Langit lagi-lagi kelabu, tidak cerah apalagi berwarna biru. Tidak ada rona cerah yang biasa sering muncul kala Mentari mulai menampakkan dirinya. Kali ini langit tampak berbeda, ia seakan ingin menumpahkan segala sedihnya pada bumi. Sama halnya seperti kondisi seorang laki-laki yang kini terbujur kaku di brangkar rumah sakit. Sudah beberapa hari, tapi tidak ada perubahan yang signifikan dari tubuhnya. Dua hari lalu, pria itu dinyatakan koma dalam tidur lelapnya.
Samudra menerima kabar tersebut dengan perasaan yang hancur lebur. Hatinya seakan dicabik dengan benda asing tak kasat mata hingga membuatnya terluka parah. Kakinya mati rasa hingga tidak bisa lagi menapaki bumi. Sakit sekali takdir yang Tuhan berikan ini. Dunia ini jahat sekali pada adiknya. Mengapa dokter menyerah untuk menyelamatkannya? Mengapa mereka berkata bahwa Cean sudah pergi jauh? Mengapa mereka berkata bahwa hal yang dilakukannya sekarang adalah hal yang sia-sia? Mengapa mereka katakan bahwa selang yang menempel di tubuh Cean hari ini hanya menyakiti raga pemiliknya saja? Mengapa Tuhan? Sekali lagi Samudra tegaskan bahwa yang dia lakukan ini bukanlah kesia-siaan. Samudra hanya ingin adiknya pergi dengan damai setelah mimpinya berhasil diwujudkan dan hal itulah yang saat ini Samudra tengah usahakan.
"Dek, bangun." Suara itu terdengar begitu lirih saat pria dengan rambut acak-acakan itu menggenggam sebelah tangan yang terasa begitu beku. "Abang kangen." Samudra tidak bohong. Dia benar-benar merindukan sosok di hadapannya ini. Samudra rindu senyum cerahnya. Samudra rindu kala sosok itu bertingkah manja. Samudra rindu tingkah tengilnya yang seringkali membuatnya mengelus dada. Samudra rindu semuanya.
Entah mendapat firasat dari mana, Samudra menekan tanda telepon pada salah satu nomor yang ada di kontaknya. Hampir mustahil pemilik nomor ini akan menjawab, tapi besar harapan Samudra bahwa nomor yang dia tuju bisa menjadi sandarannya saat ini. Agak tidak tahu diri memang, tapi sungguh Samudra sudah kehilangan cahayanya. Dia perlu pelita untuk membawanya keluar dari gelapnya dunia.
Sambungan itu terhubung. Samudra menahan napasnya kala suara di seberang masih belum juga mengatakan sapaan. "I really need you." Menyerah, Samudra akhirnya mengatakan apa yang saat ini dia inginkan.
"Dimana?" Suara itu masih saja sama. Masih membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Masih membuat Samudra ingin mengeluarkan air mata akibat rindu yang membuncah di dalam dada. Tuhan, maaf bila ini terkesan berlebihan, tapi tolong izinkan dia untuk merengkuh raga wanita itu walau hanya sebentar saja.
"ICU Rumah Sakit Pelita."
"Siapa?"
Samudra tidak mampu menjawab. Hanya tarikan napasnya yang berbunyi lebih keras hingga membuat seseorang dalam sambungan telepon itu berdecak. "Don't go anywhere. I'll go five minutes again."
Sambungan itu terputus lalu meninggalkan pria itu dalam ruang hampa penuh dengan nestapa. Kedua tangannya terkepal erat, beberapa saat setelahnya Samudra menjambak rambutnya dengan penuh emosi. Frustasi akan semua yang terjadi dalam hidupnya.
***
Setelah sekitar 10 menit lamanya dua insan yang dulunya pernah merajut kasih itu sama-sama tenggelam dalam kebisuan. Samudra yang bingung harus mulai dari mana serta Rindu yang tak tahu harus membicarakan apa. Karena yang Rindu tahu saat Samudra menghubunginya dengan suara selirih itu, firasastnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak baik-baik saja.
Tak tahan dengan kebisuan yang terjadi, Rindu menepuk pelan pundak pria itu hingga dia terkesiap lalu kedua bola matanya terbuka sempurna. Tangannya kembali mengepal erat. Samudra menggigit bibir bawahnya dengan kuat, kedua matanya memerah siap untuk mengeluarkan air mata. "Kenapa Samudra?" tanya wanita itu dengan suara yang benar-benar dia rindukan.
Tanpa aba-aba Samudra langsung merengkuh wanita itu ke dalam erat peluknya. "I'm so sorry, Rindu."
Rindu tersenyum simpul tanpa membalas pelukan mantan kekasihnya itu. Jika pria ini memintanya datang kemari hanya untuk mengutarakan kata maaf, Rindu tidak akan sudi. Bukan maksudnya tak memiliki hati, hanya saja Rindu masih belum siap untuk menerima sakit lebih dalam lagi. "To the point aja, Sam. I'm so busy right now," katanya sembari melepas peluk Samudra-hangatnya masih sama seperti dulu-lalu menghindari kontak mata saat pria itu menatap intens padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Dla nastolatkówChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...