"Semesta pun tak mengizinkan kita untuk bertemu."
***
Hari ini langit tak mau bersahabat lagi. Gadis dengan ikatan kuncir kuda itu menghela napas lesu. Gemericik air yang turun di atas genteng semakin membuatnya membenci fase ini. Namanya Chyra Anzaela Permana, seorang anak yang meyakini jika setiap hujan datang, maka apa pun yang diinginkannya tidak akan pernah terkabul.
Jika tidak hujan, hari ini jadwal Chyra untuk mengunjungi makam kedua orangtuanya. Namun, apa boleh dikata, manusia boleh berencana, tapi Tuhanlah yang menentukan semuanya. Semua yang direncanakannya terancam gagal. Chyra menopang tangan di tepi jendela kamar sembari memeluk erat bunga matahari kesayangannya. Harapannya kali ini adalah hujan deras segera berhenti. Sungguh, ia rindu dengan almarhum ayah dan ibunya.
Beberapa menit tak ada perubahan, Chyra menutup tirai kamar lalu menaruh kembali bunganya di dalam vas bunga dekat meja belajar. Saat akan naik ke ranjang, ketukan pintu di luar mengurungkan niat Chyra.
"Hari ini ke makam mama ditunda dulu, ya?" Suara seorang lelaki terdengar ketika Chyra membuka pintu kamarnya.
Itu Nathan, ayah sambungnya. Ketika tiba-tiba dihadapkan pernyataan sedemikian rupa, Chyra tidak dapat menjawab. Namun, semua orang pun tahu jika diamnya adalah pertanda tidak setuju.
"Hujannya deras sekali. Papa takut Chyra akan kehujanan nanti." Lelaki itu mengusap kepala Chyra untuk menenangkan gadis kecilnya.
"Om Nathannnn," rengek Chyra dengan mata berkaca-kaca. "Chyra kangen sama mereka."
Lelaki itu sedikit tersentil ketika dipanggil "Om" oleh gadis yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Sudah kurang lebih enam tahun hidup bersama, Chyra tak pernah memanggilnya dengan sebutan Papa, kecuali jika bersama dengan adiknya-Raditya.
"Masih ada hari besok, Sayang." Nathan menunduk untuk menyamaratakan tingginya.
Satu per satu buliran air mata menetes dari wajah Chyra. Dia menunduk agar Nathan tidak melihat tangisannya, tetapi terlambat.
"Don't cry, please!" Nathan tidak akan tahan melihat putri kesayangannya terluka. Pria itu mengusap air mata yang mengalir di wajah Chyra menggunakan ibu jarinya.
"Oke. Apa pun permintaan kamu kali ini akan Papa turuti, asal tidak keluar dari rumah sebelum hujan reda."
Chyra memaksakan senyumnya. "Chyra enggak butuh apa pun. Chyra cuma ada pengen ketemu sama ayah sama mama. I really miss them," ujarnya seraya berharap bahwa Nathan bisa mengerti permintaannya kali ini.
"Hm, kamu sangat pintar merayu," kekeh Nathan lalu menepuk pelan kepala Chyra. "Deal, tapi syaratnya Chyra jangan menangis lagi, oke!"
Chyra mengangguk dengan semangat. "Fine."
Baiklah, sepertinya Chyra harus mencabut perkataannya tentang hujan adalah momen tersial dalam hidupnya.
"Papa akan datang ke kamarmu jika hujan tidak lagi sederas sekarang. Jangan lupa gunakan jaket yang tebal agar kamu tidak kedinginan," peringat Nathan seperti ibu-ibu. Dia masuk ke kamar Chyra untuk mengingat sesuatu.
"Oh iya, jangan lupa juga dengan kaos kaki, sarung tangan, minyak kayu putih. Satu lagi ...." Nathan mengobrak-abrik isi lemari Chyra. "Obat asma. Papa takut jika kamu akan sesak napas jika terlalu lama berada di udara dingin." Nathan mengambil semua barang itu lalu menyerahkannya kepada Chyra.
Nathan membuka lemari baju Chyra. Dia mengambil dua buah baju bermotif pororo. "Ini untuk baju ganti jika kamu terkena hujan. Ah, Papa lupa menaruh mantel dimana." Nathan berkeliling hingga tanpa sadar menabrak ujung meja belajar Chyra.
"Akh!"
Melihat itu semua, Chyra menghela napas lelah. "Chyra udah besar, Om. Chyra bisa kok nyiapin semuanya sendiri."
"Om enggak perlu sedetail ini buat nyiapin semua peralatan pribadi Chyra."
Nathan berhenti bergerak. Badannya mematung dengan tatapan yang terlihat kosong. "Maaf, apa Papa mengganggumu?"
"Bukan gitu, Om. Chyra cuman enggak mau lihat Om Nathan kerepotan nyiapin semua yang Chrya butuhkan. Yang perlu itu kan Chyra, jadinya Chyra harus bisa sendiri."
Nathan duduk di samping ranjang lalu menatap Chyra dalam-dalam. "Selagi Papa masih sehat dan berjalan dengan normal, Papa akan mengusahakan yang terbaik untuk kamu, Nak. Kamu tetaplah Chyra, sebesar apa pun kamu akan tetap menjadi putri kecilnya Papa."
"Papa dulu pernah menyesal karena tidak memperhatikan orang yang Papa cinta, lalu dia pergi untuk selama-lamanya. Papa ingin mengganti masa itu dengan merawat kamu sepenuh hati. Papa minta maaf jika sifat papa kali ini menganggu ketenanganmu."
"Om Nathan," lirih Chyra. "Lanjutin aja yang tadi. Maaf ngerepotin."
Cyhra mendekat lalu memeluk Nathan dengan erat. "Terimakasih sudah mau mengorbankan waktunya untuk Chyra. Padahal Chyra bukan siapa-siapa di sini."
Tanpa Chyra ketahui, Nathan mengepalkan tangannya dengan kuat menahan rasa sesak yang menggumpal di dadanya.
Bagaimana bisa kamu berkata begitu? Andai kamu tahu bahwa sebenarnya kamu memanglah anak kandung saya sendiri. Andai saja saya tidak sepengecut ini. Nathan memaki dirinya sendiri. Lalu membalas pelukan Cyhra tak kalah eratnya.
***
Kamis, 14 Oktober 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...