Jakarta, 2021
Aya terbangun dari tempat tidurnya, mengerjapkan matanya berkali kali yang bersimbah dengan banyajnya air mata. Dirinya langsung menatap kearah tangannya yang sama sekali tidak ada bercak darah sekalipun.
Dirinya kembali ke kamarnya, kamar yang penuh dengan teknologi teknolgi yang mustahil dirinya dapat di tahun 1860. Dengan cepat gadis itu berlari kearah cermin yang ada di lemarinya, dirinya kembali.
Tangannya membuka dengan kasar lemarinya, mendapati tidak ada gaun norak milik Louise. Entah kenapa sekarang dirinya sangat menginginkan melihat gaun gaun norak tersebut. Aya masih belum bisa menerima apa yang dirinya dapat sekarang.
Gadis itu berlari kearah jendela, tidak ada pedagang yang bersahutan lagi. Tergantikan dengan kendaraan dan suara suara hewan peliharaan yang bersahutan-- khas rumah lamanya.
"Nggak, nggak boleh sekarang." Ujar Aya yang kini beranjak menatap kalender.
Sekarang tanggal 20 Agustus.
Aya melempar kalendernya menjauh, gadis itu merosot. Menyembunyikan kepalanya dibalik tangannya. Dia ingin diberi waktu lama dengan Andi, sekarang dirinya hanya memikirkan nasib pemuda itu.
"Andi ..." Isak Aya sambil mengatakan seratu satu permintaan maaf ke penjuru ruangannya yang kosong.
Gadis itu dengan langkah gontai menuju ke meja belajarnya, menatap buku yang masih terbuka di hadapannya. Buku yang berada ditengah tengah rak fiksi dan non-fiksi, yang membuat wajah penjaga perpustakaan menatapnya dengan heran saat hari itu. Tidak ada nama penulisnya.
Seakan akan buku ini hanya tiba tiba mendarat ke rak perpustakaan kampusnya.
"Aya udah bangun?" Aya melihat neneknya yang berjalan kearahnya dengan lambat, ya karena wanita itu sudah benar benar paruh baya. "Cucu nenek sudah bangun ternyata."
Dengan cepat Aya menghapus air matanya, padahal dirinya ingin menghabiskan waktu sendiri untuk menangis dan mencari jalan untuk kembali kepada Andi.
Neneknya menatap ke buku kulit yang baru saja Aya tutup.
"Buku itu," neneknya duduk di kursi belajarnya sambil terdiam.
Aya menatap neneknya yang menatap buku tersebut dengan penuh makna, seakan akan itu adalah serpihan penting dari kehidupannya.
"Nek?"
"Buku milik Beatrix," Neneknya menatap kearah Aya. "Beatrix Van Hasselt." Lanjut neneknya.
Aya terasa habis di pukul dengan batu besar tepat di perutnya, rasa sesak, bingung, bahkan marah semuanya ada dipundaknya mengetahui suatu fakta kalau kedua pasangan itu tidak bisa kembali ke abad ini. Seperti mendapat hukuman setimpal dari Sang Waktu karena keduanya telah mempermainkan waktu untuk keegoisan mereka sendiri.
Dirinya melihat sebuah kata penutup di akhir tulisan buku tersebut.
Untuk Andika Suryadi yang terkasih, kamis masih menunggumu untuk kembali.
"Nenek saya menceritakan pemuda ini, anak angkat tersayangnya, dan siapa yang tidak mencintai pemuda itu setelah membaca tulisan apak yang sering dianggap cerita rekayasa belaka, Ayara?" Tanya neneknya sambil meraba halaman bukunya.
"Ya nenek, Aya sudah bertemu dengan mereka. Andi, Lami, Serayu, Dereck, Jacob, William, Renjun, Chenle, bahkan-- aku melihatnya sebagai Louise." Ujar Aya sambil menarik nafasnya panjang.
Neneknya tidak memandangnya aneh, wanita itu hanya mengusap punggung tangannya dengan lembut seakan tau apa yang dirinya alami adalah hal yang paling berat. Seakan akan neneknya tau kalau ini bukan hal yang gila, yang pernah wanita itu dengar dari generasi generasinya.
Kata sebelum penutup membuatnya menangis.
Andi mati bersama Louise, berbagi kehangatan didalam dinginnya malam.
Pemuda itu tidak berumur panjang, seakan akan sudah terlihat jelas pada saat pemuda itu hidup dan menjejakan kaki di zamannya.
"A-pemuda itu..."
"Menjaga Louise untuk tetap hangat karena keduanya tau, sekeras apapun mereka melawan takdir, tidak ada gunanya." Kata neneknya.
"Apa persisnya mereka pergi?" Tanya Aya lagi.
"Mereka ingin melanjutkan hidup di Semarang, Andi membawa Louise ke halaman belakang keluarga Hasselt saat benar benar udara yang turun dengan luka tembak di-
"Perut kanannya." Lanjut Aya dengan nada paling getir.
"Kamu menganggap ini hanya buku atau lebih dari cerita belaka, Aya?" Tanya neneknya lagi.
Lebih dari cerita belaka. Pekik Aya dalam hati, tapi karena Aya tidak ingin terlihat habis mengalami keadaan traumatis dirinya memilih untuk terdiam sebentar.
"Buku. Kisahnya terlalu menyakitkan untuk di realisasikan, nenek."
"Pilihan yang tepat cucuku."
"Terima kasih, nek."
"Tapi, kalau memang kamu memerlukan bukti. Kamu bisa ke tempat pemakaman tempat penuh dengan abu, di lantai satu dan lantai lima kamu bisa melihat disana berjajar abu dari pemuda-pemudi ini yang tidak pernah tercatat dalam buku sejarah manapun, Aya." Jelas neneknya.
Aya nyaris tidak tau apapun tentang neneknya.
"Nek, siapa anak Beatrix yang menjadi kakek-nenekmu?" Tanya Aya lagi.
"Kedua anak kembar dari keturunan Overtstatern terakhir, aku lupa namanya. Terkutuklah dengan faktor umur ini Ayara." Jawab neneknya.
"Aya, aku sudah tidak ada waktu menjelaskan apapun. Aku segera pergi ke Bandung beberapa menit lagi, kamu ini tidur terlalu lelap. Sudah jam tiga sore kamu baru bangun dasar keledai!" Seru neneknya membuat Aya memandang kearah jam dinding.
***
Aya sudah yakin kalau kakinya melangkah kearah tempat yang tepat. Ketempat yang dulunya berdiri kokoh rumah besar keluarga Hasselt.
Kini rumah tersebut hanya lahan kosong dengan penuh rerumputan liar, tapi Aya bersumpah disana masih ada batu besar yang menjadi simbolis kepergian Dereck Reasel saat itu.
"Halo Ayara, senang bertemu denganmu lagi!" Sapa seseorang membuat Aya menolehkan kepalanya melihat seorang pemuda yang memakai jas dokter.
"Ka-
"Aneh ya memandang pemakaman sendiri?" Potongnya lagi.
"Dereck?" Tanya Aya yang masih berdiri kaku di tempatnya.
- Fin -
KAMU SEDANG MEMBACA
NETHERLAND, 1860 [✓]
SonstigesNETHERLANDVERSE - ©ariadne 2021 Ayara atau biasa dipanggil dengan sebutan Aya adalah seorang mahasiswi Sastra Belanda yang harus pusing dengan segala macam hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Belanda yang sangat berkaitan erat dengan Sejara...
![NETHERLAND, 1860 [✓]](https://img.wattpad.com/cover/282015085-64-k405395.jpg)