📌Chapter 43: Bunda, Cean Juga Ingin Bahagia

108 5 2
                                    

Pukul empat dini hari, Ceano terbangun dari tidur panjangnya. Gelap langsung menerpa penglihatannya ketika dia membuka mata. Anak itu berusaha bangkit untuk mencari saklar lampu, tetapi tubuhnya kembali terjungkal saat merasakan seutas tali terasa mencengkram kedua tangan dan kakinya.

Berusaha untuk tetap tenang, Cean memanggil sang Bunda dengan harapan akan membantunya. Anak itu belum sadar ini jam berapa, tetapi otaknya langsung mengingat satu hal penting bahwa hari ini dia harus segera pergi ke rumah gadisnya. Acara pertunangan seharusnya sudah berlangsung beberapa jam lalu, tetapi dengan bodohnya dia masih terkunci di tempat ini.

Sakelar lampu itu tiba-tiba saja berbunyi seperti ada yang menekannya. Beberapa detik kemudian, sinar putih itu langsung menerangi seisi ruangan. Cean menelan ludah kasar saat melihat jam sudah menunjukan pukul empat.

Detak jantungnya berpacu kencang saat menyadari bahwa dia terbaring di atas kasur dengan tangan dan kaki terikat. Apa ini artinya dia tertidur begitu lama? Padahal tadi malam Cean sudah bilang pada Bunda untuk membangunkannya satu jam sebelum mulai acara.

*Flashback

Seorang lelaki berbalut jas hitam formal itu tersenyum lebar di depan kaca. Hari ini adalah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Lelaki itu tertawa sendiri ketika membayangkan saat-saat menegangkan di mana dia bertukar cincin dengan gadisnya.

Sedang asyik-asyiknya mengkhayal, Bunda mengetuk pintu kamar lalu masuk setelah dia persilahkan. Bunda nampak sama rapinya dengannya. Terlihat anggun, sangat cantik hingga dia terpesona melihatnya.

Lelaki itu memeluk wanita yang telah melahirkannya dengan erat. "Bunda, terima kasih, ya. Cean sayang banget sama Bunda."

Bunda masih sama, hanya diam saja, tetapi senyum anak itu kembali merekah saat Bunda mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Perlahan Cean pun mulai sadar jika Bunda lebih suka mengungkapkan rasa sayangnya dengan perbuatan, bukan dengan sebuah kata.

"Kamu sudah minum obat yang saya berikan?"

Cean menganggukkan kepalanya lalu berdeham singkat, "Cean kok ngantuk, ya, Bunda?"

Bunda memegang pipinya lalu berkata, "Tidur saja dulu. Nanti saya bangunkan."

Sebenarnya Cean ingin menolak, tetapi Bunda menyakinkannya untuk istirahat sebentar. Ini hari bahagianya, Cean harus tampil fit. Maka dari itu Cean mengiyakan saran Bunda sebelum nanti wanita itu yang akan membangunkannya satu jam sebelum acara dimulai.

Namun, bukannya membangunkan Cean, wanita itu malah tersenyum mengerikan, mematikan lampu rumahnya lalu menyewa seorang wanita tua untuk menyakinkan siapa pun yang datang nanti bahwa tidak ada orang di rumah ini. Dia juga mengikat kaki dan tangan Cean lalu tertawa dengan bahagia.

"Sempurna!" katanya terdengar seperti orang gila.

***

"Bunda, ada apa?" tanya anak itu kebingungan saat melihat Hilda hanya diam saja menatapnya dengan tatapan menusuk.

"Kenapa Bunda enggak bangunin Cean? Harusnya kan kita pergi ke rumah Chyra tadi malam."

Hilda berjalan mendekatinya lalu tersenyum miring saat melihat Cean kesusahan melepaskan ikatan tali yang sudah dia rangkai sedemikian rupa. "Bunda, jangan kayak gini. Cean takut lihatnya."

"Kamu ingat bahwa saya punya tiga permintaan yang harus kamu turuti, bukan?"

Cean bergeming, menatap Bunda dengan berkaca-kaca. Bunda tidak mungkin mengkhianatinya lagi, kan? "Tapi ... bukannya Bunda sudah memaafkan Cean?"

"Kata siapa?" ketus wanita itu sembari tersenyum remeh. Dia duduk di ranjang sebelah Cean yang masih kosong, mengelus pipi anak itu dengan jemari lentiknya. Saat itu pula bulu kudung Cean meremang, pertanda bahaya akan menghampirinya.

Benar saja, wanita itu langsung mencengkram pipi Cean dengan sekuat tenaga lalu terkikik geli saat melihat anaknya menderita. "Karena permintaan pertama saya tidak kamu penuhi, maka permintaan kedua ini saya sendiri yang bertindak langsung. Pertunangan ataupun pernikahan kamu dengan gadis itu tidak akan saya restui. Saya akan menggagalkan semuanya dengan cara apa pun itu."

Cean langsung mencengkram kedua tangannya menahan sakit dari kuku Bunda yang menancap di pipinya. Wanita itu mendorong Cean hingga tubuhnya kembali berbaring di atas ranjang.

Ingatannya kembali memutar saat dimana Bunda memberinya sebuah obat pereda rasa sakit. Cean bingung karena dokter Gema tidak pernah memberi ini padanya, tetapi Bunda bilang obat ini membuat Cean tidak akan merasakan sakitnya dalam beberapa jam. Cean pun langsung meminumnya tanpa berpikir panjang. Anak itu percaya saja, lagipula ini bundanya sendiri yang berkata.

Ternyata, obat yang dia minum sebanyak tiga buah itu adalah obat untuk membuatnya tertidur selama semalaman. Bunda tidak pernah berubah, semua yang dia lakukan hanyalah kepura-puraan untuk membuat hidup Cean lebih sengsara.

"B-bunda jahat," lirih Cean dengan air mata yang keluar tanpa aba-aba dari pelupuk matanya. Cowok itu menunduk sembari menghalau rasa sakit baik dari fisik, maupun batinnya yang terluka parah. "Cean ngerti kalau Bunda dari awal bilang kalau masih benci sama Cean, tapi kenapa Bunda seakan-akan memberikan Cean harapan? Mimpi Cean terlalu tinggi, sampai akhirnya jatuh tanpa ada yang mendampingi. Rasanya sakit sekali, Bunda."

"Saya tidak pernah memberi kamu harapan! Kamu saja yang bodoh karena tidak mengerti dengan pertanda yang saya berikan."

Cean memejamkan matanya bersamaan dengan itu pula dia menangis dengan tersedu. "Lepasin Cean, Bunda. Cean mau ketemu Chyra. Cean mohon, Cean ingin jelasin semuanya."

Bunda tiba-tiba saja tertawa ketika Cean berkata seperti itu. Muak melihat anaknya yang merengek minta ini-itu, Hilda pergi tanpa merespon apa pun yang diucapkan Cean. Biarlah ini menjadi hukuman yang harus Cean terima karena telah berani melanggar perintahnya.

Cean dan Chyra itu bagaikan ketidakmungkinan yang tidak akan pernah bisa bersatu.

"Anzel ... maafin aku. Maaf karena kali ini aku membuatmu kecewa lagi."

***

23/10/2022

The Way I Hate You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang