📌 Chapter 3: Like We are Nothing

368 16 0
                                    

"Don't worry, Dear. Everything's gonna be alright 'cause life goes on."

-Chyra Anzaela Permana

•••

Ceano menghela napas panjang. Setelah beberapa menit lalu berdebat dengan pikirannya sendiri, akhirnya cowok itu memutuskan untuk duduk bersimpuh di makam ayahnya. Bibirnya mulai bergetar menahan tangis. Satu fakta yang harus kalian tahu, Cean bahkan tidak pernah melihat ayahnya secara langsung. Cean baru tahu jika ia memiliki seorang ayah lagi beberapa tahun belakangan ini. Saat semua masalah dalam hidupnya datang secara bertubi-tubi.

Langit mulai gelap. Dengan gerakan perlahan Cean menyabut rumput yang tumbuh di sekitar makam ayahnya. Cowok menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir deras turun ke pipinya. "Maafin Cean, Ayah."

Satu per satu air langsung jatuh membasahi tubuhnya yang ringkih seolah membiarkan Ceano jatuh dan menangis bersama derasnya hujan. Sudah beberapa hari ini dia menahan rasa sakitnya seorang diri. Kali ini, di depan makam ayahnya, biarkan semesta tahu betapa rapuhnya Ceano sekarang.

"Cean pengen ketemu Ayah," lirihnya sambil terisak. "Cean capek hidup di sini, tapi Cean juga takut mati."

Ceano menyentuh dadanya yang terasa nyeri. Ini lebih menyakitkan daripada dikeroyok oleh preman di ujung jalan tadi. Kenapa orang-orang yang Ceano sayang selalu meninggalkannya lebih cepat? Tak tahukah mereka jika Ceano tidak bisa hidup seorang diri?

"Ayah ... kenapa Cean harus hidup di dunia ini kalau yang Cean dapatkan cuman penderitaan?" Cean memeluk makam bertuliskan nama Anugrah Sentoso itu dengan erat, bahkan Cean membiarkan tubuhnya bersatu dengan tanah sehingga pakaiannya menjadi kotor.

"Alasan Cean bertahan sampai sekarang cuman karena mau lihat Ayah," adu Cean. "Tapi kenapa Ayah malah pergi sebelum kita dapat bertemu." Cean tersenyum miris mengingat kenyataan yang dia hadapi saat ini.

Lalu tiba-tiba saja Cean tersadar. Dia menegakkan tubuhnya lalu mengelus batu nisan ayahnya. "Cean salah."

"Cean enggak boleh nyerah," ujarnya sembari mendongak ke atas.

"Maaf karena tadi Cean udah mikir yang enggak-enggak, Tuhan. Cean janji akan berusaha yang terbaik untuk kehidupan Cean selanjutnya."

Bukankan dulu dia yang selalu bilang harus berjuang dan terus mencoba, walaupun pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan segalanya. Kali ini biarkan Cean mengulang kembali kalimat yang dari dulu selalu terpatri di kepalanya.

Hiduplah karena dirimu sendiri, bukan karena dia ... ataupun orang lain.

***

Chyra tersentak ketika seseorang menubruk tubuhnya dengan pelukan yang sangat erat. Chyra tersenyum saat mengetahui bahwa itu adalah adiknya sendiri. Gadis itu baru pulang dari pemakaman ayah dan ibunya sekitar pukul 7 malam. Wajar anak kecil di depannya ini menunjukan raut wajah khawatir, apalagi saat melihat wajah Chyra yang terlihat sembab.

"Kenapa, hei?" tanya Chyra dengan lembut sembari menunduk untuk menyamakan tingginya.

"Kakak habis dari mana? Aku cari Kakak ke sekeliling rumah, tapi enggak ketemu. Mama pas ditanya juga enggak mau jawab," cerita anak itu dengan menggunakan bahasa isyarat yang sudah Chyra hafal luar kepala.

Ya, dia Raditya Agustian Abraham. Adik Chyra yang saat ini berusia 10 tahun. Radit tunawicara sejak kecil, dia hanya bisa mengandalkan jari mungilnya ataupun sebuah notes ketika akan berbicara.

Chyra juga heran kenapa adiknya ini bisa bisu, padahal ketika baru lahir Radit nampak sangat cerewet. Bahkan adiknya ini bisa membuat semua orang pusing karena tangisannya yang tidak berhenti, kecuali jika Mahes yang menenangkannya.

The Way I Hate You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang