📌 Chapter 55: Kepergiannya

166 6 0
                                    

Lagi-lagi Samudra kembali ke ruangan ini dengan tangan hampa. Detak jantung yang terus berbunyi pada monitor di sampingnya menandakan bahwa adiknya masih hidup hingga sekarang. Cean tidak akan meninggalkannya secepat ini. Mulai sekarang Samudra tidak akan percaya dokter manapun. Dia yakin bahwa Tuhan tidak mungkin sejahat itu mengambil Cean dari sisinya. Sungguh, dia belum sanggup untuk kehilangan seseorang yang dia sayangi untuk yang kedua kalinya.

Tangan Cean terasa dingin saat Samudra menggenggamnya. Besar harapannya bahwa jari-jemari itu bergerak sedikit saja untuk menandakan bahwa Cean masih berjuang untuk kembali. Samudra termenung menatap tubuh yang kian kurus itu. Saat mengelus rambutnya, beberapa helai rambut berguguran di tangannya. Samudra terisak, tidak kuasa menahan rasa perih di dadanya.

"Maaf, Dek. Maafin abang karena gagal untuk menjaga kamu."

Seorang wanita tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Dia langsung menuju ke arah Samudra lalu menepuk pundaknya pelan. "Bunda ...."

Samudra langsung memeluk wanita itu dengan erat. Masih dengan terisak dia coba untuk katakan sesuatu kepada bundanya. "Bunda, Sam takut Cean pergi,"

Bunda tersenyum pedih. Situasi ini sama persis kala suaminya pergi meninggalkannya berdua dengan Samudra untuk selama-lamanya. Bunda tak jua bisa tenangkan Samudra karena dia tahu kecil kemungkinan bagi Cean untuk bisa sembuh. Yang bisa dia lakukan hanyalah terus, berusaha untuk menenangkan Samudra apa pun kejadian yang akan terjadi kelak.

"Bunda ... Sam enggak mau Cean pergi. Sam yakin kalau Cean masih ada harapan untuk sembuh. Sam enggak mau Cean sama seperti ayah. Sam yakin enggak ada hal yang mustahil di dunia ini, Bunda. Termasuk juga kesembuhan Cean." Beberapa tahun lalu Samudra juga seperti ini. Merengek kala ayahnya berbaring di brangkar rumah sakit pasca didiagnosa terkena kanker otak. Samudra juga yang paling berambisi bahwa ayahnya akan sembuh meskipun pada akhirnya ayah pergi meninggalkan dia dan Bunda. Bak de javu, Bunda tak dapat menahan air matanya untuk tidak menetes jatuh ke pipi.

"Bunda, kenapa enggak Sam aja yang sakit? Kenapa harus Cean? Kenapa harus seseorang yang enggak punya salah apa-apa sama kita? Emangnya kanker itu turunan ya, Bun? Apa Samudra bukan anak ayah makanya enggak sakit?"

"Samudra sakit liat Cean kayak gini, Bunda. Disini rasanya sesak banget." Samudra berkata sembari menunjuk dadanya.

Ajeng menggeleng, tidak percaya dengan apa yang baru saja anaknya katakan. "Bunda lebih sakit kalau Sam yang ada di posisi ini, Nak. Jangan salahin diri kamu sendiri lagi. Ini udah takdir dari-Nya. Kita enggak punya kendali untuk merubah takdir, Sam. Sekeras apa pun kamu menolak, kalau udah takdir ... ya kita hanya bisa menerima."

Baru saja Ajeng mengatakan hal tersebut, sebuah keajaiban yang dinanti oleh Samudra terjadi. Jari-jemari Cean bergerak. Anak itu nampak gelisah di tempatnya. Bahkan dalam mimpinya saja dia menangis sembari menggumamkan nama bundanya. Samudra tidak dapat menahan rasa bahagianya sehingga tanpa sadar dia langsung memeluk raga adiknya dengan erat. Hingga beberapa saat setelahnya dokter masuk ke dalam ruangan bersama dengan suster membawa beberapa peralatan yang tidak Samudra mengerti.

Dari luar ruangan, Ajeng ikut menatap pemandangan di depannya dengan haru. Tidak menyangka bahwa Tuhan masih berikan kesempatan pada Cean untuk bertahan. Ajeng menyadari bahwa ikatan saudara di antara mereka begitu erat. Bukan maksudnya tidak menerima kehadiran Cean, hanya saja Ajeng masih belum siap menerima kenyakatan bahwa Cean adalah anak dari suaminya.

Beberapa tahun menghilang, kini dia kembali dengan kondisi yang tidak Ajeng sangka. Wanita itu senang-tentu saja setelah pencariannya selama ini-sekaligus merasa tidak rela karena wajah Cean benar-benar jiplakan dari Sentoso-suaminya. Rasanya sakit sekali mengetahui fakta bahwa Sentoso memang benar pernah menghamili wanita lain selain dirinya.

The Way I Hate You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang