ke-45

1.5K 176 51
                                    


Langkah kaki Nuria lunglai memasuki rumahnya, dia diantar pulang oleh Zanna karena ia tidak membawa kendaraan kesana. Selama perjalanan tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Nuria melainkan helaan nafas berat berkali-kali, Zanna yang memahami situasi hanya memilih diam tidak ingin menganggu sahabatnya yang sedang patah hati kesekian kalinya.

Besok ia akan mencoba mengajak Nuria berbicara, disaat sekarang ini Nuria membutuhkan waktu sendiri untuk menata hatinya yang berserakan bagai kaca yang pecah. Jika disuruh memilih, Zanna lebih memilih melihat Nuria petakilan daripada diam begini horornya jadi berasa.

Nuria langsung berhamburan memeluk bokapnya saat melihat beliau keluar dari dapur untuk mengambil minuman.

"Anak papih udah pulang." Respon Dhito membalas pelukan anaknya.

"Kok mukanya cemberut gitu? Anak kesayangan papih kenapa?" Tanya Dhito melihat mimik kusut wajah Nuria.

"Nuria bete pih galau." Jawab Nuria masih betah memeluki bokapnya. Nuria ini terpikal anak manja dan disayang oleh kedua orang tuanya.

"Pergi tadi mukanya juga cemberut masa pulangnya lebih cemberut lagi." Dhito terkekeh sambil mengelus rambut Nuria.

"Dihh papih." Nuria semakin cemberut mendengar kekehan Dhito.

Dhito mengecup puncak kepala Nuria lalu melepaskan pelukan mereka dan menatap anaknya dengan tatapan serius namun masih ada kelembutan disana.

"Coba kasih tahu papih hal apa yang buat kamu bete."

Nuria membalas tatapan bokapnya dengan serius pula tapi masih terselip rasa bete.

"Nuria suka sama pacar orang pih." Ucap Nuria sedikit ragu mengatakannya karena takut kenak marah telah menyukai kekasih orang lain.

"Lalu?"

"Nuria tau kok ini salah tapi papih jangan marah jangan minta Nuria buat jangan suka sama pacar orang. Nuria nggak bisa pih, Nuria pikir ini cuman perasaan sesaat tapi Nuria salah malah perasaan ini makin membuncah pih sampai hati Nuria sakit memendamnya." Akuin Nuria kepada Dhito tanpa berani menatap mata bokapnya. Jika ia melihat mata lembut Dhito ia akan menangis takut mengecewakan bokapnya.

"Kamu sudah coba untuk mengatakannya?" Tanya Dhito tanpa kemarahan disana. Nuria menggelengkan kepalanya, bagaimana bisa sudah ditolak duluan sebelum sempat mengatakannya.

"Menurut kamu lebih baikan mana mengatakannya atau tidak?"

"Untuk saat ini Nuria milih opsi yang kedua, kenapa gitu? Nggak mau dianggap aneh atau pho. Nuria bukan apa-apanya pih dibandingkan pacarnya ya lebih baik gini aja selama Nuria masih bisa lihat dia masih bisa lihat senyuman dibibir nya." Nuria tersenyum saat mengatakannya namun matanya berkata lain.

"Nggak bohong sih pih sakit, bukan Nuria yang buat senyuman itu tercipta tapi orang lain. Lebih sakit lagi kehadiran Nuria sama sekali  nggak dianggap."

Melihat mata putrinya berkaca-kaca langsung saja Dhito memeluk putrinya. Sebagai seorang ayah, Dhito bisa merasakan kesakitan yang dialamin anaknya. Yang ia tahu anaknya tidak begitu memperdulikan percintaan fokusnya hanya belajar dan main-main bersama teman-temannya tanpa ingin terjebak dahulu dalam percintaan yang rumit.

Sekalinya ia tahu anaknya jatuh cinta malah luka yang ia dapatkan. Dhito bukan orang tua yang suka memaksakan kehendaknya ia memberikan anaknya kebebasan dalam memilih selama itu masih dalam batas wajar.

"Mau nangis nggak apa-apa sayang. Anak papih kuat orang kuat ada kalanya nangis. Papih juga pernah nangis waktu uang jajan papih dipotong sama kakek kamu gara-gara papih bandel tabrak motor tetangga padahal papih nggak sengaja salah tuh motor kenapa ada disana saat papih lagi bawa mobil."

MEISHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang