📌 Chapter 40: Marah Besar

148 8 0
                                    

Cean meluruhkan tubuhnya di atas kasur ketika Chyra memutuskan panggilan telepon secara tiba-tiba. Meskipun semua ini tidak sepenuhnya salahnya, tetapi tetap saja Cean yang membuat Chyra menunggu selama itu.

Cowok itu merengut karena tak bisa menepati janjinya. Dengan begini Cean akan makin benci kepada dirinya sendiri. Langkah pria itu lalu terseok menunju meja belajar yang ada di samping kasurnya. Perlahan, Cean membuka laci lalu menemukan sebotol penuh obat yang sudah lama tidak dia gunakan. Menarik napas panjang, Cean tersenyum untuk meyakinkan hatinya.

Semenjak kemoterapinya beberapa minggu lalu, Dokter Gema kerap kali memberikannya obat ketika Cean merasakan sakit, tetapi kini ketika sakitnya kembali, obat itu sudah habis. Cean tidak bisa pergi ke rumah sakit dengan kondisi seperti ini. Maka dari itu dia memilih menelan obat tanpa resep dokter itu sebanyak tiga butir tanpa air.

Cean mengepalkan kedua tangannya yang bergetar hebat. Untuk melampiaskan itu, Cean membenturkan kepalanya di atas  meja hingga beberapa kali. Harapannya dengan begini, cowok itu tidak akan merasakan sakit lagi.

Namun, bukannya menghilang rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Cowok itu segera menuju kamar mandi ketika merasakan mual. Dia menuju wastafel lalu memuntahkan seluruh  isi yang ada di dalam perutnya.

Kedua lututnya terasa lemas ketika melihat cairan merah keluar dari mulut dan juga hidungnya. Cean takut sekali. Ini artinya tubuhnya tidak bisa menerima efek dari kemoterapi waktu itu  Cepat-cepat Cean membasuh wajahnya agar tidak menimbulkan kecurigaan ketika Bunda datang ke sini.

Tepat sekali, baru saja cowok itu pikirkan Bunda langsung mengetuk pintu kamarnya. Setelah memastikan keadaannya baik-baik saja, Cean keluar dari dalan toilet dan membuka pintu kamarnya. "Sebentar Bunda," katanya.

Bunda melirik Cean dari atas ke bawah saat anak itu terlihat oleh pandangan matanya. "Kamu tidak apa-apa?"

Cean langsung menggelengkan kepalanya. Sementara itu, Bunda melihat ada yang aneh di kepala Cean. Keningnya memar seperti habis dipukul oleh seseorang. Bunda menyampingkan rambut Cean lalu keningnya menyerngit. "Ini kenapa?"

"Cean baik-baik aja. Ini habis kejedot pintu wc. Salah Cean juga sih karena tadi Cean enggak hati-hati." Cowok itu mengalihkan matanya tak berani melihat wajah sang Bunda.

Bunda tampak acuh saat Cean mengatakan itu. Dia masih tidak ingin terlalu dekat dengan anaknya sendiri. Wanita itu masih merasa canggung untuk memperlakukan Cean yang berbeda dari biasanya.

"Sebentar lagi pertunangan kamu akan dilangsungkan. Jangan berbuat hal yang membuat saya malu." Hilda hanya ingin yang mengatakan perhatiannya pada Cean, tetapi kata yang terucap malah jauh dari bayangannya.

"I-iya, Bunda," balas Cean dengan gugup.

"Sudah minum obat yang diberikan dokter?"

Cean mengangguk. Sepenuhnya cowok itu berbohong karena tak mau membuat Bunda khawatir. Saat ini kepalanya masih terasa sakit, matanya berkunang-kunang. Untuk melihat Bunda pun rasanya seperti ada dan tiada.

Dia harap Bunda bisa segera pergi dari sini. Bunda tidak boleh melihatnya jatuh sakit lagi. Cean masih ingat jika Bunda tidak menyukai orang yang menyusahkannya.

Barulah setelah Bunda pergi Cean bisa bernapas dengan lega. "Terima kasih karena sudah mau memperhatikan Cean hari ini, Bunda."

Rasanya senang sekali karena perlahan Bunda mulai berubah. Meskipun kata-kata sadisnya masih sering terucap, tetapi Cean bahagia. Wanita itu rela setiap hari menyempatkan waktunya untuk pergi ke kamar Cean lalu bertanya tentang keadaannya. Begini saja sudah cukup untuk membuatnya bersyukur.

The Way I Hate You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang