Cean tidak tahu apa saja yang sudah dia lewatkan selama sepekan terakhir. Hari ini dia masih terbujur kaku di ranjang rumah sakit tanpa ada perubahan berarti mengenai kondisinya. Bukannya merasa baik, Cean justru merasa bahwa dia semakin sakit.Tak ada pagi yang bisa dia lewatkan dengan tenang. Selalu ada rasa sakit yang menghujam seluruh tubuhnya. Tangannya sering merasakan mati rasa, mimisan yang dia alami sudah sangat parah. Tak jarang, setiap dua jam sekali dia akan merasakan mual yang menjadi-jadi.
Seperti saat ini contohnya. Cean bahkan baru dapat tidur pukul lima setelah sholat subuh, tetapi dia terbangun pukul tujuh pagi dengan rasa mual yang tidak dapat ia tahan. Untung saja ada para suster yang setia mendampinginya. Jika tidak, mungkin Cean tidak bisa membayangkan apalagi yang akan terjadi.
Cean menyandarkan tubuhnya di atas ranjang dengan mata dibuka setengah. Sebenarnya dia sangat amat mengantuk, tetapi baru saja tertidur sejenak mimpi buruk langsung menghujam ingatannya.
"Bunda ...," lirihnya membuat salah seorang perawat datang menghampiri. Suster itu mengelap keringat di kening Cean serta merapikan rambutnya yang rontok.
"Sabar, ya, bunda kamu sebentar lagi datang."
Cean tahu itu hanya alasan untuk membuatnya tenang. Bunda tidak akan pernah datang. Bunda pasti bahagia melihatnya seperti ini. Cean menjambak rambutnya dengan kasar sebelum akhirnya tersadar bahwa rambutnya sangat mudah terlepas.
"Suster," lirihnya dengan takut sembari memperlihatkan helaian berwarna hitam yang rontok di tangannya, "ini kenapa?" tanyanya dengan cemas.
Suster itu tersenyum menenanggkan sembari menyuntikkan cairan obat dalam infus Cean. "Itu efek dari kemoterapi, Cean. Jangan takut, kamu anak yang hebat. Suster yakin kamu akan cepat sembuh."
Cean menggeleng tidak percaya. "Boleh anterin Cean ke toilet sebentar, Sus?"
Suster dengan umur sekitar 20 tahunan itu mengangguk lalu menuntun Cean untuk menuju toilet. Saat akan masuk ke dalam, Cean berhenti di depan lalu tersenyum kepada suster. "Di sini aja, Sus. Cean bisa sendiri," katanya sembari mengambil infus yang dipegang suster tadi.
Sekuat tenaga Cean berjalan untuk mencapai wastafel yang berada tak jauh darinya. Sekujur tubuhnya terasa kesakitan. Pertama kali yang dia liat di kaca adalah pantulan wajahnya yang sudah seperti mayat hidup.
Cairan merah kental mengalir dari hidungnya. Awalnya, Cean berusaha untuk tetap tenang, tetapi ternyata tidak bisa. Cowok itu ketakutan ketika melihat darah yang semakin banyak serta tak mau berhenti.
"Akhh!" Cowok itu meringis kesakitan saat kepalanya terasa dihantam palu. Dia sampai harus menghidupkan keran air dengan deras agar rintihannya tidak terdengar.
Helaian rambutnya kembali rontok saat Cean menariknya dengan pelan. Dia menelan ludahnya paksa lalu menarik napas panjang. Pantulan bayangannya terlihat sangat miris. "Kenapa kamu enggak mati aja?" lirihnya. "Kalau gini kan kamu buat repot banyak orang jadinya."
"Cean!"
Suster mengetok pintu berulang kali, tetapi tetap tak ada jawaban. Ini sudah hampir setengah jam dari saat dia meninggalkan Cean di toilet sendirian. Merasa ada yang tidak beres, suster itu memanggil namanya dengan keras hingga Cean keluar dengan tatapan kosong.
"Kamu nggak kenapa-napa kan?" Cean menggeleng.
Untuk berjalan menuju ranjangnya saja, Cean masih harus dipapah hingga dia merasa bahwa hidupnya sangatlah merepotkan.
Tring!
Ponselnya berbunyi nyaring. Dengan perlahan Cean mengambil benda yang ada di samping kasurnya itu. Melihat nama sang penelepon membuat hatinya gelisah tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...