Empat belas

194 45 3
                                    

Koningsplein adalah alasan tempat nyaman bagi Aya. Tidak tau kenapa, Jalan Medan Merdeka versi Koningsplein membuatnya lebih nyaman. Tapi, dirinya juga merindukan monas yang berdiri tegak setiap dirinya naik kereta melewati monumen nasional tersebut.

Nyonya Hasselt tersenyum kearahnya sambil menuangkan sebuah secangkir teh yang dirinya bawa dari rumahnya kearahnya. Nyonya Hasselt lebih menyukai dirinya dipanggil sebagai Beatrix, Beatrix memintanya semalaman penuh saat Aya susah payah membantu wanita itu turun tangan membersihkan rumahnya bersama pembantu pembantunya.

"Ada masalah, sayang?" Tanya Beatrix membuat Aya menaikan bahunya.

"Tidak ada."

"Bagaimana perasaanmu melihat cal-

"Jangan bicarakan itu, aku muak dimintai perasaan atau ungkapan seperti ini." Kata Aya terus terang.

Beatrix tampak tidak ada masalah, wanita itu malah menenggak kembali tehnya sambil menatap kanan kirinya yang melambaikan sapu tangan sebagai salam. Sungguh, Aya ingin cepat cepat pulang dan ingin turun dari mobil terbuka ini.

"Percaya Beatrix pasti dimasa depan mobil tidak seperti ini." Kata Aya.

"Ya, mereka terbang." Jawab Beatrix asal.

"Apanya?" Aya tergelak. "Mobil tidak terbang, aku yakin 100%" Balas Aya.

"Aku bercanda."

Supir didepan memberhentikan mobil, membukakan pintu untuk Aya dan Beatrix. Mereka berhenti disebuah rumah makan besar dikota ini, berdiri kokoh didepan mereka. Kata Beatrix anak keluarga Overstartern itu akan tinggal dirumahnya di karenakan sulit mencari rumah di Batavia, keluarga Overstatern lebih menyukai rumahnya didaerah Benterng William I.

Mungkin kalau Aya menjadi seorang mahasiswa, dirinya juga memilih untuk tinggal di Ambarawa dibanding Jakarta. Aya tidak kuat menatap macet dan panasnya Jakarta. Kecuali sekarang, Aya nyaman nyaman saja di Batavia di zaman ini masih sejuk.

Beatrix dan Aya memasuki rumah makan, masuk kedalam salah satu ruangan dengan meja bundar yang sudah diisi oleh kurang lebih 6 orang. Wajah mereka seperti patung yang dipahat untuk hanya menunjukan satu ekspresi saja, kurang lebih seperti bonela kayu.

"Maaf kami telat." Kata Beatrix lalu duduk disalah satu kursi kayu membuat Aya mengikutinya, mengisi kursi kosong disana.

"Ya, maafkan kami." Kata Aya.

"Louise Caroline Van Godilive leuk je te ontmoeten." Ujar tuan Overstatern berusaha seramah mungkin, padahal sangat jelas perkataannya seperti sudah dia hafal bertahun tahun untuk mengucapkannya kepada dirinya.

"Nice to meet you too, mr. Overstatern." Balas Aya. Membuat semua orang dimeja itu berwajah tambah kaku.

Aya harus berterima kasih kepada Dereck karena mengajarinya untuk berkata sesederhana mungkin kalau berkata kepada orang orang kaku. Kata Dereck, bahasa menunjukan asal usulmu. Tapi, karena untuk membuat lelucon Dereck menyarankannya menggunakan bahasa Inggris kepada orang orang dihadapannya ini. Benar saja, ini sangat lucu melihat patung dengan wajah datar menjadi lebih datar.

Kecualikan Beatrix. Wanita itu juga menahan tawa, ternyata Beatrix seorang yang asik.

"Baik, bagaimana kalau kita menggunakan bahasa Hindia Belanda? Karena kita berada disini." Tawar Beatrix membuat sederet patung itu mengangguk serempak.

Astaga, Aya gemas sekali menaruh patung kucing yang sering ada di toko toko tionghoa untuk mengucapkan selamat datang itu. Yang kakinya bergerak ke belakang dan kedepan.

"Louise hentikan aku tidak kuat lagi menahan tawa." Bisik Beatrix membuat Aya terbatuk beberapa kali.

"Maafkan aku, aku tidak bisa menahannya Beatrix." Balas Aya berbisik.

"Bisa dilanjutkan?" Tanya salah satu orang disana.

Logatnya benar benar seperti google translate. Aya memilih menahan tawanya dengan mengunyah cokelat yang disajikan didepannya. Di seberangnya ada seorang pemuda yang kurang lebih seumurannya mulai memotong daging bakar, dan menyesap susu yang disediakan.

"Dimana anakmu yang membutuhkan tumpanganku?" Tanya Beatrix.

Pemuda yang memakan daging bakar itu berdiri tegak, menghapus jejak saus dari mulutnya dengan elegan, tingkahnya kaku tapi tidak sekaku keluarganya yang lain. "Saya." Katanya singkat, tegas, dan jelas.

"Ya, ini anak terakhirku. Namanya Jayden, dia yang akan menjadi pendamping hidup nona Godilieve, kami harap kamu memperlakukannya dengan baik, Beatrix." Kata tuan Overstatern membuat Beatrix mengangguk.

"Aku dijodohkan dengan manusia boneka kayu..." Bisik Aya membuat Beatrix reflek memukul pahanya untuk menahan tawa.

"Ekhem... baik, ada rencana atau yang perlu dibicarakan lagi?" Tanya Beatrix.

"Saat anakku menikah, aku meminta agar dicarikan rumah atau dibangunkan rumah di Kongsplein. Aku tidak ingin mereka hidup dirumah hinamu dan bercampur dengan banyak sekali manusia manusia hina didalamnya, Beatrix." Kata nyonya Overstatern.

Sudah tidak lucu lagi.

Aya reflek menggebrak mejanya. Menatap tajam kearah manusia manusia kayu dihadapannya. "Jangan. Berani. Menghina. Tempat. Tinggal. Beatrix." Kata Aya menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan tegas.

"Tidak punya tatakrama, tapi tidak apa. Jayden bisa mengajarkannya." Kata nyonya Overstatern.

"Menumpang saja banyak mau." Tambah Aya membuat seluruh keluarga itu wajahnya berubah menjadi merah karena menahan marah sekaligus malu.

"Kalian ingin mengancam membatalkan perjodohan? Silahkan, aku tidak takut. Kalian menyalahkan pembelajaran dari rumah Beatrix? Silahkan. Asal kalian tau, tidak perlu adanya penghormatan untuk orang orang seperti kalian." Kata Aya lagi.

"Louise.."

"Kasih alamat rumahmu Beatrix," Aya menoleh kearah Beatrix yang mulai mencatat alamat rumahnya. "Kita pulang, terserah kepada mereka ingin membuat anaknya menumpang padamu atau tidak." Kata Aya lalu mendorong kursinya kebelakang hingga terbalik.

"Orang orang yang kalian sebut hina setidaknya lebih bermutu dibanding kalian." Lanjutnya lalu keluar dari ruangan diikuti oleh Beatrix.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang