil itu dipenuhi tanah, tubuhnya kurus bahkan Andi bisa melihat tulang tulang rusuknya yang terjiplak jelas dipermukaan kulit.

Dirinya menatap bungkusan makanan jatah makan penutupnya tadi siang. Andi berpikir mungkin dirinya tidak perlu memakan makanan penutup mewah kali ini, keluarga Hasselt bisa memberinya kapan saja tapi tidak dengan keluarga anak laki laki ini.

Andi meraba sakunya, memeriksa tanpa menatap hanya memperkirakan berapa sisa uang sakunya sambil menatap gerobak dawet yang berisirahat di salah satu depan rumah penduduk.

"Berapa anggota keluarga di rumahmu?" Tanya Andi.

"Enam, saya anak pertama." Jawabnya.

"Tunggu disini ya?"

Anak laki laki itu mengangguk, berdiri diam tanpa berkutik sampai Andi kembali membawakan dawet dan memberikannya sebungkus makanan. Andi tersenyum kepada anak tersebut, mengelus kepalanya dengan hangat.

"Terima kasih tuan!" Wajah anak tersebut tersenyum lebar kearahnya dengan senang. "Tuan kayak babe saja saja, elus elus kepala saya!" Serunya sambil tertawa hangat lalu pergi.

Andi mengguratkan senyumnya melihat satu bungkusan makanan yang masih tersisa, yang dirinya jaga agar tidak terkena air hujan. Pemuda itu melangkahkan kaki menuju rumahnya, menemui ibunya, dan bercerita tentang hari ini yang sangat panjang.

Jas cokelat, dan kemeja yang sering dirinya gunakan dirumah keluarga Hasselt kalau sedang bekerja. Dan sekarang saat dirinya lupa melepaskannya, banyak orang orang pribumi menatapnya seakan dirinya akan mendobrak satu persatu rumah warga dan meminta pajak.

Andi tidak tau betapa banyak orang orang tersebut berbisik kearahnya, bahkan orang orang Netherland yang mulai mencibirnya dibalik punggungnya. Kalau dirinya selalu salah memakai baju, rasanya Andi ingin tidak menggunakan baju apa apa atau mrnggunakan kantong kresek bening sebagai baju untuk terlihat metral.

Langit semakin gelap. Andi melihat nampan dan beberapa orang mengangkat pakaian untuk dibawa masuk ke rumahnya masing masing. Andi melihat keluarga lengkap berjalan bersama sama dan saling berpelukan untuk berbagi kehangatan, Andi melihat ada orang yang mengendap endap untuk pergi dari rumahnya, semakin banyak langkahnya semakin banyak yang bisa Andi lihat.

Tap!

Andi berbalik melihat seseorang yang memegang pergelangan tangannya. Pria yang hampir setinggi dirinya, jelas Andi bisa mengenali kalau laki laki itu adalah seorang Netherland yang sedang memegang payungnya erat takut diterbangkan angin.

"Andi?" Tanyanya membuat Andi mengangguk.

"Iya ini saya." Kata Andi menatap pria yang ada dihadapannya.

"Umur berapa kamu sekarang?" Tanya pria itu memandang Andi seakan akan sangat mengenalinya.

"Untuk apa menanyakan usia saya? Saya seusia dengan anak anda, tuan Eerens." Jawab Andi.

Kriet..

William berlari kearah ayahnya membuat Andi tersenyum kecut. Seandainya dirinya memiliki ayah, atau siapapun yang bisa menjaga ibunya selainnya menjadikan suasana layaknya keluarga. Andi ingin memiliki keluarga yang lengkap, tidak apa kalau susah setidaknya bisa bisa dilewati bersama sama.

Pemuda sebaya Andi itu menatapnya dengan pandangan yang sangat mencemooh. William memandangnya dari ujung kakinya sampai kepala, begitu diulangi.

"Kamu iri dengan keluarga lengkapku, inlander?" Tanyanya sambil tersenyum cemooh.

"Aku tidak ingin mempunyai keluarga yang hobi menyuap sepertimu, William. Lebih baik mempunyai satu orang tua daripada mempunyai keluarga lengkap sepertimu." Jawab Andi lalu menatap kearah ayah William yang wajahnya sudah memerah, barangkali marah.

"Saya masih ada waktu kalau tuan ingin memukul saya, tapi setidaknya nanti bawakan makanan ini untuk ibu saya." Lanjut Andi.

"Pukul dia ayah. Dia sudah mencela keluarga kita." Ujar William.

"Aku tidak sudi memberikan makanan ini kepada ibu jalangmu." Desis Jeffery sambil mengepalkan tangannya.

Bugh!

Pria itu meninju perut Andi lalu meninggalkan pemuda itu, disusul oleh William yang mulai meninggalkannya juga. Lagi lagi dirinya tampil sok berani kepada petinggi petinggi daerah yang keji dimuka bumi ini.

"Uhuk.." Andi terbatuk, pemuda itu jatuh terduduk memegangi perutnya yang sakit. Jari jari Jeffery yang dipenuhi cincin menghantam perutnya. "Tidak boleh basah, untuk ibu, tidak boleh tumpah, untuk ibu makan, Andi tidak boleh-" Pandangannya mengabur, kedua anak dan ayah itu hilang dari pandangannya.

"Kamu tidak akan mati, bodoh." Kata kata itu membuat Andi menoleh, melihat seorang merebut paksa bungkusan makanan yang terjatuh ke kubangan air.

"Untuk ibu, jangan diambil." Kata Andi dengan setengah suara.

"Untuk apa aku mengambil makanan untuk orang tua? Ini aku. Jayden." Andi yang sudah hampir setengah sadar hanya merenguh. "Naik ke pundakku." Katanya sambil berjongkok didepan Andi.

"Dasar merepotkan."

"Terima kasih."

"Bayarannya, minta maaf pada Louise."

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang