Lima puluh dua

119 27 2
                                    

Hai aku balik, dan aku kayaknya bakal bener bener slow update karena banyak urusan di kelas akhir.. hikd

P.s nyalain lagu apa aja yang penting mellow buat nambah feel, sediain kantong plastik juga gapapa takutnya cringe 🤧
---

Ayu melangkahkan kaki dengan lemas kearah gundukan tanah dengan batu nisan bertulisan gaya gothic. Tertulis disana nama yang sangat menyayat hati Ayu, dunianya lepas-- terbang begitu saja, hatinya terkikis dan semakin rapuh.

Dirinya masih ingat saat dirinya membawa sebuah berbagai macam bunga, terutama bunga lily putih dan lily kuning untuk menuju kepemakaman sederhana William. Disebelahnya ada Andi waktu itu, berjalan membawa lukisan atau foto tak berwarna William.

Ayu menahan dirinya yang bergetar, menjaga kakinya agar tetap bisa bertumpu di tanah.

Air matanya tidak bisa dirinya bendung lagi, Ayu terjatuh menangis pedih sambil memcengkram tanah peristirahatan kekasihnya. Sang bunga Lily kuning telah kehilangan satu persatu kelopak indahnya.

"Will..."

'Nanti, Biarkan kenangan ini menjadi Lily biru indahmu, ya? Jangan jadikan kenangan ini sebagai Lily putih yang berisi kedukaanmu'

Ayu ingat jelas dengan perkataan itu, seakan ada seseorang mengatakannya berulang kali, berbisik kepadanya saat ini.

Kenapa waktu itu dirinya banyak keraguan?

Setiap Ayu memejamkan mata setiap dirinya tidur, William yang sedang tersenyum kearahnya selalu menyapanya, setiap Ayu melihat ke rumah singgah pemuda itu di sekitar Weltevreden terakhir kalinya, bayangan perjuangan William untuk sembuh dan detik detik terakhir laki laki itu membayanginya disertai dengan jeritan.

"Bangun William... lihat saudaramu yang menuruti apa katamu." Kata Ayu.

"Will, papamu ke Netherland pagi tadi, membawa setangkai Lily kuning untuk ia tanam di rumah keluarganya disana. Apa kamu akan ikut kesana?"

"Pasti disana indah ya? Seperti harapanmu, ke congkak-an mu waktu bilang 5 tahun hidup di Netherland, padahal sejak lahir kamu di Hindia Belanda." Ujar Ayu.

"Will, kapan kita main lagi? Sup di surga enak? Masih enakkan buatanku atau malaikat?" Lalu dirinya tertawa hambar, "lupa kamu udah tidak merasakan hal hal duniawi lagi, ya? Kamu udah tidak merasakan sakit lagi, Will." Kata Ayu berusaha tersenyum.

Seandainya William ada disini dalam bentuk gema sekalipun, Ayu ingin pemuda itu memeluknya dengan semilir angin hangat atau hamparan dingin. Ayu ingin melihat William terakhir kalinya dengan raut wajah laki laki yang sehat, bukan seperti terakhir kali di rumah singgahnya.

Ayu masih terbiasa melakukan hal hal yang dirinya lakukan. Menyiapkan dua mangkuk makanan, menyiapkan 2 cangkir minum. Bahkan, gadis itu bisa tidur di sebelah makam William tanpa harus izin kepada Andi atau takut paginya mati tertembak.

Sekalipun sekarang dirinya mati tertembak menurutnya tidak masalah. Memjikan kaki disini udah berat menurutnya, kebahagiaannya sudah dibawa pergi dan menurutnya itu tidak adil. Ayu belum siap menerima kalau orang Netherland lainnya tidak seperti William.

Berikan satu orang lagi kepada Ayu yang seperti William, Ayu yakin tidak ada yang sebanding dengan pemuda yang mencintai bunga itu.

"Harus berakhir ya, Will?" Tanya Ayu.

"Kenapa harus berakhir, Will?"

"Padahal pertemuan kita baru sebentar..."

"Will, ini sakit lho."

"Kalau kamu ada pasti kamu ngejek aku seharian karena nangis, kan? Padahal kamu juga meluk aku sampai nangis, kamu bahkan tidak suka melihat aku sedih." Ujar Ayu berusaha menenangkan dirinya.

"Kal-

"Mau hujan Ayu, ayo pulang, kita harus menghadiri sesuatu yang mungkin bisa membuatmu lega." Suara parau nan dalam membuat Ayu menoleh.

Mendongak melihat seorang pemuda memayunginya dari tempatnya berdiri di belakangnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi, menggunakan jas hitam khas menjumpai orang mati, karena pada dasarnya mereka berdua memang mengunjungi orang mati. Keduanya sedang ada di makam yang paling indah di seluruh zaman ini, ditengah tengah ladang bunga lily, dan dibawah monumen kotak bertulisan nama.

Jay. Jayden datang atas undangan Andi, sama dengannya.

"Aku minta maaf tidak bisa menyelamatkannya, Ayu. Seandainya aku bisa bergegas beberapa hari yang lalu sebelum itu ke rumah teman Dereck yang berada di Chinesse Wijk, mungkin William masih ada disisimu sekarang." Katanya sambil mengulurkan tangan, membantu Ayu untuk berdiri.

Semakin nyeri saja dadanya. Seakan akan lukanya masih terbuka lebar yang di tetesi garam, cuka, dan pasir disatu tempat itu.

Tubuhnya semakin bergetar, diiringi oleh gerimis kecil diantara mereka, dan Jayden masih senantiasa menaikan payungnya untuk melindunginya. Bahkan pemuda itu rela jas mahalnya terkena air hujan dibanding kebaya murahan yang Ayu pakai saat ini.

"Jay ..." Lirihnya.

Setelah hampir seminggu dirinya berusaha untuk tidak menangis didepan umum, didepan banyak orang. Sekarang air matanya berhasil turun dari pelupuk air matanya.

"Ayu, William paling benci saat kamu menangis. Dan Andi akan semakin marah karena kamu terlihat-- menderita karena kepergian saudaranya." Kata Jayden prihatin

Ayu bersumpah untuk tidak pernah mengeluh kepada semua orang dalam hal apapun. Dirinya selalu mengusahakan itu, memupuk semuanya dalam hati. Hingga akhirnya semuanya tumpah ruah, tangisnya pecah, semuanya keluar lewat tangisan. Ayu tidak peduli nanti dirinya diinjak injak karena lemah atau apalah.

Gadis itu memukul mukul dadanya sambil terisak, "sakit ... disini, letaknya disini ..."

Jayden masih memegangi payung untuknya, menatapnya lekat lekat, pemuda itu tidak berniat menyentuhnya. Karena Ayu memang sedang tidak ingin disentuh.

"Seharusnya aku--

"Ayu, aku mengenal William jauh lebih lama darimu." Akhirnya pemuda batu itu mengeluarkan suara. "Ada dua hal yang dia benci. Pertama orang yang menyakiti keluarganya, kedua melihat orang terdekat yang dia kasihi menangis nelangsa bahkan menderita." Katanya

"Dia memang laki laki pengecut yang hobi menggertak, suka berkelakar, bergengsi tinggi, pongah, tapi dia tidak segan segan membunuh orang yang melakukan dua hal itu." Lanjutnya.

"Tapi--

"Kalau kamu menderita karena dia pergi, dia pasti menghukum dirinya sekarang, membunuh dirinya dengan berkeliaran di dunia. Atau mungkin dia sedang menatapmu, menantimu bahagia dan berakhir menyalahkan dirinya sendiri karena kamu tidak bisa melanjutkan hidup dan nelangsa selamanya." Jelas Jayden lagi.

Kini Ayu semakin terdiam.

"Intinya, jangan menyalahkan dirimu sendiri." Jayden mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Ini, hadiah dari Renjun untukmu," kata Jayden.

Kalung dengan Liontin berhiasan lily kuning, tengahnya ada sebuah batu mirah berwarna merah terang. Perpaduan warna yang kontras sebenarnya.

Dirinya mengambil liontin itu sambil menangis. Seperti dirinya mengambil setangkai bunga Lily waktu usianya 5 tahun diladang seorang Netherland.

"Terima kasih ... " Ayu memasang liontin itu, menatapnya lekat lekat. "Terima kasih banyak." Ulangnya.

Jayden mengangguk, lalu kembali menatap jam yang ada di sakunya, "sekarang kita harus menemui Andi. Hari ini mungkin bisa menjadi kita puas atau mungkin menyakitkan." Katanya.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang