Eksperimen genetika Mimicus Octopus , Ambystoma Mexicanus & Chameleon yang tadinya bertujuan untuk menemukan obat yang dapat menghancurkan sel Kanker dan menyembuhkan Alzheimer. Berakhir dengan bencana bagi Dr Mattulada.
Awalnya dari kekacauan politik dalam negri Indonesia, yang kebetulan bertepatan dengan Dokter Mattulada melakukan riset dan eksperimen rekayasa genetika.
Dokter Mattulada mencoba merekayasa genetika dari 3 spesies. Thaumoctopus Mimicus atau yang biasa disebut dengan gurita penyamar. Bersama dua spesies lainnya yaitu Bunglon dan Salamander.
Bencana tersebut terjadi saat huru hara, di Sulawesi Selatan tepatnya di kota Makasar. Huru hara yang di picu oleh terbunuhnya beberapa Demonstran yang akibat tertembak oleh polisi dalam aksi demo yang awalnya tidak rusuh. Berawal dari tindakkan polisi yang memaksa pendemo untuk membubarkan diri. Dari sana mulailah terjadi saling berbalas teriakan-teriakan yang menimbulkan saling dorong antara Demonstran & Polisi.
Demo pun menjadi semakin besar, karena beberapa pemuda melihat polisi memukuli mahasiswa dengan pentungan, dan itu membangkitkan semangat mereka untuk melawan. Telebih menurut mereka pemerintah sudah sangat memuakkan.
Polisi semakin represif dan saat itulah terjadi penembakan kepada Mahasiswa. Hal tersebut menyebabkan Kota Sulawesi Selatan terasa begitu mencekam dihampir penjuru kota. Bakar ban sudah dimulai. Bahkan beberapa gedung restoran franchise ikut dibakar.
Kebetulan lokasi Laboratorium Dokter Mattulada berada disekitar kota Makasar dan akibatnya ia juga harus merasakan mencekamnya kota makasar sejak Pagi hingga Malam hari.
Merasa terisolasi di laboratoriumnya dan tidak berani keluar dari gedung laboratorium. Suara tembakan gas air mata dan peluru tajam saling bersautan terkadang membentuk irama yang pasti. Meski begitu pendemo tidak surut keberaniannya untuk melawan keberutalan aparat.
Hari terasa lama, jam serasa tidak bergerak. Dokter Mattulada melihat jamnya. Jam menunjukkan saat itu pukul 19:30. Dia mulai merasa khawatir dan bertanya pada dirinya sendiri kapan semua ini berakhir? Dia melihat dari atas gedung yang sebagiannnya disemen dan sebagaiannya lagi ditanami rumput dan pohon-pohon. Jika dilihat dari atas sepertinya kerusuhan masih akan lama berlangsung. Sebab dari atas gedung terlihat jelas bagaimana orang-orang keluar berhamburan kejalan dari dalam gang-gang yang akhirnya bergabung dengan kerumunan besar.
Didalam kepanikan itu ia berfikir bagaimana menyelamatkan hasil riset yang sudah dilakukan lebih dari 2 tahun itu? Sebuah kerja keras hari demi hari dan hasilnya pun sudah mulai terlihat.
Boomm terdengar dari seberang suara ledakan keras, sepertinya itu suara petasan besar. Yang tadinya ia sudah turun dari atas, kemudian ia naik lagi, suasana semakin mengerikan, baginya ini seperti perang di garis depan. Saat ia lari keatas terlihat sinar-sinar merah kekuningan dari jendela-jendela, ruangan terang oleh warna mengerikan itu sudah mencekam bahkan sebelum ia sampai keatas. Keatas bukanlah ide yang baik sebab itu hanya akan menambah panik dirinya terlebih ketika melihat gedung terbakar. Panik membuat ia berfikir semakin cepat, namun berfikir semakin cepat tidak juga menguntungkan baginya, sebab pada akhirnya semua hasil pikirannya sendiri, diragukan oleh dirinya sendiri. Hasilnya tidak ada solusi, tidak ada keputusan. Hanya argumentasi antara Alpha dan Beta dalam dirinya.
Hanya ada dua pilihan yaitu mulai keluar sekarang atau tetap disini dan mati konyol di laboratorium dalam keadaan gosong, begitu dalam pikirannya. Berlari turun dia merasa mantap apa yang akan dia lakukan. Tiba dibawah ia langsung menyiapkan semua dokumen hasil riset yang dibutuhkan untuk dibawa serta. Kepanikan membuatnya merasa bahwa Laboratorium ini sudah tidak aman lagi, gedung-gedung sudah terbakar dan laboratoriumnya juga bisa terbakar kapan saja.
Dia fokus penuh dengan hasil kerja bertahun-tahun yang harus diselamatkan. Ya semua dokumen sudah dirapikan, botol-botol kecil berisi cairan dimasukkan dalam tas dan dibungkus oleh kapas, kertas, koran dan tisu dia berfikir kalaupun nanti dia terpaksa berlari maka botol-botol tersebut tidak pecah.
Setelah semua sudah dimasukkan dalam tas ia berhenti sejenak dan kembali berfikir bagaimana ia keluar, tentu tidak asal keluar. Tas selempang berwarna hitam terbuat dari kulit itu tidak boleh dirampas orang, jadi selain fokus menghindari kemungkinan jadi sasaran pengeroyokan, atau peluru nyasar, dia juga harus fokus menyelamatkan tasnya dari perampokan. Itu terasa seperti menjadi tugasnya yang diperintahkan langsung oleh dirinya. Setelah semua selesai sekarang waktunya menyimak suara-suara yang ada diluar begitu ia memberi semangat pada dirinya untuk menghilangkan panik.
Mendengar suara-suara diluar tujuannya agar ia tahu kapan saatnya aman keluar dan kapan saatnya berbahaya untuk keluar. Ia ingin jadikan suara-suara diluar sebagai petunjuk kapan waktu yang pas untuk keluar gedung tersebut.
Lima belas menit telah berlalu, ia belum yakin untuk keluar, pikirannya lebih sering terdengar daripada suara-suara diluar. Panik tidak membawanya kemana-mana, berbeda dengan perasaan sebelumnya, yang mantap dengan rencananya. Semua adrenalin itu membuat waktu terasa berjalan begitu cepat, bahkan lima menit terasa seperti satu jam lamanya. Sedangkan ia sudah menunggu selama lima belas menit didepan pintu, terkadang menempelkan kupingnya ke pintu dan ia belum juga merasakan waktu yang tepat untuk keluar.
Semakin lama suara gaduh ia dengar, semakin ia merasa tersedot ketengah-tengah kegaduhan diluar. Benaknya pun turut gaduh. Ia mencoba untuk mendengar sambil memejamkan mata, seketika itu ia merasa sudah diluar. Suara-suara itu semakin menghantuinya, semua yang ia lakukan tidak membantunya untuk mengatasi masalah tersebut, ia justru semakin terseret kedalam ketakutan.
Dia hanya mengandalkan suara yang ada diluar untuk menentukan kapan saatnya keluar. Handphone juga tidak bisa digunakan entah mengapa jaringan tidak ada. Hal tersebut terjadi sejak kerusuhan berlangsung siang tadi. Ia menduga pemerintah sengaja mematikan jaringan sehingga kota Makasar tidak ada sinyal handphone sehari itu.
Sementara itu tembakan gas air mata dan peluru tajam terdengar silih berganti dengan suara petasan dan teriakan makian. Dua puluh menit telah berlalu, belum ada moment yang bisa dimanfaatkan, tidak juga kerusuhan mereda, sampai terdengar bunyi sirine melewati gedung Laboratorium. Ia merasa inilah waktu yang tepat untuk keluar.
Kembali ia meyakinkan dirinya dan membuka pintu sekaligus berharap semuanya akan baik-baik saja. Jika ada kesempatan untuk lari dia bertekad untuk lari, lebih cepat sampai rumah tentu lebih baik. Jika tidak memungkinkan untuk lari karena bisa menimbulkan kecurigaan, maka ia akan berjalan dengan setenang mungkin. Hal itu yang terus menerus berputar dikepalanya.
Begitu sibuk benaknya sampai-sampai ia mengira bahwa dirinya telah berjalan jauh, padahal ia belum beranjak dari tempatnya. Baru sekarang ia mencoba benar-benar membuka pintu dan melangkah keluar dengan tenang sambil melihat kanan kiri dengan tangan kanan mendekap erat tas yang diselempangkan kekanan badannya.
Semakin dia mencoba agar terlihat tenang semakin ia tidak terlihat tenang. Dan benar saja dia sama sekali tidak terlihat tenang apalagi mantap melangkahkan kakinya. Dia justru terlihat ragu dan kikuk, dan hal tersebut semakin menjadi ketika dia sadar bahwa hari ini dia memakai celana bahan berwarna coklat tua.
#1
KAMU SEDANG MEMBACA
COGENT - The Beginning
Science FictionCOGENT adalah sebuah markas besar dari sekelompok manusia-manusia super. COGENT dibentuk oleh Professor Marzuki, Dokter Mattulada dan Sarah Johnson. ***** Awalnya mereka hanya bertiga namun kejahatan didunia semakin banyak, Dokter Mattulada tidak mu...