Double deh ehehehe...
---
William menatap satu persatu potret yang tergantung di ruangannya. Melihat gambaran gambaran yang sangat mengabur. Matanya kini menatap kearah cincin batu mirah dijari kelingkingnya, cincin tanda perwaris tunggal karena simbol keluarga Eerens adalah batu mirah.
Dirinya sempat terkejut kenapa batu mirah bisa dimiliki oleh Andi. Bahkan, William sempat merundung- jangankan sempat, sampai detik ini William masih merundung pemuda itu yang menurutnya mudah sekali untuk di luluh lantakkan apalagi Andi adalah seorang pribumi asli. Tapi, setelah di pikir pikir bisa jadi batu mirah itu hanya hasil Andi memungut di jalan atau meminta tolong kepada temannya- Chenle membuatkan kalung batu mirah.
"Paling juga hanya palsu." Kata William mendengus geli.
Pemuda itu merebahkan diri di kasur kayunya, menatap langit langit ruangannya memikirkan berapa lama lagi dirinya bisa menikmati masa remajanya sebelum di paksa untuk dewasa karena menggantikan ayahnya menjadi seorang teknik sipil berpangkat tinggi, mereka hanya tau kalau keluarganya semata mata adalah Ahli Botani. Kalau bisa memilih, William ingin sekali menjadi Ahli Botani saja, dirinya tidak cocok untuk berbicara atau merencanakan sesuatu yang bersifat serius.
Zrssss....
William sempat terkejut Batavia hujan pada saat pukul tiga sore, biasanya kalau di Buitenzorg datangnya hujan biasanya pukul empat sore, dan William menghabiskan waktu untuk membaca baca tentang bahasa bunga dan jenis jenis bunga. Menghabiskan waktu di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya dengan bahagia sambil membicarakan tentang tumbuhan dan hal apa yang akan dibangun di masa depan.
William yakin kalau penemuannya juga tidak akan dipakai kelak. Dirinya terlalu bodoh, membuat kerajinan tangan dari keramik saja waktu di Buitenzorg dirinya harus mengulang selama tiga hari- itu juga karena orangtuanya memutuskan untuk menyuap guru private nya untuk meluluskannya.
Dirinya melihat tetesan air dan kilat dari jendelanya yang belum tertutup tirai.
"Biasanya waktu waktu saat ini seru sekali mendorong Louise sampai jatuh ke parit." Gumam William.
Bayangan Louise muncul dikepalanya. Wajah bulatnua dengan sedikit freakless, rambutnya yang agak kecokelatan, dan gaun biru yang sering digunakan dengan pita yang mengikat rambut depannya, raut wajah marahnya waktu menodongkan garpu ke kerongkongannya. Walaupun saat pertama kali melihat gadis itu dirinya seperti melihat seseorang dari zaman lain.
Ya, William selalu menduga duga hal yang mustahil. William selalu berprasangka kalau ada orang orang asing- bukan dari sini disekitarnya, walaupun setelahnya dirinya akan meruntuki diri sendiri karena takut dirinya benar benar gila. Padahal William memang sudah benar benar gila karena tindakan ibunya.
"Aku mencarimu kemana mana." Suara itu membuat William membalikan tubuhnya kesamping melihat ayahnya yang menjulang berdiri tegak dihadapannya. "Mama-mu sedang tidak ada disini, jadi kita bisa berbicara bebas disini." Kata ayahnya membuat William langsung duduk dengan tegak.
"Iya, pa." Kata William.
"Will, kita punya kesamaan dalam konteks ini."
"Apa?"
"Sama sama sulit untuk beradaptasi dalam lingkungan baru, benar? Kita sudah terbiasa berbicara dan berhubungan dengan tanaman." Kata sir Eerens membuat William mengangguk.
"Papa ingin mengakrabkan diri dengan orang lain, ayah membuat sebuah kesalahan dulu bahkan sekarang." Kata ayahnya itu membuat William menaikan alisnya sebelah.
Ayahnya sangat sempurna dimatanya, nyaris William mendewakan ayahnya sendiri. Ayahnya tidak ada celah dimatanya, bahkan tidak ada kesalahan yang pernah dibuat menurut William. Tapi, saat ayahnya mengatakan seperti itu alih alih marah William hanya mengangguk, dirinya meralat kalau ayahnya juga manusia. Tidak sempurna.
"Papa ingin memberitau kesalahan yang dahulu, atau yang sekarang?" Tanya William.
"Sekarang, barangkali?" Jawab ayahnya dengan ragu.
"Silahkan." Kata William.
"Papa membuat perjanjian damai dengan salah satu keluarga yang mempunyai ladang besar di dekat rumah kita, mereka seorang keluarga kaya raya. Papa bisa jamin, bahkan keluarganya nyaris berpendidikan semua." Ayahnya menatapanya. "Iklim sangat buruk, Will. Tidak ada jalan lain menukar rempah rempah, tapi ayah menukarnya denganmu- laki laki itu memintamu untuk menikahi anaknya."
"Ya papa, saya terima alasannya. Kapan bisa kita temui mereka?" Tanya William.
Sungguh, beberapa minggu yang lalu dirinya mengejek Louise karena dipasangkan oleh teman kecilnya sendiri, kadang William ingin sekali menghampiri Louise sekarang dan berkata sambil tersenyum lebar. Tara! bukan kamu saja yang akan menikah, tapi aku juga! Tapi sepertinya itu agak konyol.
William menerima perkataan ayahnya bukan semata mata menerima dengan tulus. Tapi William dididik untuk menjadi penurut, dan menjadi prajurit yang taat. Kehidupannya bukan apa apa untuk dirinya sendiri, kedua orangtuanya yang akan mengaturnya- terutama ibunya yang terkasih.
Kalau bicara ibunya mungkin nanti saja, ada saatnya.
"Papa akan kasih tau nanti, sebelumnya mama sedikit kontra karena ini gadis itu inlander, tapi mama bisa mentoleransinya karena gadis itu anak beretika baik dan orang kaya." Jelas ayahnya membuat William mengangguk, begitulah ibunya.
"Maaf papa juga bilang ini... William, kamu bukan satu satunya." Kata ayahnya lagi.
"Satu satunya apa?"
Sir Jeffery Van Eerens
KAMU SEDANG MEMBACA
NETHERLAND, 1860 [✓]
Acak[Park Jisung fanfict] ©ariadne Ayara atau biasa dipanggil dengan sebutan Aya adalah seorang mahasiswi Sastra Belanda yang harus pusing dengan segala macam hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Belanda yang sangat berkaitan erat dengan Sejarah...