Dua puluh empat

163 44 2
                                    

Double deh.. ehehe
---

Aya melangkahkan kakinya menemui Jayden yang sedang mengobrol santai dengan teman teman Netherland nya yang lain, termasuk William disana. Aya tidak tau kenapa pemuda itu tampak lebih pucat dan menahan sesuatu,  mungkin menahan buang gas?

Dirinya berlari dengan hati hati lalu memeluk Jayden dari belakangnya, membuat pemuda itu menoleh menatap Aya sambil tersenyum lebar. Aya tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini, Jayden mengingatkan mantan kekasihnga yang dimasa depan, mungkin dimasa lalu? Entah. Aya tidak tau.

"Apa lihat lihat?! Suka? jangan suka sama aku karena aku juga tidak suka dengan kamu." Kata Aya ketus.

William yang berdiri tampak diam, bahkan biasanya pemuda itu tidak segan segan menarik ikatan rambut, atau menyelengkat, atau menarik narik Aya, dam berteriak teriak.  Alih alih menatapnya sinis seperti biasa, William memalingkan wajahnya sambil memegang perut. Wajah pemuda itu datar, jelas sekali sedang berusaha menutupi sesuatu yang berbahaya.

"Iya kami tau kamu milik Jay, bukan?" Ujar mereka membuat wajah Aya sedikit memanas karena malu.

"Ada apa denganmu, Will?" Tanya Aya membuat pemuda itu menoleh kearahnya dengan wajah yang masih datar.

"Bukan urusanmu." Jawab William.

"Louise, gadis yang ingin menjadi tunangannya akan datang sebentar lagi. Dan William tidak ingin pulang dari tempat ini." Jelas Jayden membuat Aya tersenyum jahil.

"Wah! Ternyata ada yang akan menikah juga." Seru Aya.

"Aku pulang." Pamit William tanpa mengungkapkan kata kata lagi.

Pemuda itu berjalan kearah pintu keluar, membuat pertanyaan besar dikepala Aya. William tidak pernah sedingin atau sehening ini. Biasanya pemuda itu kasar, bercanda dengan humornya yang gelap, penindas kelas kakap yang kadang menampilkan wajah idiot yang kadang ingin sekali Aya cengkram.

Tiba tiba tangannya tertaut dengan tangan Jayden yang jauh lebih besar dari tangannya. Udara yang cukup dingin tampak lebih hangat sedikit sekarang. Jayden dan dirinya memutuskan hanya berteman, karena Aya masih belum bisa menghilangkan rasa sukanya kepada Andi.

Setelah teman teman Jayden pergi, mengurusi urusannya masing masing hanya tersisa Jayden dan Aya yang berdiri dengan canggung.

"Maaf." Kata Jayden lalu melepaskan genggaman tangannya.

"Untuk apa?" Tanya Aya.

"Lou, aku seharusnya tidak menggenggam tanganmu karena aku takut tanganku hilang karena-

"Aku memotongnya?" Jayden mengangguk membuat Aya tergelak. "Mana mungkin aku bisa menghilangkan tangan orang! Tapi, jangan buat aku ingin mencobanya." Kata Aya membuat Jayden mengangguk sambil tersenyum.

Tidak lama Aya melihat Lami yang mengenakan kebaya lewat sambil membawa beberapa buku. Hanya Lami yang mengetahui nama aslinya, semenjak kejadian lembaran lembaran kertas untuk bahan referensi Aya.

Tapi, tidak soal itu. Aya menaruh curiga kalau Lami lebih tau dari sekedar nama Aya.

"Aku ingin menemui Lami, hati hati dijalan Jay!" Kata Aya lalu mengejar Lami.

***

"Lami!" Seru Aya membuat gadis itu menoleh dengan wajah datarnya.

"Apapun yang akan kamu katakan sebaiknya katakan dalam ruanganku." Kata Lami sambil membuka pintu ruangannya, membiarkan Aya masuk terlebih dahulu.

Di ruangan gadis itu jelas Aya bisa melihat adanya telepon pintar yang mati, mungkin karena disini tidak ada yang namanya charger ataupun stopcontact penerangan saja masih pakai lilin dan lampu minyak apalagi listrik.

Aya juga bisa melihat tataan buku buku dan benda benda asing yang menurutnya lebih canggih daripada zaman Aya lahir. Asal usul benda ini membuat Aya menerka nerka Lami berasal dari zaman yang sama dengannya atau melampaui zamannya.

Dirinya memilih untuk duduk dilantai sambil menatap tataaan ruangan semi-modern disekitarnya ini.

Lami duduk dihadapannya sambil menuangkan teh. Wajahnya tenang, seakan akan siap dengan pertanyaan yang keluar dari mulunya atau perkataan perkataan yang keluar dari mulutnya. Gadis itu duduk dengan rapih.

"Kamu pejalan waktu?" Tanya Aya membuat Lami mengangkat cangkirnya dan menyeruput, sambil menaikan sebelah alisnya.

"Kamu pikir aku bodoh tidak mengenali ini semua?" Tambah Aya membuat Lami menaruh cangkirnya.

"Begini ya Ayara. Aku bukan pejalan waktu, mungkin tadinya. Tapi, sekarang tidak." Jelas Lami seakan akan itu cukup.

"Jadi gadis masa depan, sekarang sebutan untukmu apa?" Tanya Aya.

"Aku terjebak oleh waktu, tidak bisa kembali." Jawab Lami.

Sempat terkejut, tapi Aya dengan cepat menetralkan wajahnya lagi. Kini dirinya memilih untuk diam dan menyeruput tehnya. Menunggu lanjutan dari perkataan Lami.

"Tapi, aku menerimanya. Walaupun aku semakin lama lupa-

"Matamu menyiratkan kebohongan." Potong Aya.

"Bohong katamu? Memang kamu siapa? Peramal?"

"Kamu menutupi sesuatu, pasti kamu tidak menerimanya, bukan? Tampak getir sekali disudut bibirmu, dan tatapan kosongmu." Jawab Aya.

Lami memejamkan matanya sebentar, "Bukan urusanmu juga, tapi yang jelas sebelum aku terjebak disini atasanku bilang semakin kita menetap semakin banyak juga kita kehilangan." Jelas Lami.

"Sudah berapa lama kamu disini?" Tanya Aya lagi.

"3 tahun, dan sialnya waktu sulit ditebak disini, karena perjalanan waktu hampir sama dengan perjalanan keluar angkasa, Aya." Jawab Lami.

"Kamu bilang atasanmu, kamu sudah bekerja?"

"Kamu tau tentang kata kata ayah anak sama sekali tidak ada hubungan kalau dalam mengerjakan pekerjaan atau di lapangan? Ayahku ini ilmuan bekerja disalah satu laboratorium di Amerika, dia menciptakan mesin waktu dan aku sukarela menjadi bahan percobaannya. Berhasil mulus, Aya. Tapi benda itu hilang, kalung itu lenyap."

"Kamu dari abad ke-22, ya? Abad ke-22 pasti sangat menyeramkan." Kata Aya membuat Lami tertawa.

"Apa? Tidak. Mesin waktu itu ada di abad 21, tahun 2021 dan dalam proses penyempurnaan." Jawab Lami sambil terkekeh dan menggelengkan kepalanya.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang