Lima puluh empat

113 26 0
                                    

Selamat hari minggu, selamat besok senin!

Hihihihi, jangan lupa jejaknya ya 😉😉😉
---

Andi menatap seorang wanita ningrat yang tangannya tergantung di penjara sana, menatapnya dengan penuh benci, pakaian yang dia pakai saat meninggalkan rumah ini bahkan tampak lusuh. Hampir saja pakaiannya tandas.

Jelas Andi meminta beberapa orang untuk mencambuk wanita ningrat itu, tidak ada aturan tersebut di buku sejarahkan? Ya karena ini fiksi, dan mungkin kalau benar benar ada Andi adalah orang blasteran yang pertama melakukan hal itu.

Wajah Andi benar benar dingin, senyumnya penuh dengan dingin dan kejam, tidak ada tersisa belas kasih atau kata maaf untuk wanita itu.

"Untuk apa melihatiku seperti itu, ingin mengejek?" Tanyanya.

"Tentu nyonya. Bukankah hidup anda selama ini sangat enak? Mengguncang guncang kaki, memerintah ini itu--

"Mereka semata mata akan tau betapa bejatnya dirimu, apalagi saat mematahkan leher salah satu pelayan dengan kaki kotormu di karpet merah rumahku." Kecamnya.

Andi membuat aba aba universal untuk diam, "pelankan suaramu, saya semata mata takut kalau ada yang mendengar rancauan ketakutan anda yang semata mata ingin dibebaskan ini." Katanya.

"Dasar baji--

"Ibu saya meninggal karena anda."

"Itu sudah sepantasnya."

"Anda memaksa kedua kakak saya untuk menjadi pengkhianat dengan iming iming segera membebaskan mereka berdua."

"Mereka bodoh sedari awal, pongah, angkuh."

Andi yang memainkan kuku kuku jarinya kini menoleh kearah Rosè dengan malas, lalu menaikan bahunya dengan acuh. "Apa anda akan membela diri tentang kematian putra kandung anda, William Johanes Van Eerens yang seharusnya masih ada disini, menikah, menjadi ahli botani atau mungkin dokter lokal tanpa harus menjadi makhluk biadab atas didikkan anda." Balas Andi.

Tatapan Rosè melemah, air matanya membuncah keluar, intonasinya naik dengan penuh emosi. "Kamu pikir aku tidak kehilangan putraku? Kamu pikir hanya kamu yang penuh kehilangan?! ANDREW ELEAZAR VAN EERENS, AKU KEHILANGAN PUTRAKU! Putra tunggalku, aku juga seorang ibu, Andrew! Aku punya rasa kasih sayang yang cukup untuk anakku, William! Seandainya memutar waktu aku ingin meminta maaf padanya atas perbuatanku, menghancurkan seserpih rasa manusiawinya."

Andi tampak acuh tak acuh.

Tapi Rosè tidak peduli dan wanita sinting itu tidak peduli dengan anak haram dihadapannya. "Bukan kamu yang kehilangan disini."

"Hentikan tangisan pura puramu, nyonya. Minta maafmu pada William terlambat, nyonya. Sekarang terima hukuman matimu, semoga anda bisa meminta maaf langsung secara tatap muka dengan William." Katanya.

Rosè tertawa lirih.

"Bukannya kamu juga samanya denganku Andi?" Wanita itu mengangkat kepalanya, "kamu terlambat meminta maaf padanya. Menebus dosamu sekarang tiada gunanya, dia tidak melihat."

"Tebusan ini bukan hanya untuknya." Andi tidak terpengaruh lagi, kepribadiannya sekarang kukuh. "Untuk orang orang yang merasa tersakiti oleh anda, orang orang yang banyak kehilangan karena anda." Lanjutnya.

"Sudahlah, Rosè. Anda sudah di ceraikan, hidup juga tidak ada gunanya, anda tidak punya siapapun disini. Tidak ada yang bisa menerima anda." Kata Andi dengan ketus.

"Lalu jenis hukuman mati apa yang ingin kamu berikan?" Tanya Rosè.

"Dua sekaligus untuknu dan tiga antekmu yang telah menginjak injak kehormatan adikku. Ingat Lami yang ketiga antekmu memaksanya melayani mereka beberapa malam? Aku ini memiliki eksekusi yang kreatif, anda tidak perlu khawatir." Jawab Andi.

"Kalau begitu, biarkan aku meminta maaf pada Lamina dan Serayu lebih dulu, atau mungkin Serayu saja? Karena gadis itu berada tepat dibelakangmu." Mohonnya.

Andi menoleh melihat Ayu yang baru sampai dan terguncang karena keadaan Rosè yang berantakan.

"And- Andrew apa yang kamu lakukan padanya?"

Andi hanya tertawa, "bermain kecil kecilan."

Dengan langkah gemetar gadis itu menghampiri Rosè dari balik jeruji. Ayu tidak berani masuk kedalam jeruji seperti Andi. Dirinya masih kelewat takut dengan Rosè.

"Maafkan saya--

Ayu menatap Andi, seakan akan bertelepati kepada pemuda itu sambil berkata 'berapa kali kepalanya terkena cambuk dasar sinting!'

"Saya tidak tau harus bersikap apa, nyonya. Saya tidak layak dan memang tidak seharunya mendapat kata maaf dari mulut nyonya, karena saya adalah pribumi dan perkataan nyonya tentang saya dan kaum saya kadang benar adanya." Ayu mengangkat kepalanya sambil menyunggingkan senyumnya. "Nyonya, yang pantas mendapat permohonan maaf anda adalah William." Lanjutnya.

"Pernahkah anda berkunjung ke makam anak anda barang sekali saja sebelun dipindahkan ke belakang halaman, kemarin?" Tanya Ayu membuat Rosè terdiam.

"Tolong jawab pertanyaan saya."

Rosè menggelengkan kepalanya lemah, "belum, belum pernah."

"Maka anda harus berkunjung kesana. Melihat paparan bunga lily, monumen anak anda tepat dibelakang makamnya. Makam indah yang pernah ada." Ayu masih tersenyum, "kalau ini adalah hari terakhir saya melihat anda, mungkin saya akan mengingat hal ini. Saya tidak akan mengingat lagi betapa kejamnya anda."

"Ayu, dia bahkan tidak layak untuk dimaafkan." Kata Andi.

"Memang. Aku tidak bilang aku memaafkannya, aku tadi memintanya meminta maaf pada mendiang putranya. Barangkali kamu ingin membuatnya meminta maaf di makam William sebelum eksekusinya." Kata Ayu.

Rosè menoleh kepadanya, menatapnya seakan akan memohon untuk mengucapkan kata maaf pada putra yang dia banggakan itu. Andi hanya menatap Ayu dan mengangguk setuju, membiarkan gadis itu pergi karena Andi tau kalau gadis itu sudah bersusah payah untuk berkeras diri didepan Rosè tanpa harus menangis keras.

Andi memanggil beberapa pelayan orangtuanya, tidak lupa dirinya membawa beberapa senjata disaku untuk mencegah kalau adanya pengkhianatan.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang