Seminggu kemudian, Cean dinyatakan sadar dari tidur panjangnya. Awalnya tidak ada yang percaya karena anak itu sakitnya benar-benar parah, tetapi ketika mereka masuk ke ruangan Cean dan melihat anak itu tersenyum sumringah sembari melambaikan tangan membuat jantung siapa pun yang melihatnya berdegup kencang.
Agam membelalakkan matanya tidak percaya saat melihat sosok Cean nampak tersenyum lebar di hadapannya. Kakinya gemetar karena takut bahwa yang dia lihat sekarang ini hanyalah mimpi.
"Ayah ...." Suara panggilan Cean yang khas membuat Agam tersadar bahwa dia masih berada di dunia nyata.
Agam segera melangkah dengan tergesa lalu memeluk Cean dengan hati-hati. Dikecupnya kening anak itu berulang kali sembari mengucapkan syukur di dalam hati. Tidak ada lagi masker oksigen yang membuat Agam ikut merasakan sesak, Cean hanya memakai nasal kanula untuk membantu pernapasannya.
"Ayah ... Cean sesak napas." Agam langsung melepaskan pelukannya lalu memeriksa keadaan anaknya dengan khawatir.
"Maaf Ayah enggak sengaja," sesalnya sembari menyatukan telapak tangan mereka berdua. Hatinya kembali teriris kala melihat sekujur lengan anaknya yang penuh dengan luka.
Mungkin hanya ini yang dapat Agam lihat dari pandangan mata, tetapi dia tidak akan pernah tahu persis sebesar apa luka yang menganga di hati anaknya.
"Enggak apa-apa, Yah. Cean baik-baik aja. Jangan khawatirin Cean, ya," pesan Cean ketika sadar bahwa ayah terus terpaku saat melihat perban di lengannya.
Agam menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Keningnya berkerut sempurna saat Cean menatapinya dengan lekat, penuh dengan rasa rindu yang menggebu. Agam merutuki diri dalam hati, sungguh menyesal meninggalkan anaknya sendiri. Sudah dua kali dia kecolongan.
"Cean mau makan apa? Atau mau minum?" tanya Ayah sembari mengerlingkan matanya. "Bilang aja, biar Ayah nanti yang bayarin.*
"Cean mau tidur." Karena sesungguhnya Cean tidak menginginkan apa pun selain pergi dari dunia. Akan tetapi, sepertinya Tuhan terlalu sayang karena membuatnya bertahan dan kembali menghadapi kenyataan yang berat ini.
"Cean!" Agam yang sadar bahwa suaranya sedikit lebih tinggi langsung menghentikan ucapannya. "Cean kan baru bangun, masa mau tidur lagi. Cean enggak kangen sama Ayah?" tanyanya dengan suara rendah. Agam tidak mau jika Cean tertidur lalu tidak bangun lagi. Terlalu menyakitkan untuk dibayangkan.
"Ayah ...."
"Hm, kenapa? Mau minta apa?"
Minta kebahagiaan. "Besok Cean mau sekolah. Boleh, kan?"
Agam sudah akan menggeleng, tetapi binaran di mata Cean membuat pria itu mengurungkan niatnya. "Kamu butuh istirahat, Cean. Ayah khawatir karena kamu belum sembuh total."
Cean mendesah kecewa sembari melengkungkan bibirnya ke bawah. "Cean udah sehat, Ayah. Nih, buktinya Cean sudah bisa jalan." Cean turun dari ranjangnya secara tiba-tiba.
Ayah terlihat shock saat Cean turun di tempat yang bersebrangan darinya. Cean seakan tidak memberikannya jeda untuk bernapas normal.
"Cean sudah bisa jalan tau," katanya sembari mengambil kantong infus lalu berjalan mendekati Ayah.
"Astaga, Nak ...." Agam mengepalkan tangannya lalu memegang dadanya yang berdenyut nyeri. "Kamu baru aja bangun dari koma."
"Cean tau, Ayah, tapi tolong izinkan Cean kali ini aja." Cowok itu sangat berharap karena hanya ini kesempatannya. "Cean enggak mau menyesal karena enggak menginjakkan bangku sekolah di saat-saat terakhir hidup Cean. Sebelum nanti Cean bakalan dilupakan, sebelum nanti dunia akan terus berputar meskipun Cean sudah pegi, menghilang bersama dengan kenangan. Waktu Cean udah enggak lama lagi, kan, Yah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You [End]
Teen FictionChyra Anzaela Permana. Anak kecil yang selalu ceria tanpa memperlihatkan kesedihannya. Itu dulu ... sebelum satu rahasia yang ia ketahui tentang orang tua kandungnya. Bahkan, rahasia itu baru ia ketahui setelah 10 tahun kemudian. Sebuah fakta yang m...