📌Chapter 14: Down

257 11 0
                                    

Kadangkala, orang-orang yang sering tertawa itu adalah manusia yang paling terluka hatinya. Hal itu juga berlaku kepada lelaki dengan senyum secerah matahari ini. Sedari tadi ia melihat teman-temannya yang sedang melakukan pemanasan di jam pelajaran olahraga.

Senyumannya tidak luntur ketika banyak yang bertanya kenapa dia tidak mengikuti pelajaran olahraga hari ini. Ceano senang karena banyak yang peduli padanya. Maka dari itu dia menjawab seadanya dengan bilang bahwa tubuhnya tidak akan kuat jika melakukan aktivitas fisik terlalu berat.

Itu memang benar. Jika saja dia nekat, maka lelaki itu akan berakhir di ranjang rumah sakit berhari-hari. Apalagi ditambah dengan luka tusukan di punggungnya. Sudah seminggu berlalu, tetapi kejadian itu terus membekas di ingatan Ceano.

Lukanya memang tidak seberapa karena di pagi hari saat Ceano terbangun, dia sudah berada di kamarnya dengan perban yang membalut tubuh kurusnya. Akan tetapi, luka di hati remaja itu jauh lebih perih dibandingkan dengan apa pun. Rasanya Ceano bisa gila jika memikirkan kejadian itu lagi.

Hari ini pelajaran olahraga bola voli. Cean duduk di tepi lapangan sembari menatap pemandangan di depannya dengan perasaan hampa. Dia mulai kembali menyalahkan fisiknya yang sangat lemah semenjak kecelakaan itu. Andai saja waktu bisa diulang, ia pasti akan bersenang-senang bersama temannya di sana.

Terlalu asik melamun, Cean sampai tidak menyadari jika sebuah bola mendekat ke arahnya. Teman-temannya sontak berteriak menyuruhnya menjauh, tetapi Cean masih berada dalam dunianya.

Bruk!

Saat bola itu mendarat tepat di kepalanya, kacamata lelaki itu ikut terpelanting membentur tanah. Cean terkejut ketika darah keluar dari hidungnya. Jangan sekarang, kumohon! Mereka tidak boleh melihatku seperti ini.

Ceano mengambil bola di depan kakinya lalu melemparkannya kepada Ijun—sang pelaku yang tidak sengaja membuatnya begini—dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ijun hanya manggut-manggut saja sementara Ceano menutup hidungnya berusaha menyembunyikan darah yang terus mengalir.

Untung saja hari ini hari Kamis, jadi seluruh siswa yang yang tidak olahraga menggunakan seragam batik dengan bawahan berwarna hitam. Ceano sungguh bersyukur dengan  kesempatan itu.

Setelah dirasa tidak ada yang memperhatikannya, Ceano diam-diam pergi ke toilet untuk membasuh bercak darah di hidungnya.

Lelaki itu menyalakan air keran dan terkejut setengah mati ketika melihat wajahnya yang sudah seperti mayat hidup. Cean tak tahu apakah ini hanya ilusi karena kacamata miliknya pecah ataukah memang begini penampilannya. Dia pun membasuh wajahnya agar kelihatan lebih segar. Tak lupa Cean juga memakai softlens agar warna matanya tidak terlalu mencolok.

Sejujurnya, Cean sangat tidak menyukai warna matanya ini. Biarpun kata orang ini adalah warna yang langka, tetapi Cean membencinya. Warna mata ini mengingatkan bundanya kepada ayah kandung Cean—lelaki yang tidak sengaja menanamkan benihnya di rahim bunda, lalu pergi begitu saja. Dulu bundanya juga sering marah ketika Cean lupa memakai softlens.

"Gue cariin dimana-mana, ternyata di sini." Sebuah tepukan ringan mendarat di bahu Ceano membuat remaja itu merintih kesakitan.

"Eh sorry. Lo kenapa?" Itu Ijun. Dia khawatir ketika tadi tak menemukan Cean di pinggir lapangan. Lelaki itu takut terjadi sesuatu akibat ulahnya tadi. Apalagi sekarang penampilan pucat Cean mengalihkan seluruh atensinya.

Ceano menggeleng sembari tersenyum singkat. "Aku enggak apa-apa kok. Tadi cuma kaget aja pas kamu di sini."

"Ya abisnya lo lama banget gak balik ke lapangan. Muka lo pucet banget, Cean. Ke UKS aja, yuk. Sorry gara-gara gue kacamata lo jadi rusak, tapi tenang aja besok bakalan gue ganti."

The Way I Hate You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang