"Umur tak bisa menjamin kedewasaan seseorang."
***
Sudah tiga hari terakhir Radit mengurung dirinya di kamar. Anak itu tak mau menceritakan kejadian saat dimana Airin menggebrak pintu kamarnya dengan keras. Jesika sudah berulang kali menanyakan hal yang sama, tetapi Radit selalu menggeleng dengan wajah muram.
Sebenarnya ada hal yang harus Nathan katakan kepada Radit. Mereka berempat harus pulang malam ini juga, ada proyek besar di Jakarta yang harus di selesaikannya dengan segera. Sebagai CEO dari perusahaan, sudah seharusnya Nathan segera bergegas. Itu artinya, mereka harus berpisah dari tempat yang penuh dengan kenangan ini.
"Gimana, Nak? Radit udah mau bicara?" tanya Jesika dengan cemas. Tadi dia menyuruh Chyra lagi untuk membujuk Radit. Namun, gelengan yang diberikan Chyra membuatnya menghela napas lesu.
"Anak itu hanya membuat masalah saja," tuduh Nathan membuat Chyra mengernyit. "Siapa?" tanyanya kemudian.
"Siapa lagi kalau bukan anak aneh itu. Yang setiap hari selalu ngikutin Radit. Karena dia juga Radit jadi enggak bisa diajak bicara sekarang." Chyra menggaruk hidungnya yang tidak gatal sama sekali. Perkataan Nathan tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak salah juga.
Jesika duduk di hadapan Nathan sedangkan Chyra duduk di samping. Jesika memperhatikan ayah dan anak di depannya ini dengan pandangan menerawang. "Apa Radit mau pulang?"
Chyra menopang tangannya di dagu. Dia juga tidak tahu. Sejak psikiater—yang diketahui teman dari Jesika— menyuruh membawa Radit ke tempat yang lebih aman, Nathan langsung menyarankan untuk membawanya ke Bandung. Rumah Jesika dan Mahes dahulu. Benar saja, di sini Radit menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, anak itu memiliki teman seperti Airin.
Beberapa tahun lalu, sebelum menikah dengan Nathan, Jesika berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit jiwa di Bandung. Karena profesinya itulah yang mempertemukannya dengan Nisa dan keluarga barunya sekarang ini. Jesika resign dari kerjanya karena ingin fokus untuk merawat Chyra dan juga Radit. Anak dari adiknya yaitu Mahes.
Selama ini, Jesika selalu merasa bahwa Radit baik-baik saja, tidak ada keanehan yang dirasakannya. Anak itu sama cerewetnya seperti Chyra. Mereka sering bertengkar untuk memperebutkan suatu hal. Sampai suatu ketika Radit pulang dari bermain dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya penuh luka-luka memar. Jesika langsung membawa Radit ke rumah sakit dan menyuruh Nathan untuk mencari tahu siapa yang sudah membuat anaknya seperti ini. Namun, sayang sekali pelaku itu lolos dan tidak berhasil ditemukan jejaknya sama sekali.
Yang jadi penghambat juga adalah ketika pulang dari rumah sakit, Radit tak pernah berbicara lagi. Jesika yang sudah sangat khawatir, langsung membawa Radit ke teman sesama dokternya dulu untuk memastikan apa yang terjadi.
Lagi-lagi hal mengejutkan terjadi. Dokter itu bilang Radit mengalami selective mutism. Trauma yang dialaminya menyebabkannya Radit kehilangan kemampuan untuk berbicara di hadapan orang lain. Jesika sempat hancur kala itu. Chyra menangis berhari-hari karena tak ada teman untuk mengobrol. Sementara Nathan, pria itu masih sibuk dengan urusan kantornya sehari-hari.
"Chyra takut Radit enggak mau pulang karena belum minta maaf sama Airin." Ucapan Chyra membuat Jesika tersentak. Dia mengerjap lalu berusaha untuk terlihat biasa saja. Nostalgia tadi membuat hatinya sedikit perih, walaupun Jesika sudah ikhlas atas semua yang sudah terjadi.
"Bukannya dari awal Airin sudah kita beri tahu perihal kesehatan mental maupun fisik dari Radit?" Nathan memijit pelipisnya yang terasa nyeri.
"Nath ... inget mereka baru umur 10 tahun, masih kelas 5 SD, loh. bukannya udah aku bilang kemarin. Airin belum sedewasa itu buat memahami perasaan Radit. Bahkan, kita yang orang tuanya aja belum tentu bisa buat Radit sebahagia saat bersama dengan Airin."
Entah kenapa, ucapan Jesika seakan menamparnya dengan keras. Nathan sadar, selama ini dia hanya fokus merawat Chyra, memperlakukan anak itu dengan sangat baik. Namun, Nathan lupa jika dia juga punya tanggung jawab untuk memperlakukan hal yang serupa kepada Radit.
Bahkan sewaktu anak itu masih bisa berbicara dengan lancar, Nathan hanya sesekali berbicara kepadanya. Itupun jika ada hal penting saja, padahal Radit sangat mengharapkan Nathan disisinya.
"Setuju atau tidaknya Radit, kita akan tetap pulang malam ini juga," ujar Nathan.
Chyra yang dari tadi hanya menyimak pembicaraan seketika langsung terusik ketika mendengar balasan Nathan. "Kalau kita balik, terus malah buat Radit makin sakit gimana?"
"Papa akan mencarikan psikiater terbaik untuk Radit. Agar anak itu bisa bicara lagi, agar mentalnya tidak lagi terganggu dan agar—"
"Mas ...."
Nathan langsung menghentikan kalimatnya ketika mendengar suara Jesika, dia menoleh ke samping dan melihat Chyra menatapnya dengan tajam. Tatapannya menyiratkan seolah frustasi dengan apa yang sudah diucapkan Nathan.
"Asal Om tahu ...," ujar Chyra sembari menarik napas panjang. "Yang Radit butuhkan hanya sosok yang bisa mengerti dengan keadaannya, bisa memahami perasaannya, dan dia menemukan Airin dalam sosok seorang ... teman."
"Radit juga butuh seorang seorang pembimbing yang selalu ada di sampingnya layaknya seorang ...."
"Ayah," sambung Jesika seraya tersenyum. Dia ingin membuat Nathan mengerti bahwa Radit sangat membutuhkan kasih sayangnya. Radit tidak butuh semua psikiater yang Nathan sewa. Yang dia perlukan hanyalah Nathan bisa hadir pada saat-saat terburuknya. Mungkin Nathan lupa jika Jesika dulunya adalah seorang psikiater juga.
"Selama tiga hari ini, kamu cuman nunggu aku sama Chyra buat bujuk Radit, tapi kamu cuma diam nunggu hasil aja. Kamu belum ada bicara empat mata sama Radit."
"Boleh aku minta untuk kali ini aja kamu denger apa yang aku bilang? Tolong temui dia, Nath. Kamu masih punya tanggung jawab sebagai ayahnya, 'kan?" Dengan berbicara sepanjang ini, Jesika harap hati dan pikiran Nathan bisa sedikit terbuka untuk Radit. Semoga saja Nathan bisa melimpahkan kasih sayang yang sama rata kepada kedua anaknya.
"Baiklah," ujar Nathan sembari tersenyum, tidak tersinggung sama sekali. Malah, Nathan merasa sedikit malu karena dinasehati oleh dua wanita kesayangannya. Rasa bersalahnya semakin besar ketika sadar bahwa dia telah mengabaikan Radit beberapa tahun belakangan ini.
***
Part-nya pendek, soalnya dibagi jadi dua. Kalau langsung satu takutnya kalian bosen:(
Jangan lupa vote dan komen, ya.
Sabtu, 13 November 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...