#2 Bertemu Pendemo Brutal

35 4 0
                                    

Warna itu membuatnya tegang karena warna itu adalah warna seragam Polisi. Meski warna yang ia pakai jauh kebih tua dari warna seragam Polisi dan dia tahu itu. Namun tetap membuatnya takut untuk melanjutkan langkahnya, dia merasa kakinya bertambah berat dalam setiap langkahnya.

Sejak awal ia khawatir berpapasan dengan pendemo yang brutal, sekarang kekhawatiran itu semakin jadi karena dengan memakai celana seperti ini pendemo akan mengira dirinya polisi. Ia khawatir pendemo akan mengeroyoknya.

Menjadi wajar berpikiran seperti itu mengingat seharian ini para pendemo mendapat perlakuan represif dari Polisi. Yang dapat membuat pendemo marah sekaligus frustasi, mereka sangat mungkin melampiaskan kemarahan itu ke Dokter Mattulada. Ia ingin kembali, namun ia tidak tahu lagi mana yang lebih aman, melanjutkan perjalanan atau kembali ke Laboratorium.

Mentalnya hancur ketika ia mendengar ribuan orang berteriak keras memekakkan telinga, entah apa sebabnya orang-orang berteriak keras. Apakah ada polisi yang ditangkap para pendemo, atau para pendemo menghancurkan mobil polisi, atau para pendemo itu berhasil lagi membakar gedung. Detak jantungnya berdegub keras, tidak cepat tidak lambat, raut wajahnya terlihat cemas mendengar suara itu. Malam yang mengerikan, dan itu membuat tubuhnya berkeringat dan terasa dingin. Dia mencoba cari tahu dari mana asal gemuruh itu? Tapi dia tidak bisa mendeteksi dari mana asalnya. Semua suara seperti mengelilinginya. Yang ia tahu gemuruh itu terasa seperti amarah dari ratusan jiwa yang frustasi. Apakah suara itu dari belakang? Atau dari depannya? Dari kiri atau dari kanannya?

Mencari asal suaranya membuatnya merasa hampa, ia merasa kecil ditengah kerusuhan yang besar itu. Dokter Mattulada memutuskan kembali ke Laboratorium. Ia berencana lewat jalan belakang, menurutnya itu lebih aman. Jalan belakang itu adalah jalan kecil yang tidak mungkin dilewati kelompok besar orang.

Dia belok ke gang yang ada disebelah kirinya. Gang yang hanya bisa dilalui satu mobil dan satu motor. Terasa lebih tenang ketika memasuki gang tersebut. Berjalan semakin jauh ke dalam gang itu lalu belok kekiri disitu ada tulisan 'Boleh masuk gang sini tapi sopan' tulisan itu membuat hayalan dikepalanya tumbuh secara liar, tapi perjalanan ini sebentar lagi selesai dan ujung jalan itu akan mengantarnya pada suasana yang familier, membayangkan itu membuatnya tenang. Segera ia menetapkan malam ini apapun yang terjadi saya akan menginap dilaboratorium

Yang membuatnya tenang selain ujung jalan yang sudah terlihat dekat, suara gaduh itu juga semakin terdengar jauh dan sayup meski sesekali terdengar ledakan petasan namun itu tidaklah keras. Dia kaget bukan main tiba-tiba dia melihat dihadapannya ada 7 orang laki-laki berlari kencang kearahnya.

Hanya bisa menduga dan berharap bahwa orang-orang itu dikejar Polisi. Dia pun tetap melawan arah orang yang lari menuju kearahnya, dan berusaha berjalan dengan mantap untuk menunjukkan kepada mereka aku tak punya masalah dengan kalian begitu juga dengan kalian, mari kita sama-sama gunakan ini dengan penuh kedamaian. Itu pesan yang coba disampaikan lewat cara berjalan yang mantap.

Tanpa diduga ia melihat salah satu orang mengepalkan tangan dan dia pun dipukul. Mereka berteriak seperti orang-orang liar, bahkan mirip seperti hewan liar. Salah satu dari mereka berteriak memekakkan telinga, "Hey, apa kamu polisi? Jawab!", belum juga mendapat jawaban yang lain ikut berteriak, "Apa kamu intel?" Akhirnya semua berebut waktu untuk teriak "Ada apa ditasnya, bongkar saja temen kita sudah banyak yang mati dibunuh mereka para polisi biadab! Bongkar saja, lihat apa isi tasnya. Kalo Pistol tembakkan saja ke dia!"

Tanpa sadar Dokter Mattulada buang air kecil dicelananya, ketakutan akan kejadian seperti ini sudah menghantuinya sejak sore tadi. Dan malam ini tepat jam 9 malam akhirnya apa yangbdia takutkan terjadi. Dia terjebak oleh situasi yang dia takutkan.

Tas tersebut pun dibongkar. "Kertas-kertas apa ini?" pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan mereka. Pertanyaan yang sulit dijawab sebab mereka bertanya sambil memukul dan menendang. Ia mencoba menjelaskan bahwa ia adalah seorang dokter. Mereka seolah tidak mendengarkan. Dan justru asik lihat isi tas yang dibongkar oleh salah satu temannya.

"kertas semua isinya? Sampah ngapain bawa-bawa ginian. Mau nyamar?" Kata orang yang membongkar tasnya.

"Tidak, itu hasil riset saya, percayalah saya bukan polisi, saya dokter, demi Tuhan saya dokter." Kakinya terasa lemas, Ia meresa lututnya bukan lagi bagian dari kakinya, ia merasakan itu sepanjang menjelaskan kepada mereka, namun Ia terus berusaha menjelaskan kepada mereka. Yang membongkar tiba-tiba tertawa,

"Hahaha, ini orang polisi gila kali ya? Ngapain bungkus botol-botol kecil ini pake kertas, pake tisu, pake kapas segala? Kamu polisi stres?" Temannya yang lain tertawa. Botol-botol itu dikeluarkan satu persatu. Sambil ditanyakan ke Dokter Mattulada, "Air apa ini?!"

"Saya mencoba menjelaskannya kepada kalian, tapi kalian tidak mau percaya. Itu hasil riset saya dan saya adalah dokter." Serentak mereka tertawa. "Anda dokter? Dokter Polisi?" Mereka tertawa lalu kembali bertanya,

"Kalau begitu ini apa?" Salah satu dari mereka membaca tulisan yang tertera dibotol tersebut.

"Ambystoma Mexicanum. Ini terdengar seperti racun!" Temannya yang lain tertawa terbahak-bahak. Dokter Mattulada semakin takut sebab dia merasa apa yangbdikatakan orang itu tidak lucu, tapi mengapa mereka tertawa ini menyeramkan baginya. Ia mencoba menjelaskan,

"Ini adalah hasil riset saya bertahun-tahun untuk menemukan obat-obat yang dapat menyembuhkan penyakit. Dan riset ini sudah sembilan puluh sembilan persen berhasil tinggal diuji coba sekali lagi. Oleh sebab itu samplenya saya bawa." Penjelasan itu tidak meyakinkan bagi mereka.

"Ya sudah jangan banyak bicara sekarang jelaskan kepada kami ini cairan apa? Ayo jawab yang jelas, jangan muter-muter kesana kemari jawabannya!" Lalu tiba-tiba ada yang berteriak, "Halah, paksa aja minumin kedia, kalo memang obat dan berhasil. Kalo bohong kita gantung sekalian lalu buang kesungai."
Mendengar ide gila itu yang lain bersemangat. Dokter Mattulada pun berteriak ;

"Jangan demi Tuhan itu hasil riset saya dan saya bukan Polisi, saya juga bukan orang yang tembak rekan kalian. Tolonglah." Ia menangis minta dikasihani dan berharap mereka pengertian dan percaya bahwa yang Ia sampaikan semuanya benar. Tapi sepertinya berapa kalipun Ia menyampaikan kebenarannya mereka tidak akan percaya. Mereka hanya mau dengar apa yang mereka mau dengar, karena itu mereka semakin beringas.
"Halah sudahlah, buka mulutmu minum cairan itu!"

"Tidak, cairan ini tidak bisa diminum manusia."
"Loh katanya obat?"
"Udah paksa aja minum, dia bohong nih, katanya tadi obat sekarang bilang tidak boleh diminum manusia."
Dokter Mattulada di paksa untuk membuka mulutnya sambil diancam dengan benda tajam. "Ayo minum" yang lain pun teriak "Minum cepat atau kamu tidak hidup lagi.!"


#2

COGENT   - The BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang