Lima puluh delapan

123 30 4
                                    

Setelah kejadian beberapa minggu yang lalu di kediaman rumah Godilieve, Andi merasa kalau dirinya memang tidak layak mendapatkan siapapun di dunia ini. Rasa cinta keluarga atau bahkan rasa cinta dari gadis yang dirinya harap selalu ada di sisinya.

Pemuda itu berada di jembatan belakang rumahnya, duduk ditepinya membiarkan kakinya menjuntai kebawah, kearah danau dibawahnya. Andi enggan datang mewakili keluarga Eerens untuk hadir keacara besar temannya dengan mantan kekasihnya.

Semuanya salahnya.

"Tuan Eerens, kereta kuda sudah siap." Ujar seorang gadis bersuara halus itu.

Biasanya beberapa pelayan pribumi kental menyapanya dengan nada itu, bahkan Andi sudah merasakan asam garam di rumah ayah kandung dan kediaman pahit dari mendiang saudara tirinya.

Keluarga ini tampak indah, bangunan kokohnya bahkan sangat mewah, cocok untuk di jadikan surga di Buitenzorg. Tapi, entah kenapa didalam bangunan mewah bak surga ini nyatanya adalah neraka nyata untuk Andi, dirinya merasakan betapa kerasnya menjadi William yang dididik di bangunan apak ini.

Suara gadis itu tampak tidak asing ditelinganya, akrab di telinganya, seperti sudah mendengar lulaby itu sejak dirinya bernafas di bumi.

"Lami ..." pemuda itu mendapati seorang gadis dengan rambut yang di konde dan diberi tusuk hiasan khas Tionghoa yang tampak manis, sudah lama Andi tidak melihat sisa keluarganya itu. "Lami, sedang apa kamu disini?"

Lami duduk disebelah Andi, gadis itu menyandarkan kepala ke pundak Andi. Tangannya mengenggam tangan Andi dengan halus tanpa takut di eksekusi mati darinya.

"Udah lama kita tidak seperti ini, ya, Andi?" Tanya Lami.

Lami adalah sosok nyata dari adik perempuan Andi. Mungkin kalau dirinya tidak bisa menjaga William, mungkin Tuhan membuat dirinya dan Lami bertahan hanya semata mata ingin membuatnya cara untuk menghargai seorang saudara. Padahal Andi sudah berusaha menjadi kakak dan adik yang baik.

Andi ingat sekali saat umurnya 12 tahun, dirinya menemani Lami untuk mencuci baju di sungai, ditemani oleh Malikh yang bernyanyi mengiringi siang nan sejuk itu, membuat Batavia tidak terlalu berisik dengan berbagai macam bahasa.

"Ayo datang ke pesta Louise dan Jayden." Ujar Lami tiba tiba.

"Tidak mau."

"Kalau kamu tidak ingin karena menganggap Louise adalah mantan kekasihmu dan Jayden merebut posisimu. Maka ubah pola pikirmu, anggap sekarang kamu datang keacara temanmu, anggap keduanya kerabat sama seperti aku dan kamu. Kerabat." Jelas Lami.

"Bagaimana? Kereta kuda sudah menunggu, aku bahkan sudah memakai kebaya terbaikku untuk menjemputmu." Tambah gadis itu membuat Andi mengangguk.

Lami mengulas senyum terbaiknya, tangannya terulur untuk membantu seseorang yang sekarang dia anggap sebagai saudara laki lakinya. Gadis itu menarik Andi sampai berdiri, tidak peduli apa yang Andi pernah lakukan demi dirinya walau dengan langkah yang salah.

Andi satu satunya saudara terdekatnya dibanding Chenle dan Renjun, sisa keluarga angkat Hasselt yang tersisa.

"Senyum." Pinta Lami.

Ditatapnya Lami oleh Andi, memeluk gadis itu dengan erat, Lami memeluknya kembali dengan erat. Ingin rasanya pemuda itu menangis terisak isak, dan pergi dari kenyataan kalau dirinya harus melepas seseorang yang penting di hidupnya saat ini.

Gadis itu merenggangkan pelukan, Andi menunggu kalau Lami membentak atau mungkin menamparnya-- Lami memiliki sifat yang hampir mirip dengan Louise, agak seram memang.

"Apa yang kamu tunggu?" Tanya Lami dengan tatapan bertanya.

"Kamu menamparku." Jawab Andi membuat gadis itu menatapnya dengan heran.

"Untuk apa?"

"Atas apa yang aku lakukan, membuatmu takut, tidak bisa menjaga atau menghormati perasaanmu, dan kesalahan yang telah banyak aku perbuat. Atau mungkin kamu membenciku, Lami? Kalau iya, mungkin itu memang sepantasnya." Jawab Andi.

"Kamu bicara apasih? Tidak bisa di mengerti. Sugestimu berlebihan Andi, aku tidak membencimu." Ujar Lami.

"Kenapa?"

"Kamu berhak melakukan itu atas apa yang mereka lakukan kepadamu. Hukum karma atau hukum tabur tuai pada hakikatnya adalah nyata, disadari atau tidak. Kamu membunuhnya, itu hukuman mereka-- walaupun tidak munafik kalau cara yang kamu lakukan untuk menghukum mereka adalah salah." Jawab Lami.

"Maafkan aku kalau begitu." Kata Andi.

"Mau tau tidak Andi kenapa aku datang kesini memaksamu datang?" Andi menatap Lami lagi, menunggu gadis itu melanjutkan perkataannya. "Karena mungkin saja ini terakhir kalinya kamu bertemu dengan Louise."

"Karena dia milik Jay selanjutnya, bukan? Louise akan dibawa Jay ke Benteng Willem, kan?" Balas Andi berusaha tenang.

"Jauh dari itu. Mungkin kita tidak akan pernah melihatnya lagi, Andi, menjadi Louise sudah berat untuknya." Jelas Lami.

"Kamu berkelit."

"Datang sebelum terlambat, ayo kita pergi."

Keduanya memasuki kereta kuda yang sudah disiapkan.

Kereta kuda mulai melaju, meninggalkan Buitenzorg tempat peninggalan ayahnya  yang menjadi tempat pelariannya setelah dari rumah gubuk ibunya yang masih berdiri di Weltevreden untuk menuju ke Koningsplein. Mempersiapkan kata kata dan ekspresi yang tepat untuk dirinya kasih kepada Louise, mungkin sebuah kata kata indah yang tidak pernah dirinya katakan sebelumnya.

Andi menatap kearah langit, disana berkabut dan berawan seakan akan langit sudah siap kalau tertiup angin untuk menumpah ruahkan air menjadi hujan.

Lami melempar sebuah buku kepadanya, sebuah buku berkulit dengan penuh pembatas pembatas buku disana.

"Buku harian William yang lain, aku sudah membaca semuanya." Kata Lami.

"Darimana?"

"Ayu, gadis itu ingin memberikannya padamu. Tapi, karena kamu tau, kamu sering berpergian entah kemana, jadi dia menitipkan ini padaku. Aku membacanya, dan isinya melampaui semua ekspetasi serta apa yang William lakukan dihadapan kita." Jawab Lami.

"Apa maksudmu?" Tanya Andi heran.

"Setelah ini, aku harap kamu bisa membaca buku ini." Kata Lami.

Andi diam tidak bergeming.

Dan kesunyian mengisi perjalanan menuju ke Batavia.

---

Dua atau tiga chapter lagi selesai nih, sejauh ini cerita Netherland menurut kalian gimana?

Dan makasih banget yang masih mau ngikutin Netherland sampai sekarang, bahkan nunggu update - an cerita ini. Ehehehehe...

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang