HAI! Apa kabar ?
---
Aya menatap Lami sambil berkacak pinggang. Aya iri sekali dengan kemajuan teknologi yang gadis ini miliki, ini tidak adil. Laptop, dan ponselnya menghilang sewaktu tersadar disini, sedangkan Lami sempat membawa segala macam teknologi canggih.
Kalau bukan ingin membakar dan mengancam Cornelius dan membuka kedoknya untuk menjiplak karya karya penemu hebat, Aya ingin sekali mengajak Andi, dan Lami makan bersama dengannya dan Jayden di kamarnya. Terkutuk juga dengan makalah yang harus dirinya ketik ulang nantinya.
Lami juga sedikit tidak fokus.
"Apa yang mengganggumu?" Tanya Aya.
"Sebenarnya aku ingin bertanya tentang ini," perkataan Lami membuat Aya mengerutkan keningnya. "Andi menyukaimu, dan aku juga dari awal hanya berteman dengannya, berusaha tidak berharap lebih. Tapi, dia menyukaimu."
"Aku punya Jay-
"Apa Jayden tidak sadar kamu menyukainya juga? Louise, Jayden akan mengatakan yang sama detik ini kalau tidak berharap lagi." Potong Lami.
"Tapi Andi sudah kehilangan ibunya, kamu jangan membuatnya kehilangan juga." Balas Aya.
Lami tersenyum sambil mengangguk. "Jujur, gue seneng banget bisa ketemu orang seumuran dan senasib sama gue di abad ini." Bisik Lami.
"Sama sama." Lanjutnya.
Aya merotasikan bola matanya mendengar sarkasme dari Lami. "Ya, Lami. Terima kasih." Kata Aya sambil menatap Lami.
"Akanku traktir kamu dengan makan malam elite di Meester berhidangkan es batu dan alkohol."
Aya berdecak, Lami tiba tiba menggunakan kata baku mungkin karena takut terdengar. "Ea batu? Makanan elite? Bercanda, ya? Jangan es batu shamming."
"Disinikan belum pada maju, lupa ya?"
Lalu keduanya mengendap endap memasuki ruang kerja keluarga Hasselt, bersyukur saja ruang kerjanya berada di belakang taman yang terpisah dengan rumah besarnya. Kedua gadis itu berencana membuat huru hara disini.
Keduanya masih tidak percaya dengan banyaknya teknologi yang seharusnya tidak ada disini. Cornelius benar benar ingin menjadi penemu besar.
"Aku yang siram minyak tanah, kamu yang menyalakan korek api." Pinta Lami.
"Aku bahkan tidak bisa menyalakan korek api?!" Seru Aya sambil mendengus pasrah membuat Lami menyerahkan dirjen minyak tanah dan mengambil korek api dari tangan Aya.
"Lalu setiap kamu ulangtahun, siapa yang menyalakan lilin?"
"Orangtuaku."
"Anak manja."
"Iya tau wahai anak mandiri."
"Terserah."
Aya melihat lihat, sebenarnya ini adalah hal yang sangat disayangkan untuk dibakar. Apalagi banyak sekali buku buku tentang zaman ini, sangat berkesinambungan dengan tugas kampusnya, ya. Aya masih berusaha mengerjakan tugas tersebut walaupun dirinya tidak tau bisa pulang atau tidak.
Dalam hatinya Aya sama sekali tidak ingin pulang setelah melihat pemuda bernama Andika Suryadi itu. Luka lukanya membuat Aya ingin disisi pemuda itu terus menerus.
"Andi kira kira lagi apa, ya?" Tanya Aya dalam hati.
Kalau Lami tidak menyenggolnya mungkin Aya akan ketangkap basah karena kelamaan mematung, atau mungkin akan dibakar hidup hidup oleh Lami.
"Kamu suka dengan Andi?" Tanya Lami membuat Aya berhenti menuangkan minyak tanah ke lantai.
"Ti-
"Tidak apa apa, jujur saja." Potong Lami.
"Maaf Lami, kalaupun iya aku tidak akan dapat, bukan? Aku punya Jayden, dan di zaman ini perempuan tidak punya pilihan." Kata Aya membuat Lami terkekeh.
"Pilihan itu selalu ada disetiap manusia, Aya. Pilihan itu ada disetiap orang hidup ataupun mati, tidak memandang kamu berada di zaman apa." Balas Lami.
"Tapi ak-
"Kalau misalnya Andi bisa bahagianya dengan kamu, untuk apa aku bisa bertahan?"
"Aku punya Jayden, Lami." Kata Aya lalu emlanjutkan menyirami lantai dengan minyak tanah sampai dirjen minyak tanah habis.
"Apa Jayden akan terus bisa bahagia juga denganmu? Dia bisa sakit dua kali lipat dibanding kamu meninggalkannya." Jelas Lami.
Aya melempar dirjen kosong ke sembarang tempat, diam diam dirinya mengantongkan dua buah buku tentang sosial dan kebahasaan di zaman ini. Semoga tulisan Cornelius bukan tentang fiksi yang dia karang tentang kehebatannya.
Dirinya ditarik Lami untuk keluar dari tempat kerja itu, berlari sejauh mungkin.
Bruk!
Keduanya terjatuh, mungkin tiga dengan laki laki yang ada dihadapannya. Pemuda itu langsung bangkit, mengulurkan kedua tangannya untuk membantu Lami dan Aya berdiri.
Didepan mereka adalah Jayden, pemuda itu entah kenapa berada ditaman ini.
"Selamat malam, Jay." Sapa Lami lalu membersihkan kain batiknya dari rumput rumput.
"Kalian terburu buru?" Tanya Jayden.
"Ya tentu, ruang kerja Cornelius terbakar!" Seru Lami dengan panik.
Akting Lami sangat bagus membuat Aya hampir hampir takjub dengan ke pura puraannya. Kalau dirinya adalah sebuah pemain teater dulunya, maka Lami adalah seorang bintang film. Aktingnya benar benar totalitas.
Kalau Lami tidak menginjak kakinya mungkin Aya akan tercengang karena takjub dengan temannya ini. Aya langsung memasang wajah yang tidak jauh beda dengan Lami, walaupun dirinya tau wajahnya tampak jelek sekarang, ketara sekali dengan wajah Jayden yang memundurkan kepalanya sedikit.
Jayden tampak tidak percaya, mungkin pemuda ini terlalu cerdas dibalik wajah datarnya dan keluarga patungnya. Bisa juga pemuda didepannya adalah penditeksi kebohongan handal sampai kebohongan berpresentase 99,9% seperti Lami bisa di curigai.
"Cornelius sedang ada diluar kota, tidak mungkin kantor itu terbakar dengan sendirinya."
Jantung Aya sudah berdetak lebih cepat, 3 kali lipat dari biasanya. Apalagi Jayden kali ini memincingkan matanya.
Mampus! Aya meruntuki dirinya dalam hati. Bahkan Lami masih memasang wajah ke pura puraannya dengan sangat baik, berbeda dengan dirinya penyamarannua hampir runtuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
NETHERLAND, 1860 [✓]
Random[Park Jisung fanfict] ©ariadne Ayara atau biasa dipanggil dengan sebutan Aya adalah seorang mahasiswi Sastra Belanda yang harus pusing dengan segala macam hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Belanda yang sangat berkaitan erat dengan Sejarah...