Setelah Chyra pergi untuk mengambil tisu, Cean mengerang kesakitan. Kepalanya kembali berulah lagi, bahkan sedari acara makan malam tadi. Sebisa mungkin Cean bertingkah baik-baik saja, meskipun kepalanya serasa ingin pecah.Darah yang ada di hidungnya merembes hingga celananya. Cowok itu mendongak agar cairan merah itu berhenti untuk mengalir.
"Ceano, udah aku bilang kalau mimisan jangan dongak! Darahnya bisa ngalir ke tenggorokan, bisa iritasi. Bisa bahaya kalau sampai masuk ke area pernapasan kamu!" kesal Chyra saat Cean tak mengindahkan peringatannya dari dulu. Padahal dia hanya pergi beberapa menit, tetapi cowok itu sudah bertingkah yang aneh-aneh.
Chyra menekan kepala Cean agar sedikit menunduk ke bawah serta menyumpal hidungnya dengan tisu.
"Maaf," lirih Cean sembari mengambil alis tisu yang gadis itu pegang. Dia langsung menaruh kepalanya di bahu Chyra.
Setelah beberapa menit bergelud dengan darah di hidungnya, Cean bisa bernapas lega saat mimisannya berhenti.
Chyra yang melihat itu pun langsung menyatukan kedua tangannya dan juga Cean. Chyra mengangkat kepala Cean dengan lembut sembari menatap matanya tanpa berkedip sedikit pun. "Kamu kedinginan? Waktu itu kamu cuma bilang enggak bisa kena cuaca panas, sekarang apa kamu alergi cuaca dingin juga?" tanya Chyra sedikit menyesal karena membawa Cean ke tempat ini.
"Enggak, Ra. Mungkin ini karena aku sedikit enggak enak badan." Cean menghindari tatapan gadis itu saat menjawab pertanyaannya.
Gadis itu menyentuh kening Cean untuk memeriksanya. "Kamu sakit, ya, makanya sering mimisan? Kita ke rumah sakit aja, ya?"
"Aku takut kamu kenapa-napa." Nada cemas dari gadis itu membuat Cean sedikit terharu. Ternyata dari banyaknya manusia di bumi ini, masih ada satu orang yang peduli padanya.
"Enggak, aku baik-baik aja," tolak Cean tak ingin merepotkan.
"Bohong!" Chyra berkacak pinggang saat Cean mengatakan hal itu.
"Sumpah, Ra," kata Cean sembari menunjukan pose peace.
"Kalau gitu jujur sama aku, kenapa beberapa hari ini kamu pakai rambut palsu?"
Cean meneguk salivanya yang terasa berat. Mengapa Chyra bisa tahu? Padahal dia sudah serapi mungkin menyembunyikan hal ini. "Aku baru potong rambut, botak gitu. Aku enggak pede diliat orang-orang, apalagi sama kamu. Makanya aku tutupin pakai ini," tunjunya pada bagian rambut.
Chyra masih tidak percaya dengan kalimat cowok itu. "Kamu beneran enggak bohong, 'kan, Cean? Kamu enggak berusaha menyembunyikan sesuatu dari aku? Kamu enggak lagi sakit keras, 'kan?" berondong Chyra dengan beberapa pertanyaan.
"Enggak, Anzel. Sumpah!" Cowok itu mengangkat tangannya ke atas seperti seorang tersangka. "Lagian apa untungnya aku bohong sama kamu? Aku enggak mugkin sakit keras Anzel. Aku kan kuat."
"Iya, sih." Chyra berdecak, beberapa detik kemudian gadis itu menganggukkan kepala sembari menyisir kasar rambutnya. Karena yang berkata ini Cean, maka dia pun harus percaya. Tidak mungkin cowok ini tidak jujur padanya.
"Beneran enggak mau diperiksa? Atau aku panggilin dokter yang biasa datang ke sini mau?"
"Jangan!" tolak Cean sembari menggeleng. "Nanti bunda khawatir. Bunda lagi bahagia hari ini, aku enggak mau merusak momennya."
"Oke deh," ujar gadis itu dengan pasrah. Mau bagaimana lagi, dia tidak bisa memaksa lelaki itu. "Tapi kamu beneran sembuh dari penyakit itu kan, Cean?"
"U-udah," jawabnya gugup. Cean menunduk tak berani menatap mata Chyra. Dia harus memantapkan hatinya untuk berbohong sekali lagi pada gadis itu. Ini demi kebaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...